Ilustrasi. Faktor literasi keuangan atau pengetahuan tentang manajemen keuangan masyarakat yang masih sangat rendah.
Jakarta, NU Online
Ketua Pimpinan Pusat Gerakan Pemuda Ansor Bidang Ekonomi Sumantri Suwarno menjelaskan tiga faktor yang menjadi penyebab orang atau masyarakat Indonesia bisa terjerat oleh pinjaman online (pinjol) yang meresahkan.
Pertama, karena pinjol merupakan bagian dari euforia pengenalan teknologi informasi ke masyarakat Indonesia. Di antaranya saat ini ada facebook, twitter, internet banking, dan salah satunya adalah pinjol itu sendiri.
“Orang bisa melakukan pinjaman dengan proses yang jauh lebih mudah, dibandingkan dia mengambil dari perbankan konvensional, yang harus mengisi data, harus disurvei dan prosesnya bisa lama, sampai dua minggu. Jadi ada faktor penetrasi teknologi informasi,” terang Sumantri dalam diskusi bertajuk Pinjol Bikin Benjol pada Kamis (4/11/2021) dikutip NU Online dari Kanal Youtube Gerakan Pemuda Ansor, pada Selasa (9/11/2021).
Kedua, menjamurnya sifat konsumerisme bangsa Indonesia akhir-akhir ini. Sumantri sangat menyayangkan sifat konsumtif sebagian besar masyarakat Indonesia karena kerap membeli sesuatu yang tidak dipertimbangkan mengenai fungsi terpentingnya.
“Orang beli smartphone tetapi hanya dipakai untuk whatsapp dan telepon, beli mobil paling keren padahal hanya untuk diparkir di stasiun terus dia naik kereta, beli motor paling keren padahal hanya dipakai sabtu-minggu. Ini adalah sifat konsumtif dari bangsa ini,” terangnya.
Ketiga, faktor literasi keuangan atau pengetahuan tentang manajemen keuangan masyarakat yang masih sangat rendah.
“Tiga faktor itu bertemu, seperti air bah dari tiga penjuru sungai yang bertemu yaitu kemudahan teknologi, sifat konsumtif, dan literasi keuangan yang rendah,” jelas Sumantri.
Situasi seperti itu, menurutnya, tidak benar-benar dipersiapkan oleh semua pihak. Baik pemerintah, organisasi masyarakat, maupun para pemangku kepentingan (stakeholder) masyakat.
Ketidaksiapan itu membuat banyak orang terkaget-kaget ketika pinjol tiba-tiba marak. Bahkan, ada orang yang nekat bunuh diri akibat terjerat pinjol atau dilecehkan dan diteror dalam proses penagihannya.
“Inilah faktor-faktor yang menyebabkan marak sekali fenomena keresahan akibat pinjol. Itu namanya faktor teknis,” jelasnya.
Sementara itu, ia menjelaskan soal faktor non-teknis dari fenomena pinjol ini. Faktor ini bersifat lebih makro. Sebuah faktor yang menyebabkan masyarakat tidak bisa mendapatkan sumber-sumber pembiayaan yang bisa diakses dengan mudah. Dampaknya, banyak orang yang lebih memilih pinjol meskipun harus mendapat bunga yang sangat tinggi.
“Kita di pemerintah ada program KUR (Kredit Usaha Rakyat), jumlahnya sudah ratusan triliun. Tetapi lagi-lagi proses ini tidak mudah. Kita semua di Ansor, juga mencoba menjembatani teman-teman di bawah untuk mengakses KUR, itu pun prosesnya tidak mudah,” katanya.
Dengan demikian, faktor teknis dan non-teknis yang tidak tersedia sumber pembiayaan dengan akses mudah bagi masyarakat menjadi penyebab menjamurnya pinjol, baik yang legal maupun ilegal.
“Yang lebih mengerikan lagi, ketika masyarkaat di bawah itu nilai tambah aktivitasnya terhadap pemasukan sangat rendah, justru sebagian besar dari pemasukan mereka, dipakai untuk membayar bunga,” katanya.
Dijelaskan, pinjol yang resmi menerapkan biaya bunga, komisi, dan biaya keterlambatan hingga 0,8 persen per hari. Jika dikalikan 30 hari, menjadi 24 persen. Sumantri menegaskan bahwa tidak ada satu pun bisnis yang mampu menghasilkan tingkat keuntungan sampai 24 persen selama satu bulan.
“Apalagi jika uang itu dipakai untuk kegiatan konsumtif. Makanya tidak heran, orang punya utang Rp3 juta kemudian membengkak menjadi Rp5 juta. Saat ditagih Rp5 juta, dia buka pinjol lagi, membengkak lagi sampai Rp50 juta, dari pinjaman awal Rp3 juta. Ini sudah menjadi kanker yang menggerogoti kantong dari masyarakat kita,” pungkas Sumantri.
Pewarta: Aru Lego Triono
Editor: Fathoni Ahmad