Tiga Kebijakan Gus Dur terkait Kesetaraan Gender saat Menjadi Presiden
Ahad, 23 Januari 2022 | 14:15 WIB
Tangerang Selatan, NU Online
Ketika menjadi Presiden, KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) mengeluarkan beberapa kebijakan termasuk terkait kesetaraan gender. Penulis buku Gender Gus Dur: Tonggak Kebijakan Kesetaraan Gender Era Presiden Abdurrahman Wahid, Ashilly Achidsti mengatakan secara garis besar ada tiga kebijakan Gus Dur terkait kesetaraan gender.
"Yang pertama Gus Dur berhasil membawa isu gender ke dalam isu pemerintahan," kata Ashilly Achidsti saat Bedah Buku Gender Gus Dur: Tonggak Kebijakan Kesetaraan Gender Era Presiden Abdurrahman Wahid yang diadakan oleh Gusdurian Ciputat, Sabtu (22/1/2022) malam.
Menurutnya 20 tahun yang lalu sekitar tahun 1999-2000 itu masih sangat jarang diangkat dalam level tata pemerintahan nasional.
"Dan yang kedua Gus Dur bisa menempatkan orang-orang yang memiliki rekam jejak dalam apa, dalam dunia aktivis kesetaraan gender itu menjadi circle (lingkaran) terdekat beliau dalam menyusun dan mengimplementasikan kebijakan kesetaraan gender," jelas Ashilly Achidsti.
Kemudian yang ketiga dengan inisiatif Gus Dur, dengan kewenangan Gus Dur menjadi Presiden bisa melakukan perubahan kebijakan.
"Yang pertama adalah perubahan nama kementerian dari urusan peranan wanita menjadi kementerian pemberdayaan perempuan. Di mana kementerian merupakan seratus persen kewenangan dari presiden. Nomenklaturnya menjadi nama apapun itu merupakan kewenangan presiden," ungkap Alumni Fisipol UGM tersebut.
Lalu yang kedua penerbitan Inpres Pengarusutamaan Gender No 9 Tahun 2000, sementara Inpres juga merupakan seratus persen kewenangan presiden. Berbeda halnya dengan Undang-Undang yang merupakan kewenangan DPR-Pemerintah.
"Lalu yang ketiga beliau itu juga menyelamatkan buruh migran Siti Zainab yang pada saat hendak dihukum mati. Nah menurut saya dalam penelitian saya itu saya menyimpulkan bahwa Gus Dur ini memberikan pembaharuan yang sangat signifikan," ujarnya.
Ia mengatakan bahwa pada masa Orde Baru kebijakan nasional itu menjadi perempuan hanya sebagai objek kebijakan dalam bahasan pembangunan nasional. Berbeda sekali dengan apa yang coba dibangun oleh Gus di masa pemerintahannya tahun 1999-2000 yang menempatkan perempuan sebagai subjek kebijakan.
"Subjek kebijakan itu seperti apa? Subjek kebijakan itu di mana misalkan Inpres Pengarusutamaan Gender, pengarusutamaan gender itu secara mudahnya bisa kita maknai sebagai pengalaman-pengalaman perempuan itu dijadikan fokus. Supaya kebijakan dari mulai formulasi, implementasi, sampai evaluasi kebijakan itu tidak bias gender," ujarnya.
Hal itu, kata Achilly, yang coba diangkat oleh Gus Dur dalam masa masa pemerintahannya di mana mencoba untuk mengangkat peran perempuan itu bukan lagi sebagai objek kebijakan, tetapi juga sebagai subjek kebijakan.
Kontributor: Malik Ibnu Zaman
Editor: Kendi Setiawan