Jakarta, NU Online
Pengajuan permohonan visa non-imigran untuk memasuki negara maju, termasuk Amerika Serikat (AS) baik itu visa B (visa pengunjung), visa F (visa pelajar), maupun visa H1B (visa kerja), diketahui sebagai hal yang gampang-gampang susah.
Terlepas dari kenyataan bahwa seseorang telah memenuhi syarat dokumen yang diperlukan, diterima dan telah mendapatkan rekomendasi dari sekolah untuk keperluan pendidikan, maupun mendapat tawaran pekerjaan. Keputusan akhirnya masih bersifat subjektif.
Ribetnya mengurus pemberkasan visa tersebut umumnya dirasakan oleh banyak warga negara dunia ketiga. Sementara pemegang paspor dari negara-negara yang tidak memerlukan visa, dipersilakan dan dianggap sebagai pengunjung berisiko rendah dan disambut dengan senang hati.
Melansir Indeks Paspor Global, paspor Indonesia menduduki urutan ke-57, sederet dengan Bolivia. Indonesia mendapatkan akses bebas visa di 41 negara dan visa saat kedatangan (VoA) di 44 negara. Tingkat aksesibilitas itu berada jauh di bawah negara tetangga, Singapura yang berada di urutan ke-5 dan Malaysia di urutan ke-8.
Hal tersebut membuat pemegang paspor Indonesia memiliki batasan untuk melenggang bebas ke negara-negara tertentu. Pemegang paspor hijau dengan lambang garuda itu harus mengurus visa terlebih dahulu jika berencana melakukan perjalanan ke negara tujuan yang tidak memberikan akses bebas visa.
Melansir tulisan The London School of Economics and Political Science tentang “Visa restrictions and economic globalisation”, dijelaskan bahwa pembatasan visa disebut sebagai upaya untuk mencegah potensi masuknya imigran ilegal, teroris, maupun kriminal.
Untuk menegakkan garis pertahanan pertama suatu negara ini, negara-negara menjadi berwenang untuk menolak pendatang yang tidak memiliki izin sah, termasuk melalui visa.
Namun pada kenyataannya, kebijakan visa itu tak semata untuk pengamanan negara. Dikutip dari artikel Unequal Access to Foreign Spaces: How States Use Visa Restrictions to Regulate Mobility in a Globalized World, dijelaskan bahwa negara-negara menerapkan pembatasan visa untuk mengelola trade-off atas kedaulatan mereka untuk kepentingan politik dan ekonomi.
Semakin baik kondisi ekonomi suatu negara, semakin besar peluang warga negara tertentu mengakses negara lain. Besarnya potensi jumlah wisatawan berpengaruh terhadap keputusan suatu negara ingin membuka perbatasannya dengan wisatawan dari negara tertentu.
Dalam jurnal yang ditulis oleh Eric Neumayer itu juga diterangkan bahwa sistem yang digunakan itu dinilai sebagai sistem yang sangat membatasi akses dan memperkuat ketidaksetaraan yang ada.
Mobilitas transnasional didorong untuk pemegang paspor dari kalangan istimewa negara-negara, khususnya negara-negara Barat yang kaya “The Wealthy North”, dengan mengorbankan pembatasan untuk orang lain.
Hubungan ekonomi antarnegara dalam hal perdagangan disebut sangat berpengaruh. Negara-negara yang dianggap penting dalam perdagangan, umumnya akan mendapatkan kemudahan visa.
Pewarta: Nuriel Shiami Indiraphasa
Editor: Muhammad Faizin