Nasional

TAUD Ungkap 382 Anak Ditahan dalam Aksi Protes Akhir Agustus

Rabu, 10 September 2025 | 12:00 WIB

TAUD Ungkap 382 Anak Ditahan dalam Aksi Protes Akhir Agustus

Demonstrasi di Jakarta pada akhir Agustus 2025 lalu. (Foto: NU Online/M Fathur Rohman)

Jakarta, NU Online

Tim Advokasi untuk Demokrasi (TAUD) merilis data terkait dugaan pelanggaran hak digital dan kebebasan sipil yang terjadi selama gelombang demonstrasi akhir Agustus hingga awal September 2025. Hal ini disampaikan dalam konferensi pers yang digelar secara daring melalui kanal YouTube Yayasan LBH Indonesia dikutip NU Online pada Rabu (10/9/2025).


TAUD mencatat 92 dugaan pelanggaran dengan ragam jenis kasus berbeda yang berlangsung sejak 25 Agustus hingga 8 September 2025.


“TAUD merupakan gabungan dari beberapa lembaga yang fokus pada demokrasi dan hak asasi manusia. Dalam aksi kemarin, kami memantau langsung, melakukan pendampingan, sekaligus mendokumentasikan situasi di lapangan,” ujar Afif dari TAUD selaku moderator.


Sekretaris Bidang Advokasi Yayasan LBH Indonesia Eno Liska Walini menyoroti tingginya jumlah korban anak-anak yang terdampak. Ia menyebut, terdapat 399 anak di bawah umur yang menjadi korban, di antaranya 382 pernah ditahan, 331 sudah dibebaskan, lima masih ditahan, dan 59 kasus masih menunggu konfirmasi, sedangkan sisanya tidak dijelaskan.


"Banyak dari mereka mengalami penangkapan sewenang-wenang. Ada yang sedang membeli makanan, nongkrong di warung kopi, hingga kurir yang kebetulan melintas, ikut diciduk," ungkap Eno.


Ia menambahkan, keluarga korban juga mengalami kesulitan mengakses informasi.


"Banyak keluarga yang baru tahu setelah berhari-hari bahwa anak atau kerabatnya ditahan di Polda atau Polres tertentu, bahkan ada yang hingga kini belum tahu keberadaannya," katanya.


Menurut peneliti SAFEnet, Balqis Zakiyyah Qonita, pelanggaran terbanyak berupa serangan digital (35 kasus), diikuti pembatasan akses internet (26 kasus), dan kriminalisasi (19 kasus). Sumber laporan didominasi oleh pemantauan langsung (55,4 persen), aduan lewat website SAFEnet (22,8 persen), laporan TAUD (16,3 persen), dan aduan helpline (5,4 persen).


Jenis serangan digital meliputi spam call, doxing, peretasan akun, hingga fake order yang menyasar demonstran dan aktivis.


"Bahkan ada mahasiswa yang fotonya disebar sebagai DPO dengan informasi palsu, memicu ketakutan di publik," jelas Balqis.


Selain itu, terdapat laporan moderasi berlebihan di media sosial. Konten video yang menampilkan perintah aparat untuk menembak demonstran, misalnya, dihapus dan akunnya ditangguhkan. Dugaan operasi informasi juga muncul, berupa penyebaran hoaks untuk memprovokasi dan membelokkan narasi aksi.


"Pembatasan fitur live TikTok, gangguan listrik di beberapa titik aksi, hingga dugaan sabotase kabel optik juga tercatat menghambat akses masyarakat terhadap informasi," lanjutnya.


Alif dari LBH Jakarta menegaskan, dari pemantauan mereka di Polda Metro Jaya, setidaknya ada delapan bentuk dugaan pelanggaran hukum oleh aparat kepolisian.

 
  1. Penahanan melebihi 1x24 jam sebagaimana diatur KUHAP,
  2. Penangkapan tanpa pemberitahuan kepada keluarga,
  3. Pembatasan akses informasi identitas korban,
  4. Pemeriksaan tanpa pendampingan,
  5. Penyitaan barang pribadi tanpa prosedur,
  6. Kekerasan dalam proses penangkapan,
  7. Tidak adanya surat perintah penahanan,
  8. Rekayasa kasus dengan dalih “tertangkap tangan”.


“Kasus anak-anak yang ditahan di Polres Jakarta Utara, misalnya, jelas melanggar pasal 19 ayat 1 KUHAP dan pasal 30 UU Sistem Peradilan Pidana Anak,” kata Alif.


TAUD menekankan bahwa pelanggaran hak digital dan tindakan represif aparat tidak hanya mengancam kebebasan sipil, tetapi juga memperdalam krisis kepercayaan publik.


"Negara seharusnya hadir untuk melindungi warga, bukan menekan kebebasan berekspresi. Apa yang terjadi sejak akhir Agustus harus menjadi alarm bagi pemerintah untuk melakukan evaluasi serius," pungkas Alif.