Nasional

Teks Amanat Ketum PBNU pada Hari Santri 2022

Kamis, 20 Oktober 2022 | 02:00 WIB

Teks Amanat Ketum PBNU pada Hari Santri 2022

Ketum PBNU, KH Yahya Cholil Staquf (Gus Yahya) mengatakan bahwa hari santri adalah milik bersama seluruh elemen bangsa.(Foto: NU Online/Suwitno)

Jakarta, NU Online
Dalam momentum Hari Santri 2022, Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) akan menggelar Apel Hari Santri yang akan dipusatkan di Pesantren Tebuireng Jombang Jawa Timur pada 22 Oktober 2022. Pada apel yang direncanakan akan dihadiri oleh 5 ribu peserta tersebut, Ketua PBNU KH Yahya Cholil Staquf akan memberikan amanat.


Beberapa poin penting dalam sambutan tersebut di antaranya tentang pengakuan pemerintah terhadap andil besar para kiai dan santri dalam mempertahankan kemerdekaan RI. Selain itu ditekankan juga bahwa hari santri adalah milik bersama seluruh elemen bangsa.


"Hari Santri harus benar-benar dipahami, dihayati, dan ditegakkan sebagai harinya seluruh bangsa Indonesia tanpa terkecuali, untuk mensyukuri "Berkat Rahmat Allah Yang Maha Kuasa" yang telah mengaruniakan kepada bangsa ini generasi pahlawan paripurna yang berhasil menyempurnakan kelahiran Bangsa Indonesia sebagai Bangsa Merdeka," demikian bunyi sambutan Ketum PBNU yang disosialisasikan pada pertemuan PBNU, PWNU, dan PCNU seluruh Indonesia yang digelar secara virtual pada Rabu (19/10/2022).


Berikut selengkapnya Amanat Ketua Umum PBNU dalam Apel Nasional Hari Santri 2022 (Sabtu, 22 Oktober 2022)

السلام عليكم ورحمة الله وبركاته 
الحمد لله، والشكر لله، والصلاة والسلام على رسول الله، سيدنا ومولانا محمد ابن عبد الله، وعلى اله وصحبه ومن والاه، و لا حول ولا قوة إلا بالله. اما بعد:

 
  • Yang Mulia, Rais Aam PBNU, beserta jajaran Pengurus Syuriyah PBNU 
  • Segenap Pengurus Tanfidziyah PBNU 
  • Jajaran Pengurus Syuriyah dan Tanfidziyah PWNU se-Indonesia 
  • Jajaran Pengurus Syuriyah dan Tanfidziyah PCNU se-lndonesia, serta PCI-NU di berbagai negara
  • Warga Nahdliyin di mana pun berada, serta semua peserta apel yang sama-sama mencintai Indonesia; 


Bertepatan dengan Peringatan 70 Tahun Resolusi Jihad, Pemerintah memberikan pengakuan peran penting perjuangan para ulama dengan menjadikan 22 Oktober sebagai Hari Santri Nasional. Apresiasi ini disampaikan di Masjid Istiqlal yang dituangkan dalam Keputusan Presiden Nomor 22 Tahun 2015 tertanggal 15 Oktober 2015. 


Tentu, penetapan dari Pemerintah Indonesia ini patut disyukuri sebagai momentum untuk mengenang dan menghormati jasa perjuangan para pahlawan, seperti KH. Muhammad Hasyim Asy‘ari, KH. Ahmad Dahlan. H.O.S Cokroaminoto, Tengku Fakinah, Maria Josephine Walanda Maramis, dan masih banyak pahlawan Iainnya yang turut berjuang sejak zaman pra revolusi kemerdekaan. 


Merujuk sejarahnya, lahirnya Hari Santri Nasional bersumber pada fatwa KH. Muhammad Hasyim Asy'ari. Sebelum fatwa itu lahir, para ulama pesantren Jawa-Madura menggelar rapat di Kantor PBNU Jalan Bubutan, Surabaya, tanggal 21-22 Oktober 1945. Hasilnya, 2 keputusan yang berhasil menggerakkan rakyat melawan penjajahan:

  1. Memohon dengan sangat kepada Pemerintah Republik Indonesia supaya menentukan suatu sikap dan tindakan yang nyata serta sepadan terhadap usaha-usaha yang akan membahayakan kemerdekaan dan agama dan negara Indonesia terutama terhadap pihak Belanda dan kaki tangannya; 
  2. Supaya memerintahkan melanjutkan perjuangan bersifat "sabilillah" untuk tegaknya Negara Republik Indonesia dan agama Islam. 
 

Kita kenal, fatwa atau keputusan itu dengan nama "Resolusi Jihad". 


Selain itu, beberapa peristiwa yang membutuhkan perjuangan untuk mempertahankan kemerdekaan. Antara Iain, peristiwa perebutan senjata tentara Jepang pada 23 September 1945 yang pada akhirnya membawa Presiden Soekarno melalui utusannya berkonsultasi kepada Kiai Hasyim Asy'ari, yang dinilai memiliki pengaruh di hadapan para ulama. 


Fatwa ini memang patut ditahbiskan sebagai tonggak sejarah yang tidak hanya bermakna heroik dalam konteks kemerdekaan Republik Indonesia, tapi juga sebagai penanda paling Iugas dari tekad para ulama, sebagai rakyat Indonesia yang mencintai bangsanya, untuk membangun peradaban baru dengan menetapkan berdirinya Republik Indonesia sebagai Negara-Bangsa. Yaitu, Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Tahun 1945, sehingga kewajiban mempertahankannya adalah kewajiban Jihad Fi Sabilillah dengan pahala syahid. 


Jihad fi Sabilillah untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia dengan melawan pasukan kolonial inilah yang menjadi esensi Fatwa Resolusi Jihad. Kala itu, para kiai dan pesantrennya memimpin banyak perjuangan bagi kemerdekaan bangsa untuk mengusir para penjajah. Sehingga, bisa disimpulkan Resolusi Jihad merupakan bagian dari cikal bakal berkobarnya semangat para pahlawan untuk berjuang meraih kemerdekaan hingga akhirnya tanggal10 November ditetapkan sebagai Hari Pahlawan. 


Dari alur sejarah ini, bisa dipahami meski merupakan fatwa dari Hadlratus Syaikh KH. Hasyim Asy'ari sebagai Rais Akbar NU waktu itu bersama para ulama Iainnya, Resolusi Jihad menjelma menjadi seruan yang disambut serempak oleh segenap anak bangsa di seluruh Indonesia, dari semua kelompok dan kalangan, terlepas dari perbedaan Iatar belakang apa pun, termasuk perbedaan agama. 


Oleh sebab itu, seperti Hari Nasional Iainnya, Hari Santri adalah peringatan jasa dan keteladanan para pahlawan secara umum, yakni sebagai momentum mengenang KEPAHLAWANAN SEGENAP-BANGSA INDONESIA, bukan hanya satu kelompok tertentu saja; Hari Santri harus benar-benar dipahami, dihayati, dan ditegakkan sebagai HARINYA SELURUH BANGSA INDONESIA TANPA TERKECUALI, untuk mensyukuri “Berkat Rahmat Allah Yang Maha Kuasa" yang telah mengaruniakan kepada bangsa ini generasi pahlawan paripurna yang berhasil menyempurnakan kelahiran Bangsa Indonesia sebagai Bangsa Merdeka. 


Meski demikian, Hari Santri tidak boleh dijadikan alasan oleh kelompok mana pun pada generasi saat ini untuk menuntut balas jasa, tidak oleh Nahdlatul Ulama ataupun pesantren. Kenapa? Karena yang berjasa mempertahankan kemerdekaan negara Indonesia bukan generasi masa kini, bukan kita, melainkan para pahlawan agung dari Generasi 1945 lalu. 


Tugas generasi saat ini, meski tidak turut serta berjuang bertaruh nyawa untuk negara dan bangsa Indonesia, namun bisa mensyukuri kemerdekaan dan mengenang jasa para pahlawan dengan membulatkan tekad untuk meneladani perjuangan mereka, sesuai momentum yang dihadapi. 


Tahun 2022 adalah momentum bagi Indonesia yang memimpin dunia lewat Presidensi G20. Kewajiban generasi inilah untuk mendukung penuh Pemerintah Indonesia dalam kancah global dan membangun Indonesia yang sama-sama kita cintai. Nahdhlatul Ulama memelopori R20, sebagai G20 Religion Forum, yang belum pernah ada sebelumnya. Dalam tiga tahun berturut-turut, G20 dipimpin oleh Indonesia yang mayoritas muslim, dilanjutkan India yang mayoritas Hindu, dan Brasil yang mayoritas Katolik. Dengan mensinergikan nilai-nilai yang dimiliki agama-agama, hal ini akan menjadi kekuatan penting yang masih relevan untuk menjawab tantangan zaman, bahkan 77 tahun, sejak Resolusi Jihad. 


Selain itu, perlu pula meneladani semangat cinta tanah air dengan terus memupuk rasa nasionalisme. Hal ini dapat dilakukan dengan senantiasa mencintai Tanah Air Indonesia, bangga akan bangsa sendiritanpa maksud berpikiran chauvinistikdan menjaga eksistensi bangsa Indonesia secara bersama-sama tanpa terkecoh dengan politik identitas yang bisa saja merongrong rasa patriotisme generasi bangsa. 


Pantang Mengeluh, Berani Berpeluh 
Bersatu Padu, untuk Indonesia Maju
Merawat Jagat, Membangun Peradaban


Pewarta: Muhammad Faizin
Editor: Kendi Setiawan