Ujaran Kebencian Jadi Tantangan Besar di Negara Demokrasi
Jumat, 3 September 2021 | 09:00 WIB
Jakarta, NU Online
Direktur Aplikasi Informatika Kementerian Kominfo RI, Anthonius Malau menyebut ujaran kebencian menjadi tantangan terbesar di negara demokratis. Apalagi ketika kebebasan yang dijamin oleh konstitusi UU 1945 itu masih disalahgunakan.
“Karenannya, menjadi kewajiban pemerintah untuk mencegah hal tersebut baik di dunia nyata maupun maya,” ujarnya saat mengisi diskusi Literasi Digital bertema Hate Speech (Ujaran Kebencian), Hoaks, dan Kejahatan Dunia Maya yang digelar oleh kerja sama Komisi 1 DPR RI dan Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemkominfo RI), pada Kamis (2/9/2021).
Anthonius menyebut berdasarkan data Kemkominfo secara umum per 31 Agustus 2021 terdapat 1.700 ujaran kebencian yang tersebar di berbagai platform media sosial, utamanya di Facebook dan Instagram.
Ia mengungkapkan, meski pemerintah telah memblokir konten yang mengandung ujaran kebencian, tetapi masih banyak konten negatif yang masih tersebar di platform media sosial. Hal itu disebabkan analisis konten di platform media sosial menggunakan ukuran-ukuran negara liberal. “Kita tahu bahwa platform media sosial berdiri di AS sehingga menggunakan konstitusi yang berbeda,” kata dia.
Misalnya, ia mencontohkan jika masyarakat melihat kegaduhan konten media sosial. Menurutnya, hal itu belum tentu sama bagi (pembuat platform media sosial) sebab perlu pendekatan kontekstual.
“Orang dan kelompok yang berada di dekat mereka lah yang akan melakukan pelaporan kepada penegak hukum untuk diambil tindakan. Kami dari Kominfo tidak memata-matai komunikasi di ruang media sosial atau media online,” ungkapnya.
Senada, Pakar Lingustik UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Makyun Subuki dalam paparanya menguatkan bahwa negara telah mengatur kebijakan untuk menangani semua persoalan ini karena Kemkominfo tidak mungkin mengawasi semua percakapan di media sosial.
“Di sinilah pentingnya semua orang berpikir untuk menghindari atau menimalisir ujaran kebencian. Sebab, tidak semua masalah diselesaikan dengan hukum, itu hanya imbas saja,” kata pria kelahiran Jakarta.
Ia menyarankan pemerintah untuk memperhatikan sektor pendidikan. Misalnya, guru-guru yang memiliki akses untuk memberikan pemahaman kepada siswa agar mengajarkan tidak melakukan ujaran kebencian.
Selain itu, lanjut dia, infulencer media sosial dan politisi juga harus melakukan hal yang sama. “Sudah saatnya (mereka) bekerja tidak hanya membicarakan program pemerintah saja begitu juga politisi tidak hanya mendapatkan pencitraan yang baik tapi perlu membangun komunitas pemilih yang terbebas dari ujaran kebencian,” pintanya.
Diketahui, ujaran kebencian di Indonesia masih tinggi ketika ada musim politik. Politik telah melahirkan ujaran kebencian karena komunitas yang dibangun (mereka), kata Makyun, adalah komunitas yang mengajarkan perbedaan.
“Seharusnya politik mampu membangun komunitas yang mengedapkan persamaan supaya ketajaman perbedaan identitas tidak terlalu menimbulkan biang kekerasan,” pesan Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Jakarta itu.
Kontributor: Suci Amaliyah
Editor: Syakir NF