Nasional

Surau, Pusat Dakwah di Minangkabau

Selasa, 28 Agustus 2012 | 08:00 WIB

Kata Surau, konon berasal dari kata bahasa Arab sugra, yang berarti kecil. Karena pengaruh dialek, berubah dengan bunyi “surau”, yang berarti bangunan lebih kecil dari mesjid, didirikan sebagai bangunan pelengkap rumah gadang. 
<>Di Minangkabau, Surau pada dasarnya adalah tempat para bujangan laki-laki untuk bertemu, berkumpul, rapat dan tidur. Dengan masuknya Islam, fungsi surau diperluas, yakni menjadi tempat mengaji Al-Quran dan tempat shalat seperti halnya mushala. 


Surau dalam skala yang lebih besar, kemudian identik dengan sebuah lembaga pendidikan keislaman bagi para santri atau yang dikenal dengan urang siak. Kiai atau guru yang mengelola sebuah surau disebut “tuanku” (terjemahan dari sebuah kata bahasa Arab, sayyidi). Kalau mengasuh sebuah surau besar, maka sang kiai disebut “tuanku syekh”. Sistem pengajaran yang dipakai adalah seperti model pesantren pada umumnya, yakni model salafi, dengan metode halaqah, talaqqi (sorogan) dan sama’i (bandongan).

Surau pertama yang dikenal adalah Surau Ulakan, Pariaman, yang didirikan oleh Syekh Burhanuddin Ulakan (1646-1691) yang pernah belajar ke ulama-ulama terkenal Aceh, Syekh Abdurrauf Singkel dan Syekh Abdullah Arif. 

Seabad kemudian, ketika kembali dari Mekkah ke Tanah Minang, Syekh Abdurrahman (1777-1899) mendirikan Surau Batu Hampar, Payakumbuh, pada 1840, dengan jumlah urang siak mencapai ribuan.

Setelah itu muncul surau-surau besar lainnya yang terkenal di Minangkabau, seperti Surau Parabek, Surau Silungkang, dan seterusnya. 

Selain mengajarkan ilmu-ilmu keislaman (biasanya ilmu-ilmu tata bahasa Arab, fiqih, tafsir hingga manthiq), surau-surau ini juga mengajarkan tarekat. Kalau Surau Ulakan dikenal sebagai pusat tarekat Syatariyah, maka Surau Batu Hampar lebih dikenal dengan praktek ilmu suluknya, semacam olah kebatinan sufistik. 

Surau biasanya dibangun dekat dengan sumber-sumber air. Karena itu di sekitar surau sering muncul permukiman baru, kegiatan dagang dan pasar baru, dan juga peradaban baru. Keberadaan surau-surau tidak lepas dari posisi kedekatannya dengan jaringan keulamaan, jaringan tarekat, hingga jaringan pasar dan perdagangan antar kota-desa-pesisir di Sumatera. Adat pun dirangkul dan dibuat berorientasi ke Mazhab Syafi’i.

Surau Ulakan merupakan surau pertama yang berada dalam sirkuit gerakan keilmuan yang menghubungkan pesisir Sumatera Barat dan pesisir Aceh. Relasi ini menjadi pusat pengembangan Islam dengan adat sebagai mitranya, sehingga terjadi perpaduan serasi antara keduanya. Dalam relasi ini selain ada usaha ekstensifikasi, yakni perluasan penyiaran Islam di tengah masyarakat adat, juga ada upaya intensifikasi, yaitu pendalaman berbagai jenis pengetahuan dan ilmu-ilmu keislaman dalam surau, sehingga keislaman masyarakat benar-benar mendalam, sesuai dengan ajaran kitab dan para ulama salaf. 

Selain itu, jaringan ke pedalaman, sejak abad 18, dilakukan oleh surau-surau yang menekuni gerakan tarekat. Ada tiga tarekat besar di masa itu: Naqsyabandiyah, Syathariyah dan Qadiriyah. Kehadiran Surau Batuhampar di pedalaman Minangkabau dimungkinkan berkat jaringan surau-surau tarekat ini. 

Selain itu, jaringan surau juga menghubungkan diri dengan jaringan pasar dan ekonomi strategis di Minang, seperti jaringan desa-desa pertanian subur dan makmur, jaringan desa-desa pertambangan yang kaya, dan juga jaringan desa-desa yang terletak di persimpangan rute-rute dagang. 

Surau Ulakan misalnya menjadi penggerak jaringan tarekat Syathariyah di jaringan desa-desa dagang dari Padang Panjang, Kota Lawas, hingga ke jaringan persawahan kaya di Agam selatan, terutama di Kota Tua. 

Sementara surau-surau yang mengajarkan tarekat Naqsyabandiyah muncul di sekitar jaringan tambang emas Talawi di Tanah Datar. Demikian pula Surau Silungkang muncul di jaringan desa-desa pertambangan batu bara yang kaya. 

Jaringan surau-surau tarekat ini kemudian membawa warna baru ke dalam peta geografis penguasaan ilmu-ilmu keagamaan sejak abad 18. 

Jaringan Surau Ulakan dengan tarekat Sythariyah-nya sangat kuat mendalami ilmu-ilmu fiqih. Kitab Minhajuth Thalibin karya Imam Nawawi, Kitab Tuhfatul Muhtaj karya Ibnu Hajar al-Haitami, hingga karya-karya fiqih Syekh Abdurrauf Singkel, adalah bacaan-bacaan favorit urang siak di surau ini. 

Surau-surau di Kamang lebih fokus pada ilmu-ilmu alat, seperti nahwu, shataf dan qawa’id lughah (seluk beluk tata bahasa dan leksikografi Arab). Di Kota Gadang surau-suraunya terkenal dengan penguasaan ilmu manthiq dan ilmu ma’ani, berkat Tuanku di Tanah Rao yang baru pulang dari Mekkah dan menurunkannya kepada Tuanku Nan Katjik. Surau-surau di Kota Tua terkenal dengan ilmu tafsirnya. 

Setelah kehadiran Tuanku Nan Tua, seorang ulama kharismatik dan juga dikenal sebagai “pelindung para pedagang” di daerah Agam ini perkembangan tradisi keilmuan surau-surau Minangkabau semakin canggih. Berbagai disiplin keilmuan tersebut yang terpisah-pisah antara satu surau dengan surau lainnya, mulai diintegrasikan ke dalam Surau Koto Tuo Empat Angkat, Agam, yang didirikan oleh Tuanku Syekh Nan Tuo. 

Di penghujung abad 18, surau ini menjadi terkenal, dan banyak didatangi oleh para santri atau urang siak dari berbagai daerah.

Kemunculan kelompok Padri di Minangkabu pada abad 19 menghambat laju perkembangan surau-surau, dan berjalan bersamaan dengan masuknya penjajahan Belanda di daerah pedalaman. Kompeni berkepetingan menguasai sumber-sumber ekonomi strategis Minangkabu. 

Keributan yang ditimbulkan oleh Kaum Paderi dengan kaum adat dan komunitas surau memunculkan masalah keamanan internal, terutama keamanan bisnis-bisnis kolonial. Maka ada alasan untuk menindak Kaum Paderi dan menjinakkan kaum adat dan komunitas surau untuk melepaskan aset-aset strategis ekonomi mereka. 

Perang Paderi dan ekspansi kolonialisme akhirnya memotong jaringan keulamaan, dagang dan pusat-pusat ekonomi strategis yang selama ini dinikmati oleh komunitas surau. Jaringan keulamaan dan tarekat dicerai-beraikan oleh kelompok puritan Paderi dan oleh pelanjutnya, kelompok Wahabi-reformis. 

Sementara jaringan dagang dan ekonomi strategis diambil-alih oleh Kompeni, dan keuntungannya dibawa ke negeri Belanda. 

Perlawanan terhadap kelompok puritan dan pemerintah kolonial sejak awal abad 20 pun terpencar-pencar, meski tetap digerakkan oleh komunitas  surau dan tarekat. Seperti dalam Pemberontakan Kamang tahun 1908. Komunitas surau mulai mengajarkan kemandirian dengan bertani, dan meminta tanah-tanah penduduk untuk tidak dijual atau disewakan kepada orang-orang berkulit putih. 

Dalam perkembangan berikutnya, surau-surau mempertahankan dirinya untuk bisa eksis dengan memasukkan sistem madrasah, dengan kurikulum yang lebih modern, mengikuti model ideal sekolah Sumatera Thawalib. 

Penyatuan antara sistem salafi dan sistem madrasah ini lalu melahirkan sejumlah surau model baru dan tetap eksis hingga sekarang. Seperti Surau Candung Bukittinggi yang didirikan oleh Syekh Haji Sulaiman ar-Rasuli (pendiri Perti), Surau Parabek Bukittinggi yang didirikan oleh Syekh Haji Ibrahim Musa, dan Surau Jaho Padang Panjang yang didirikan oleh Syekh Haji Jamil Jaho yang berhaluan Ahlussunnah Waljamaah. 

Gerakan modernisasi dan pembaruan Islam yang dilancarkan sejak masa Paderi hingga kemunculan Kaum Muda di tahun 1920-an, ternyata tidak membawa orang-orang Minang untuk menguasai kembali sumber-sumber dan jaringan ekonomi strategis mereka. Mereka lebih suka merantau, dan meninggalkan surau bergumul dengan perkembangan zaman. (Ahmad Baso


Terkait