Nasional

Sukendar, Mencintai Gus Dur dengan Puisi Sunda

Selasa, 4 Desember 2012 | 05:08 WIB

Jakarta, NU Online
Seribu ekspresi umat mencintai Gus Dur. Dari mendoakan, menziarahi maqbarohnya, hingga melukisnya. Semuanya sudah biasa, termasuk menulis puisi untuk guru bangsa itu. Namun, menggubah syair dalam puisi Sunda, ini terasa istimewa.   

<>Itulah yang dilakukan oleh Dadang Sukendar. Ia menulis syair dalam bahasa Sunda ketika selintingan ada orang yang menghina Gus Dur. “Ngaraos tugenah rehna seueur jalmi nu sok ngahina atanapi nuding Gus Dur tanpa tabayyun, nu antukna jadi opini di masyarakat,” ujarnya, ketika dihubungi NU Online, di Jakarta, Senin, (3/12).

Maksudnya, merasa tidak enak ketika ada orang yang menghina Gus Dur tanpa dasar, karena hal itu menyebabkan opini yang tidak baik di masyarakat. 

ADVERTISEMENT BY OPTAD

Seorang karyawan swasta di daerah Pancoran-Jakarta Selata tersebut mengaku karena ia tak mungkin melakukan unjuk rasa seperti yang lain sehingga ia membela sesuai kemampuannya, yaitu menggubah syair.

Ia menulis dimulai dengan lafadz Bismillahirrohmaanirrohiim diakhiri dengan Alhamdulillah. Kemudian syair itu diberi judul “Syiir keur Gus Dur”.  

Syair tersebut berisi 15 bait. Tiap bait disusun dua baris. Tiap baris disusun dua kalimat. Tiap kalimat dijeda tanda #. Bait-bait tersebut memiliki rima yang beraturan. Misalnya pada bait pertama, setiap baris berakhiran “ur”, bait kedua berakhiran “ak”. Begitu seterunya.    

Bait pertama berbunyi demikian:

ADVERTISEMENT BY OPTAD

aya jalmi hina gusdur # tangtos eta jalmi ngawur
pikiran nuju tagiwur # teu emut ka alam kubur

Maksudnya, ada orang yang menghina Gus Dur, jelas ia orang ngawur, pikiran orang itu sedang tidak teratur dan tidak ingat alam kubur. Bait selanjutnya:

kedahna mikir sing asak # mun urang erek ngacaprak
sangkan henteu tisaralak # matak rusak kana awak 

Orang yang menghina Gus Dur adalah orang tidak teratur. Seharusnya (orang itu) berpikir yang matang, supaya tidak terjatuh, karena hal itu bisa menyebabkan badan rusak. 

seueur jalmi kirang cermat # ka gusdur nganggapna sesat
padahal lincah jeung rikat # ngabela sadaya umat

(memperlakukan Gus Dur demikian) karena orang itu tidak cermat sehingga ia menganggap Gus Dur sesat, padahal Gus Dur orang yang cepat tanggap dalam membela umat. Selain itu, Gus Dur juga adalah,

Tara pilih ejueng kasih # sok komo nanagih pamrih
Estu ikhlas bari bersih # sanajan pinuh ka peurih


(Gus Dur adalah orang) yang tidak pilih kasih, apalagi menagih pamrih, (Gus Dur) sangat ikhlas dan bersih, kendati ia sering mengalami perih.

Kemudian syair itu mengimbau. Kepada warga semua, jangan salah sangka, kepada Gus Dur jangan menghina, karena hal itu hanyalah menambah dosa saja. Perhatikan bait berikut. 

Ka warga-warga sadaya # poma ulah salah sangka
Ka gusdur tong sok ngahina # bisi kena tambah dosa

Lalu, syair itu bercerita tentang pribadi Gus Dur lebih umum. Kata orang Gus Dur itu zionis, (orang itu berbicara demikian) dengan sinis, padahal (hati Gus Dur itu) manis, ia adalah orang yang membela orang-orang dari berbagai lapisan masyarakat. Gus Dur adalah orang yang membela rakyat kecil, mekipun banyak kritik. Ia memang nyentrik sehingga hidupnya unik. 

Syair itu kembali membela tuduhan-tudahn orang terhadap Gus Dur. Mulai dari tuduhan sebagai Yahudi, tidak Islami, kafir. Tapi yakinlah itu hanyalah kesalahan cara berpikir sehinngga mangkir. 

Gus Dur adalah orang pesantren, kemudian jadi presiden. Ia berbeda dengan yang lain. Ia penuh wibawa sehingga mendapat gelar bapak bangsa. Itu bukti dan nyata, dan Gus Dur tidak memintanya.    

Tiga bait terakhir, penulis menceritakan kapan dan dimana syair itu ditulis. Syair itu ditulis di Cikoko, dibikin sambil minum kopi dan merokok, pada malam Jumat, hampir pukul setengah empat. Beberapa lama setelah syair ini ditulis, terdengarlah suara iqomat.

Pengarang syair tersebut, Dadang Sukendar, adalah pria kelahiran Majalengka tahun 1980. Tahun 1996, ia pernah nyantri di Arjawinangun, di Pesantren Darut Tauhid yang diasuh KH Ibnu Ubaidillah Syatori, KH Husein Muhammad, KH Ahsin Sakho Muhammad.

Semasa nyantri, ia sering mendengar nama Gus Dur. Ia kemudian mencari tahu kepada santri-santri lain sehingga sedikit-sedikit paham cerita-cerita dan “keanehan” seputar kehidupan Ketua Umum PBNU 1984-1999 tersebut.

Karena ingin bertemu Gus Dur ia membaca “hadiyah” surat Al-Fatihah untuk Gus Dur setiap ba'da maktubah. Ia yakin upaya tersebut, suatu saat akan dipertemukan dengan Gus Dur.

Sepulang dari pesantren, Dadang mengikuti jejak orang tuanya. Ia masuk di Gerakan Pemuda Ansor Majalengka. Melalui organisasi pemuda inilah “hadiyah” yang ia kirim di pesantren dulu itu terpenuhi.

Ketika Gus Dur menjadi presiden RI keempat, ia ditugaskan Ansor Jawa Barat menjadi salah seorang yang mengamankan Gus Dur saat berziarah ke Panjalu, Ciamis.

Redaktur  : Hamzah Sahal
Penulis     : Abdullah Alawi


Terkait