Usai Bertemu Gus Yahya, Mahfud MD: Kita Harus Tolak Politik Identitas
Jumat, 26 Mei 2023 | 16:00 WIB
Menkopolhukam RI Mahfud MD (kiri) dan Ketua Umum PBNU KH Yahya Cholil Staquf (kanan) saat berdiskusi di Kantor PBNU, Jakarta Pusat, Jumat (26/5/2023). (Foto: NU Online/Suwitno)
Jakarta, NU Online
Beberapa tokoh agama sekaligus tokoh masyarakat di Indonesia mengkhawatirkan munculnya politik identitas pada pemilu 2024 mendatang. Politik identitas dinilai dapat menimbulkan perpecahan dan berdampak buruk terhadap kerukunan umat beragama di Indonesia.
Merespons hal tersebut, Menteri Koordinator Hukum dan Keamanan (Menkopolhukam) RI, Prof Mohammad Mahfud Mahmodin atau dikenal Mahfud MD, sepakat dengan tokoh-tokoh agama, salah satunya Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Yahya Cholil Staquf, yang menolak politik identitas. Mahfud MD menyebut politik identitas sudah seharusnya ditolak, sebab politik identitas berupaya menghegemoni kekuasaan.
"Ya memang gitu. Kita harus tolak politik identitas. Karena politik identitas itu artinya politik yang didasarkan pada upaya menghegemoni kekuasaan melalui identitas primordial," kata Mahfud seusai melakukan pertemuan dengan Ketua Umum PBNU KH Yahya Cholil Staquf di Jakarta Pusat, Jumat (26/5/2023).
Mahfud MD menambahkan, identitas primordial yang dia maksud yakni politik yang menyinggung agama, ras, suku dan antargolongan. Menurut dia, Indonesia menganut politik inklusif kosmopolit, politik yang mengedepankan kebersamaan dan adu gagasan.
Mantan Menteri Pertahanan era Gus Dur ini menilai bahwa politik inklusif kosmopolit sejalan dengan pernyataan toko-tokoh NU yang mengharapkan adanya kebersamaan dalam upayanya membangun bangsa.
"Ini kan sesuai dengan dokumen-dokumen di Muktamar NU, statemen-statemen tokoh-tokoh NU," ucapnya.
Sebelumnya, dua pimpinan ormas Islam terbesar di Indonesia yakni Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah membuat pernyataan bersama. Keduanya sepakat untuk mengedepankan kepemimpinan moral menjelang Pemilu 2024.
Ketua Umum PBNU KH Yahya Cholil Staquf mengatakan, kepemimpinan moral sangat diperlukan dalam politik agar para politisi tak hanya mengedepankan kepentingan-kepentingan pragmatis.
Ke depan, PBNU dan Muhammadiyah juga akan melanjutkan diskusi-diskusi untuk menindaklanjuti pertemuan yang telah dilakukan.
"Saya kira, ini akan menjadi ladang khidmah yang sangat subur bagi NU dan Muhammadiyah. Kami berterima kasih sekali. Mudah-mudahan ini menjadi kunjungan yang berkah," harap Gus Yahya.
Sementara itu, Ketua Umum PP Muhammadiyah Prof H Haedar Nashir mengatakan bahwa kepemimpinan moral diharapkan untuk menjadikan Pemilu 2024 lebih bermartabat.
Kepemimpinan moral itu, jelasnya, melahirkan arah dan visi kebangsaan yang tegas sehingga kontestasi politik tak hanya berupa ajang mencapai kekuasaan semata.
"Tapi ada visi kebangsaan apa yang mau dibawa, diwujudkan yang berangkat dari fondasi yang diletakkan para pendiri bangsa," tutur Prof Haedar.
Lebih lanjut, NU telah memiliki panduan berpolitik untuk warganya. Komitmen tersebut diwujudkan dalam praktik politik kebangsaan, politik kerakyatan, dan etika politik.
Praktik politik tersebut digagas oleh KH MA Sahal Mahfudh dengan nama politik tingkat tinggi (siyasah ‘aliyah samiyah) Nahdlatul Ulama.
Praktik politik ini demi menjaga Khittah NU 1926 yang telah menjadi kesepakatan bersama dalam Munas NU 1983 di Situbondo, Jawa Timur.
Menurut Kiai Sahal Mahfudh, politik kekuasaan yang lazim disebut politik tingkat rendah (siyasah safilah) adalah porsi partai politik bagi warga negara, termasuk warga NU secara perseorangan.
Sedangkan NU sebagai lembaga atau organisasi, harus steril dari politik semacam itu. Kepedulian NU terhadap politik diwujudkan dalam peran politik tingkat tinggi (siyasah ‘aliyah samiyah), yakni politik kebangsaan, politik kerakyatan, dan etika berpolitik.
Kontributor: Abdul Rahman Ahdori
Editor: Fathoni Ahmad