Terima Anugerah Doktor Kehormatan, Nyai Sinta Nuriyah Punya Dua Peran Strategis
Selasa, 17 Desember 2019 | 15:30 WIB
Nyai Hj Sinta Nuriyah Abdurrahman Wahid berbicara pada Forum Titik Temu di DoubleTree Hilton Hotel Jakarta, Rabu (18/9). (Foto: NU Online/Husni Sahal)
Dekan Fakultas Islam Nusantara Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (Unusia) Ahmad Suaedy melihat Nyai Sinta setidaknya memiliki dua peran strategis. Pertama, perjuangannya terhadap pluralisme tidak saja dilakukan melalui wacana yang digulirkan, tetapi juga aksi nyata.
“Pertama dia memperkenalkan satu perspektif dan pendekatan perempuan untuk dialog kultural antaragama, pluralisme. Dan tidak hanya teori, beliau mempraktikkan,” ujar Suaedy kepada NU Online pada Selasa (17/12).
Pluralisme yang dipraktikkan oleh Nyai Sinta, menurutnya, memiliki keunikan tersendiri karena dibalut dengan aspek spiritualitas keislaman yang tidak luntur di dalamnya.
Hal tersebut terwujud dalam kegiatan sahur bersama yang dilakukan di berbagai kota selama bulan Ramadhan. Meski sahur merupakan salah satu prosesi ritual ibadah bagi umat Islam, tetapi digelar di berbagai tempat ibadah sebagai langkah merajut kebinekaan.
“Ini sahur bersama dan mengundang kelompok marjinal terpinggirkan untuk membangun spiritualitas bersama antarkeyakinan. Itu pendekatan baru untuk di Indonesia dan mungkin di mana saja,” katanya.
Suaedy menyebut upaya yang dirintis oleh istri KH Abdurrahman Wahid tersebut bukanlah hal yang mudah. Selain dilakukan selama bertahun-tahun bahkan di lebih dari satu titik dalam satu hari dalam waktu dini hari, juga konsep kegiatan yang dibangunnya juga mampu mengombinasikan pluralitas dan spiritualitas.
“Tetap berangkat dari ritual keislaman tapi digunakan untuk memperkenalkan dan mempertemukan antarmanusia. Maka universitas perlu melihat fenomena seperti ini,” kata anggota Ombudsman Republik Indonesia itu.
Di samping pluralisme, Nyai Sinta juga merupakan tokoh penggerak perempuan. Menurutnya, wacana publik kerap kali menunjukkan bahwa perjuangan untuk kaum hawa dilakukan oleh orang-orang feminis yang dicap liberal dengan perspektif Barat. Hal ini berbeda dengan Nyai Sinta yang berangkat dari literatur pesantren.
Uqudullijain, misalnya, sebagai sebuah kitab rujukan para santri dalam bidang muasyarah, berkeluarga, menjadi salah satu literatur yang dikaji secara mendalam olehnya. Bersama koleganya, Nyai Sinta mengkritisi kitab karya Syekh Nawawi al-Bantani itu.
Berangkat dari dua hal tersebut, Suaedy melihat bahwa pemikiran dan kiprah Nyai Sinta dalam membangun perdamaian dan mengangkat kesetaraan perempuan ditempuh melalui tiga aspek sekaligus, yakni keagamaan, metodologis, dan substansinya sekaligus. “Dua isu besar yang dikaitkan dalam praksis yang sekaligus membangun metodologi,” pungkasnya.
Pewarta: Syakir NF
Editor: Abdullah Alawi