Jakarta, NU Online
Cendekiawan muslim Indonesia, Prof Azyumardi Azra mengatakan bahwa ulama merupakan pewaris Nabi Muhammad SAW yang memiliki tanggung jawab untuk melanjutkan perjuangan Nabi. Di saat yang bersamaan para ulama dituntut untuk menyontohkan akhlaq kenabian yang santun dan mulia.
“Ulama itu harus berakhlak mulia seperti Nabi karena ulama adalah pewaris para Nabi. Dengan begitu ulama tidak boleh menghina seseorang atau kelompok tertentu, tidak mengumbar ujaran kebencian, dan tidak mengedarkan fitnah atau hoaks,” ujar cendekiawan muslim Indonesia, Prof Dr Azyumardi Azra, MA, CBE di Jakarta, Kamis (13/12).
Dengan mengamalkan hal tersebut, secara bersamaan para ulama telah mengedukasi umat Islam khususnya dan masysarakat pada umumnya tentang cara berperilaku dan berakhlaq mulia. Sebab masyarakat Indonesia memandang ulama sebagai panutan.
Namun ia juga tak memungkiri akan adanya beberapa ulama yang kerap mengungkapkan ujaran kebencian di depan jamaahnya. Sebagian dari para ulama ini tak segan-segan mengungkapkan ujaran kebencian yang berbahaya dalam ceramahnya. Ia menduga bahwa salah satu faktor pendorongnya tak lain adalah keterlibatan para ulama pada kepentingan politik tertentu.
“Ulama yang berbuat seperti itu, kehilangan martabat dan kemuliaan keulamaannya sehingga menjadi su'ul ulama (ulama tercela),” imbuh Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta ini.
Jika dilihat dari kacamata akhlaq, menurutnya, banyak ulama yang belum memenuhi syarat menjadi ulama, tetapi memaksakan diri untuk tampil di atas mimbar demi untuk mencari popularitas. Juga tidak sedikit ulama yang menganut paham radikal yang jelas-jelas bertujuan untuk merusak keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Azyumardi mengungkapkan, ulama atau ustaz atau penceramah radikal ini masih bebas memberikan gagasannya yang mengandung wacana intoleransi, radikalisme hingga anti-NKRI dan Pancasila, baik di masjid atau di media-media digital.
Ia menyarankan pada pemerintah agar ustaz-ustaz seperti itu ditertibkan. Salah satunya dengan cara menyeleksi ustaz atau penceramah keagamaan melalui sertifikasi dari Kementerian Agama, Majelis Ulama Indonesia atau organisasi sekelas Nahdlatul Ulama atau Muhammadiyah sebelum melaksanakan dakwahnya. (Ahmad Rozali)