Untuk Pertama Kalinya, G20 Menyertakan Agama-agama Dunia Bagian dari Solusi Krisis Global
Jumat, 28 Oktober 2022 | 09:45 WIB
Ketua Umum PBNU KH Yahya Cholil Staquf, pendorong utama di balik R20. R20 akan berlangsung di Nusa Dua, Bali pada 2-3 November 2022. (Foto: NU Online/Suwitno)
Jakarta, NU Online
Untuk pertama kalinya, konferensi tingkat tinggi G20 memasukkan secara resmi diskusi bagaimana agama-agama besar dunia harus dilibatkan untuk menangani masalah-masalah global yang mendesak sebagai Acara Utama (Main Event). Diskusi tersebut dinamakan Forum Agama G20 (lazim disebut R20) yang merupakan engagement group dari G20.
Forum R20 akan diadakan di Nusa Dua, Bali pada 2-3 November 2022 dan dibuka secara resmi oleh Presiden Joko Widodo. Pertemuan ini memobilisasi para pemimpin dan pemuka agama global untuk memastikan bahwa agama berfungsi sebagai solusi yang sejati dan dinamis, bukan sebagai sumber masalah, di abad ke-21. Tujuan utamanya adalah untuk:
- Mencegah isu identitas digunakan sebagai senjata;
- Membatasi penyebaran kebencian kelompok;
- Melindungi masyarakat dari kekerasan dan penderitaan yang dipicu oleh konflik;
- Mendorong diskusi yang jujur dan realistis di dalam komunitas agama dan di antara berbagai komunitas agama; dan
- Memasukkan nilai-nilai moral dan spiritual ke dalam struktur kekuatan geopolitik dan ekonomi.
Nahdlatul Ulama (NU), penggagas sekaligus pendiri R20, merupakan organisasi yang mewakili 120 juta Muslim moderat atau lebih dari 40% populasi Indonesia. Ketua Umum PBNU K.H. Yahya Cholil Staquf, pendorong utama di balik R20, memiliki rekam jejak yang konsisten dalam mengajak sesama muslim untuk merekontekstualisasi sebagian pemahaman ajaran Islam yang telah usang dan membelenggu. NU mengakui adanya prinsip-prinsip ortodoksi Islam yang bermasalah, dan bekerja untuk mendamaikannya dengan realitas peradaban kontemporer, sesuai konteks yang telah berubah secara signifikan dibandingkan dengan kondisi ketika hukum Islam klasik itu muncul.
Prinsip-prinsip tersebut di antaranya terkait hubungan antara Muslim dan non-Muslim, struktur pemerintahan, serta tujuan dan pelaksanaan peperangan yang tepat. Semua ini terlalu sering digunakan oleh para militan ekstremis untuk membenarkan tindakan mereka, dan oleh mereka yang berusaha menggunakan Islam untuk tujuan politik, sehingga menumbuhkan rasa tidak nyaman dan keterasingan dari dunia modern. Pada saat yang sama, apa yang dikenal sebagai Islam rahmatan lil 'alamin berusaha untuk mengembalikan rahmah (cinta dan kasih sayang universal) ke tempat yang semestinya sebagai pesan utama agama.
Perubahan sesungguhnya telah terjadi. Pada Munas Alim Ulama tahun 2019 di Banjar, Jawa Barat, NU menolak kategori kafir dalam hukum Islam. NU juga mendukung konsep negara bangsa dan memutuskan bahwa umat Islam tidak memiliki kewajiban secara agama untuk mendirikan kekhalifahan. Sebelumnya, pada 2017, Mahkamah Agung Indonesia memutuskan bahwa semua kelompok agama harus diperlakukan sama di hadapan hukum; kegagalan untuk melaksanakan hal itu akan dianggap "inkonstitusional".
Dengan mengakui adanya tantangan di Indonesia sendiri, NU dan Center for Shared Civilizational Values (Sekretariat R20) mengundang Sekretaris Jenderal Liga Muslim Dunia yang berbasis di Makkah, Syaikh Muhammad bin Abdul Karim al-Issa, untuk menjadi ketua bersama dalam acara R20, sehingga dapat melibatkan dunia Islam yang lebih luas. Dalam beberapa tahun terakhir, Liga Muslim Dunia semakin memfokuskan jangkauan publiknya pada moderasi beragama dan persahabatan antarmasyarakat dan peradaban dunia yang beragam.
Kerja Sama Global NU
Di samping mengembangkan kerja sama dengan Liga Muslim Dunia, NU juga bekerja sama dengan Gereja Katolik global dan dengan salah satu jaringan Kristen terbesar di dunia, Aliansi Evangelis Protestan Dunia, yang mewakili 600 juta orang di 143 negara. Sekretaris Jenderal-nya, Prof. Thomas Schirrmacher dari Jerman, akan menghadiri R20 secara langsung. Aliansi Evangelis telah bekerja sama dengan NU sejak 2019.
Mantan Utusan Khusus Uni Eropa untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan di luar Uni Eropa, Jan Figel, juga merupakan peserta yang telah mengonfirmasi kehadirannya. Jan Figel memainkan peran kunci pembebasan Asia Bibi, seorang wanita Kristen yang dibebaskan setelah hampir satu dekade pemenjaraan di Pakistan atas tuduhan penistaan agama. Sedangkan Uskup Agung Henry Ndukuba, mewakili Gereja Anglikan Nigeria yang memiliki sekitar 25 juta penganut, akan berpidato pada sesi pembukaan R20.
Para ulama NU merupakan aktor-aktor yang paling kuat secara teologis dan efektif secara operasional dalam mempromosikan kebebasan beragama bagi semua orang di dunia Islam saat ini. Mereka memanfaatkan kekuatan unik dari pemahaman serta praktik Islam Indonesia yang pluralistik dan toleran yang berasal dari Jawa abad ke-16.
"Saya menganggap bahwa kerja Islam Kemanusiaan dan gerakan berbagi nilai-nilai peradaban bersama sebagai salah satu perkembangan yang paling inovatif dan penting dalam politik dunia dan etika lintas peradaban di generasi kita ini. Tidak ada acara yang saya tahu lebih tepat waktu, mendesak, atau disusun dengan baik seperti ini," kata Robert Hefner, sarjana terkemuka tentang Dunia Islam dari Universitas Boston dan presiden American Institute for Indonesian Studies. Profesor Hefner juga akan berpartisipasi dalam R20.
India dan Brasil secara berturut-turut akan memegang presidensi G20 pada 2023 dan 2024. India memiliki penduduk Hindu terbesar di dunia (1,1 miliar) dan Brasil memiliki penduduk Kristen terbesar kedua (194 juta). Dengan demikian, R20 mengambil kursi di “meja perundingan” G20 bagi 84% warga dunia yang mengatakan bahwa agama itu penting atau sangat penting bagi mereka (Pew Research 2016). Ratusan juta dari mereka tinggal di Global South, di negara-negara yang tidak memiliki kehadiran resmi di G20.
Editor: Syamsul Arifin