Nasional

Tragedi Haji Indonesia di Tujuh Perawan

Sabtu, 12 Oktober 2013 | 11:00 WIB

Pada 4 Desember 1974, pesawat yang membawa 182 jamaah calon haji Indonesia mendekati Bandar Udara Internasional Bandaranaike, Srilanka. Sekitar 15 menit lagi pesawat itu akan mendarat. Tapi mujur tak dapat diraih, malang tak ditolak, pesawat itu menabrak puncak bukit "Kanya Saptha", atau disebut juga puncak "Adam" ("Sri Pada").
<>
Seluruh penumpang dan 9 awak pesawat tewas di perbukitan yang dikenal Tujuh Perawan itu. Kabar tersiar, umat Islam dunia serentak melaksanakan Shalat Jenazah Ghaib. Dunia Islam berkabung. 

KH Habib Utsman, tokoh NU Jawa Barat mendokumentasikan kecelakaan itu pada buletin yang diasuhnya, Panggilan Selamat edisi 12/15 Dzulhijjah 1394 bertepatan dengan 29 Desember 1974. Ia menulis, kita dan keluarganya yang ditinggalkan dapat mengambil tamsil dan suri teladan. Bahkan benar-benar kita menguji dan mengaji sukma rasa jaya jiwa Al-Islam. 

Menurut pendiri Pesantren Gadis Islam Kota Bandung tersebut, yakinlah mereka (para jemaah calon haji) itu sungguh sudah berada di dalam nikmat dan rahmat Allah Swt jua. Sekalipun lahirnya terbakar hangus terpisah-pisah bagian anggotanya, namun pada sisi pandangan Allah yakin tidak sama. 

Ayahanda Habib Syarif (Mantan Ketua PWNU Jabar) kemudian menjelaskan, bahwa jalan menuju kepada-Nya sungguh banyak ragamnya. Mati itu bukan di udara, di laut, di darat saja, bahkan bisa di ranjang. Dia menulis, mati pasti akan datang dan akan terjadi. Siapa orang yang takut mati berarti orang itu sudah mati sebelum mati. Sungguh ganjil takut mati, tapi mau hidup. Padahal hidup itu sudah lama dirasainya.

Habib yang pernah nyantri di Pesantren Gentur dibawah asuhan Ajengan KH Ahmad Syatibi ini melanjutkan, mati memang suatu hal yang sudah nyata. Sudah bukti dan terlihat. Terbukti bahkan sering kita mengurus orang mati. Matanya mati bermutu tajam, tidak akan salah tiba, tidak akan salah raba; ini hari giliran matinya si A, besok si B. Pasti tidak akan tertukar. 

Kemudian, dalam tulisan itu, Ketua Muktamar NU di Bandung pada tahun 1967 itu membagi tiga kategori mati. Menurutnya ada mati biasa, yaitu keluarnya nyawa dari badan. Kedua ada yang mati perlahan-lahan karena sakit. Dia mencontohkan, ada orang yang mati badannya, nyawanya masih tetap. Mula-mula mati tangannya, kemudian kakinya, tapi mati dalam arti keluarnya nyawa, belum datang. 

Yang ketiga, orang yang mati hatinya, mati imannya, mati perasaannya. Mati yang ketiga ini tidak tampak (secara lahiriyah), dan tidak terasa orang lain. Bahkan tak diketahui oleh dirinya sendiri. Ia mengomentari mati yang ketiga ini dengan ungkapan naudzubillah min dzalik.

Habib Utsman kemudian menukil sabda Nabi Muhammad Saw, yang artinya, “Jadikanlah hidup tambahan untukku terhadap segala rupa kebajikan, dan jadikanlah mati berhentinya dari segala macam kejahatan”. Ringkasnya, hidup bertambah kebaikan, dan mati terhindar dari segala kejahatan.   

Karena itu ia berpesan, janganlah sampai kita mati badan sebelum mati atau bahkan mati hatinya. Untuk itu, kita harus benar-benar menjaga hidup. Hidup yang benar-benar thoyyibatan, itulah hidup yang benar-benar berjiwa sukma agama. Benar-benarlah beragama, agar benar-benar selamat hidupnya, selamat pula hatinya. (Abdullah Alawi) 


Terkait