Cirebon, NU Online
Indonesia berdasar Pancasila sebagai Negara yang sah dan tidak bertentangan dengan Islam, mendukung dilaksanakannya Pilkada Gubernur oleh DPRD I, dan keharusan mengingatkan secara keras terhadap pemerintah agar pajak tidak dikorupsi.
<>
Sebab, korupsi itu bisa mengakibatkan terjadinya pembangkangan rakyat untuk tidak membayar pajak.
Dalam sidang komisi bathsul masail diniyah maudlu’iyah, yang dipimpin oleh KH Hartami Hasni dengan pembicara KH Afifuddin Muhajir dan KH Malik Madany, KH Masdar F. Mas’udi yang membahas masalah bentuk Negara, pemilihan kepala daerah (Pilkada), dan pajak pada Ahad (16/9).
Komisi maudlu’iyah rupanya merupakan komisi yang paling menarik, sehingga dihadiri oleh Ketua Umum PBNU KH Said Aqil Siradj, KH Ali Musthofa Ya’qub, KH Tuan Guru Turmudzi Badruddin, Marsudi Suhud, KH. Yahya C Staquf, Abdul Mun’im DZ, A. Malik Haramain, dan lain-lain.
Para kiai dan ulama NU dalam Munas sementara ini sepakat bahwa Indonesia berdasarkan Pancasila sebagai Negara yang sah dan final. Bahwa Islam tidak menawarkan bentuk Negara Islam (daulah islamiyah, khilafah islamiyah), melainkan pentingnya tatanan kehidupan yang baik, maslahat dan berkeadilan.
“Terpenting adalah semua kebijakan dan perundang-undangan tidak bertentangan dengan Al-Qur'an dan hadits. Sebatas itulah ketaatan rakyat pada pemerintah atau ulil amri. Sebaliknya, jika bertentangan, maksiat, maka wajib ditinggalkan,” ungkap KH. Afifuddin Muhajir.
Yang pasti lanjut Afifuddin, dalam konteks politik yang dibutuhkan dalam berbangsa dan bernegara ini adalah kemaslahatan dan berkeadilan. Dan, untuk mewujudkannya dibutuhkan pemerintah sebagai instrument dalam mewujudkan masyarakat yang adil dan sejahtera tersebut.
Tapi, setelah mencermati politik akhir-akhir ini menghalalkan segala cara dan berarti menghalalkan segala kejahatan bahkan mempolitisasi agama, maka NU mendesak penyelenggara Negara dari pusat sampai daerah untuk secara sungguh-sungguh melaksanakan Pancasila, Bhinneka Tunggal Ika, UUD RI 1945 dan NKRI. “Bukan malah makin terjadi ketidakadilan, kedzaliman dan merusak dasar-dasar Negara,” tegas Afifuddin.
Menyinggung soal toleransi diakui Afifuddin, jika membalas kejahatan dengan kejahatan itu adil. Tapi, membalas kejahatan dengan kebaikan itu justru tolerans. Menurutnya, untuk melaksanakan toleransi dalam berbangsa dan bernegara itu dibutuhkan keberanian dan kebesaran hati.
“Tapi, yang terjadi sekarang ini adalah takut dan seolah alergi terhadap toleransi,’ tambahnya.
Lalau bagaimana dengan pemimpin yang dinilai sudah tidak memenuhi syarat kepemimpinan, apakah harus dilengserkan? Afifuddin menegaskan, bahwa semua aturannya tetap harus ditaati selama tidak menyimpang aturan konstitusi dan agama, serta tidak harus dilengserkan.
Yang jelas katanya, bentuk Negara itu tidak penting, tapi yang terpenting adalah pelaksanaannya jangan sampai menyimpang dari konstitusi, UUD 1945. Di mana Pilkada langsung lebih banyak mafsadatnya, merusaknya daripada positif dan manfaatnya. Apalagi konflik social yang ditimbulkan sampai menyeret kiai dan ulama yang tergabung sebagai tim sukses dan pendukungnya.
Menurut Kiai Malik Madany bahwa poin-poin yang harus disepakti misalnya, bahwa sebuah Negara ini sah menurut pandangan Islam. Dalam kemajemukan, maka Islam tidak menentukan bentuk Negara tertentu, sejalan dengan pesan Nabi Muhammad SAW bahwa masalah dunia ini kita yang lebih mengetahui bagaimana seharusnya dilakukan, “Wa antum a’lamu biumuriddunyakum”.
Dengan demikian tergantung pada kondisi negaranya dalam memilih bentuk suatu Negara yang diinginkan. Boleh saja dalam bentuk kerajaan seperti di Saudi Arabia, al-Mulk, al-Sulthon, dan al-Jumhuriyyah kesepakatan bersama seperti Indonesia.
“Yang terpenting tetap dalam kemaslahatan, kebaikan, keadilan dan tidak bertentangan dengan ajaran agama. Jadi, tidak perlu simbol-simbol Islam, di mana dalam kemajemukan bangsa ini (nation state) bentuk negara ber Pancasila dan NKRI sebagai consensus final yang sah dan harus dipertahankan,” ujarnya.
Kontributor: Munif Arpas