Tak Perlu Takut Kontroversi, Akademisi Harus Fokus Pengembangan Fikih Indonesia
Ahad, 28 Maret 2021 | 09:00 WIB
Prof MN Harisudin mengatakan masyarakat Islam lebih dikenal sebagai masyarakat fikih karena selain lebih aplikatif, meski tidak ‘diomongkan’, namun mendarah daging dalam kehidupan masyarakat. (Foto: istimewa)
Jember, NU Online
Fikih Indonesia merupakan fikih yang hidup di tengah-tengah masyarakat Indonesia, sehingga menjadi kewajiban bagi para akademisi dalam berkontribusi untuk mengembangkannya.
Sebagaimana disampaikan oleh Guru Besar UIN KHAS Jember, Prof Kiai Harisudin dalam acara webinar nasional Fikih Indonesia dalam Dinamika Masyarakat Perspektif Ijtihad Akademik oleh Pascasarjana Universitas Islam Indonesia, Sabtu (27/3).
Menurutnya, setiap negara mempunyai model karakteristik Islam yang berbeda pada hal tertentu, termasuk fikih Indonesia yang telah dikenal dan berkembang sesuai dengan adat istiadat keindonesiaan.
"Dalam hal prinsip ibadah sama, namun dibalik itu ada kekhasan yang beragam sehingga muncullah tokoh seperti Prof Hasbi Ash-Shiddiqi yang menjadi pelopor munculnya gagasan Fikih Indonesia," jelas Prof Haris yang juga Ketua Asosiasi Penulis dan Peneliti Islam Nusantara Seluruh Indonesia.
Dengan itu masyarakat Islam lebih dikenal sebagai masyarakat fikih karena selain lebih aplikatif, meski tidak ‘diomongkan’, namun mendarah daging dalam kehidupan masyarakat.
"Orang lebih banyak menggunakan perspektif ini walau terkadang masyarakat cenderung instan dan hanya memahami bahwa hukum itu hanyalah halal dan haram, sah batal begitu saja. Dan inilah tugas para akademisi untuk menjelaskan baik hukum wadh’i maupun rukhsah azimahnya," jelasnya.
Lebih lanjut Prof Harisudin menjelaskan jika pembaharuan fikih akan terus berlangsung sebagai bentuk respons terhadap perkembangan yang terjadi. Oleh karenanya dirinya berharap agar para akademisi berperan untuk menentukan tempat, keadaan, maupun zaman dalam melakukan pembaharuan fikih khususnya di Indonesia.
"Fikih itu dinamis, tidak seperti teologi yang bersifat mutlak. Fikih terus berkembang dalam merespons perubahan," tambah kiai muda yang juga Wakil Ketua LDNU Jatim itu.
Dalam kesempatan itu, Prof Harisudin mengutip perkataan Ibnu Rusyd dalam kitab Bidayat al-Mujtahid tentang perlunya berijtihad. Menurutnya, peristiwa yang terjadi di antara manusia tidak terbatas, sementara nash-nash, perbuatan dan ketetapan nabi itu terbatas. Sehingga mustahil sesuatu yang terbatas jumlahnya bisa menghadapi sesuatu yang tidak terbatas.
Ijtihad akademik merupakan aset mujtahid yang luar biasa dalam pengembangan Fikih Indonesia. Prof Haris menekankan bahwa ketakutan adanya kontroversi harus dihilangkan dengan fokus pada pengembangan fikih Indonesia.
"Dengan basis ilmu pengetahuan dan teknologi, para akademisi dapat berkontribusi dalam memperkuat dan mengembangkan fikih Indonesia. Dengan berlandaskan kepada khazanah klasik dan teori-teori ilmu pengetahuan, sosial dan teknologi yang mutakhir," kata Prof Kiai Harisudin yang juga Ketua Komisi Pengkajian, Penelitian dan Pelatihan Majelis Ulama Indonesia (MUI) Jawa Timur.
Terdapat lima indikator dalam menentukan masa depan Fikih Indonesia. Kelimanya adalah perluasan cakupan hukum Islam, penyempurnaan undang-undang dari yang sebelumnya sebatas slogan ada, peningkatan status minimal UU agar memiliki daya ikat dan kedudukan yang tinggi, memasifkan sosialisasi UU atau regulasi berbasis syariah, serta dukungan ormas dan politisi karena UU adalah produk politik.
Kontributor: Siti Junita, M Irwan Zamroni Ali
Editor: Kendi Setiawan