Sumbang Devisa Negara Ratusan Triliun, Sarbumusi Tegaskan Kesejahteraan Buruh Sawit Harus Diutamakan
Jumat, 1 September 2023 | 16:00 WIB
PP Sarbumusi menggelar diskusi bertajuk 'Penjajahan Buruh di Perkebunan Sawit, Benarkah?' di Matraman, Jakarta Timur, pada Kamis (31/8/2023). (Dok Sarbumusi).
Jakarta, NU Online
Industri kelapa sawit memiliki kontribusi dan sumbangan besar terhadap devisa Indonesia hingga ratusan triliun rupiah, serta berhasil menciptakan lapangan kerja bagi masyarakat Indonesia.
Berdasarkan data dari Jurnal Kelapa Sawit dan Devisa Ekspor (2023), ekspor kelapa sawit dan turunannya mencapai sekitar USD40 miliar atau sekitar Rp600 triliun pada 2022.
Karena sumbangan devisa untuk negara yang cukup besar itu, Federasi Pertanian, Perkebunan, Perikanan, Peternakan, dan Kehutanan (F-P4K) Sarikat Buruh Muslimin Indonesia (Sarbumusi) menegaskan bahwa kesejahteraan buruh harus diutamakan.
Ketua Pimpinan Pusat F-P4K Sarbumusi Fahri Fatur Rakhman juga menjelaskan luas perkebunan kelapa sawit di Indonesia yang semakin meningkat.
"Luas perkebunan kelapa sawit di Indonesia mencapai 14,99 juta hektare pada tahun 2022. Jumlah itu meningkat 2,49% dibandingkan 2021 atau pada tahun sebelumnya yang seluas 14,62 juta hektare," kata Fahri dalam diskusi bertajuk 'Penjajahan Buruh di Perkebunan Sawit, Benarkah?' di Matraman, Jakarta Timur, pada Kamis (31/8/2023).
Namun sayang, kesuksesan dan kontribusi industri kelapa sawit itu tak berbanding lurus dengan kesejahteraan para buruh atau pekerjanya. Hingga kini, masih ada praktik-praktik pemberian upah murah, ketidakpastian kesejahteraan, dan perlakuan tidak adil terhadap buruh.
Bahkan, Koordinator Koalisi Buruh Sawit (KBS) Hotler Parsaoran menyoroti bahwa sampai saat ini belum ada data buruh yang baku untuk dijadikan rujukan.
Data Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) menyebut ada 16 juta buruh, sedangkan data Kamar Dagang dan Industri Indonesia (Kadin) sebanyak 21 juta buruh, data KBS menyebutkan ada 20 juta buruh, dan data yang dipegang pemerintah menyebut ada 16,2 juta buruh.
"Kita belum bisa menemukan data yang bisa menjadi acuan, sebenarnya jumlah buruh berapa orang? Karena itu, ke depannya harus ada data yang menjadi acuan," jelas dia.
Lebih lanjut, Hotler meengatakan masih adanya praktik kontrak yang belum jelas antara pengusaha dengan buruh, sehingga pekerjaan yang dilakukan buruh tidak bisa dipertanggungjawabkan.
"Tidak ada kontrak kerja ini mengakibatkan apa yang terjadi antara pekerja dan buruh tidak bisa bertanggung jawab," papar Hotler.
Dari aspek jaminan sosial, lanjutnya, para buruh belum mendapat hak-haknya. Belum lagi, terkait kondisi buruh lepas yang sebagian besar adalah perempuan.
Hotler menyatakan bahwa kesejahteraan buruh harus menjadi pilar utama keberlanjutan industri kelapa sawit yang ideal.
"Memang masih ada banyak PR. Karena itu, kita telah membuat naskah akademik dan kita harap bisa membahasnya secara bersama sebagai langkah strategis kebijakan," tegasnya.
Sebagai informasi, diskusi ini tentang persoalan buruh di industri kelapa sawit ini dihadiri pula oleh Presiden Konfederasi Sarbumusi Irham Ali Saifuddin, Ketua GAPKI Bidang Pengembangan SDM Sumarjono Saragih, Steering Committe Jejaring Serikat Pekerja/Serikat Buruh Sawit Indonesia (JAPBUSI) Jeck Supardi, dan Wakil Kepala Desk Regional Kompas Group Rini Kustiasih.