Upaya Berangus Perundungan, Kekerasan Seksual, dan Intoleransi dalam Pendidikan
Rabu, 25 Oktober 2023 | 08:00 WIB
Jakarta, NU Online
Satuan pendidikan di Indonesia belum sepenuhnya bebas dari 'tiga dosa besar' pendidikan, yaitu perundungan, kekerasan seksual, dan intoleransi. Karena itu, diperlukan kolaborasi lintas sektor untuk mengatasi masalah tersebut dengan menanamkan nilai inklusi sosial di sekolah dan relasi baik di dalam keluarga maupun masyarakat.
Hal ini disampaikan, Aktivis Pendidikan Perkumpulan Pengembang Pendidikan Interreligius Indonesia (Pappirus) Listia Suprobo dalam diskusi daring bertajuk mencegah 3 dosa besar pendidikan yang digelar Jaringan Gusdurian, Selasa (24/10/2023).
"Ini saling beririsan antara masyarakat, keluarga dan sekolah. Kalau kita bicara karakter siapa yang mendominasi semua saling terkait. Kita perlu cara pandang baru soal konsep tri pusat pendidikan," tuturnya.
Listia menekankan, pendekatan menangani 'tiga dosa besar pendidikan' ini tidak hanya bertumpu pada satuan pendidikan saja, tapi juga holistik terutama memikirkan pelibatan orang tua dalam pengasuhan dan lingkungan masyarakat sehingga tidak saling tambang sulam.
"Saya kira lembaga pendidikan saja akan sulit mengatasi ini karena akarnya ada di mana-mana. Kekerasan fisik, psikis, maupun simbolik ini saya kira masuk dalam lingkaran berkelindan. Kita perlu melebarkan bacaan dan pencermatan apa yang terjadi di rumah dan melihat aspek kehidupan di masyarakat," jelas Listia.
Upaya penanganan tiga dosa besar dalam pendidikan menurut Listia dengan mengubah cara pandang budaya yang menghasilkan relasi timpang, mengobjekkan kelompok lemah, dan stigmatisasi pada kelompok lemah.
Selain itu, perlu kebijakan yang tersosialisasikan yang dapat menumbuhkan kepekaan untuk mencegah dan empati kepada korban. "Ini bagian dari membuka perspektif korban. Bahasa ini tidak umum diperbincangkan di masyarakat bahkan dunia pendidikan. Seringkali perspektif korban tidak didengar atau diketahui karena tidak semua orang mau membicarakannya," jelasnya.
Ketua Tim Pokja Pencegahan Intoleransi, Kemendikbud Ristekdikti, Kosasih Ali Abu Bakar mengatakan, untuk memutus tiga dosa besar salah satunya memberi pemahaman kepada siswa pentingnya regulasi diri.
"Yang menarik sebetulnya di media sosial. Ketika sekolah aman, kita menginginkan di luar sekolah dan keluarga juga aman. Ini perlu kita pahami. Makanya penting menguatkan regulasi diri pada anak dan itu butuh kerja sama antara sekolah dan keluarga," kata Kosasih.
Catatan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menyebutkan, 2.133 kasus kekerasan terjadi di lingkungan pendidikan selama 2022. Kekerasan meliputi kejahatan seksual, kekerasan fisik/psikis, dan cyber crime.
Sementara dari hasil Asesmen Nasional 2022. Sebanyak 34,51 persen peserta didik mengalami kekerasan seksual. Sementara 26,9 persen peserta didik mengalami hukuman fisik dan 36,31 persen didik mengalami perundungan.
Kosasih menuturkan upaya mengatasi perundungan, kekerasan seksual, dan intoleransi tidak cukup dengan intervensi dari satuan pendidikan. Dibutuhkan komitmen dari pemerintah pusat dan daerah untuk memastikan lingkungan pendidikan yang aman dan nyaman.
Kosasih menambahkan Kemendikbudristek telah melakukan sejumlah upaya untuk menangani tiga isu itu. Penguatan tata kelola pada satuan pendidikan dengan membentuk satgas di sekolah, menetapkan aturan turunan dari Permendikbud dengan TPPK atau satuan tugas melakukan penanganan kekerasan dan memastikan pemulihan korban.
"Layanan pemulihan ini nanti akan difasilitasi oleh pemerintah daerah. Pemerintah daerah berkewajiban memberikan untuk memberikan layanan terhadap pihak-pihak terkait yang profesional," jelasnya.