Nasional

Ustadz Nurdin Penyandang Tunanetra dari Sukabumi Imami Tarawih di Masjid Gus Dur

Sabtu, 22 Maret 2025 | 04:30 WIB

Ustadz Nurdin Penyandang Tunanetra dari Sukabumi Imami Tarawih di Masjid Gus Dur

Ustadz Nurdin, penghafal Quran penyandang tunanetra dari Sukabumi, saat mengimami shalat Tarawih malam ke-22 Ramadhan, di Masjid Gus Dur, Ciganjur, Jakarta Selatan, pada Jumat (21/3/2025). (Foto: NU Online/Ova)

Jakarta, NU Online

Masih ingat dengan Ustadz Nurdin, seorang penghafal Qur'an penyandang tunanetra dari Sukabumi yang beberapa tahun lalu menjadi imam shalat Tarawih di Masjid Gus Dur?


Ia kembali mengimami shalat Tarawih pada malam ke-22 Ramadhan dengan bacaan juz 22 di Masjid Al-Munawwaroh, kompleks kediaman KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur), Jalan Warung Sila, Ciganjur, Jagakarsa, Jakarta Selatan.  


Muhammad Nurdin Kamil (45), lulusan Pesantren Al-Anwar, Desa Goa Kidul, Kecamatan Kaliwedi, Kabupaten Cirebon, Jawa Barat, telah menghafal Al-Qur’an 30 juz sejak usia 26 tahun. Ia mondok di pesantren yang diasuh KH Anwar Maksum, kakak sepupu KH Said Aqil Siroj, sejak 2001 hingga 2006.  


“Ketika mondok di Cirebon, saya setoran hafalan langsung ke Kiai Anwar, satu maqra'. Saya menghafal Al-Qur’an menggunakan mushaf Braille yang saya dapat dari Jogja. Waktu itu sulit mencari Al-Qur’an Braille,” ujarnya kepada NU Online usai mengimami Tarawih pada malam ke-22 Ramadhan di Masjid Gus Dur, Jumat (21/3/2025) malam.  


Pria asal Kampung Bojong Pari, Desa Jaya Bakti, Kecamatan Cidahu, Kabupaten Sukabumi ini bercerita bahwa sejak kecil ia belajar membaca Al-Qur’an Braille di Yayasan Pesantren Al-Muawanah, Sukabumi, Jawa Barat.


Setahun kemudian, Nurdin pindah mondok ke Bandung. Ia mengaku awalnya tertarik belajar kitab kuning, tetapi keinginannya itu kandas karena saat itu belum ada kitab kuning dalam tulisan Braille.  


“Al-Qur’an saja, satu juz itu besar sekali. Jadi wajar kalau sulit ditemukan kitab kuning dalam tulisan Braille. Pak Kiai akhirnya menyarankan saya untuk menghafal Al-Qur’an saja,” kata Nurdin.  


“Saya tidak langsung ke Cirebon, tetapi mondok di Bandung dulu, di Al-Syifa’, khusus belajar Ilmu Qiraat dan Tajwid. Cuma, waktu itu suara saya kurang memadai. Akhirnya, kiai menyuruh saya fokus menghafal saja,” lanjutnya.  


Nurdin kemudian mengikuti petunjuk kiainya di Bandung untuk melanjutkan hafalan di Cirebon.


“Saat saya setoran, Kiai Anwar biasa saja, seperti santri lainnya. Apalagi saya sudah memiliki bekal tajwid yang bagus, jadi langsung menghafal,” ujarnya bersyukur.  


Menurutnya, jika ada anak tunanetra yang ingin menghafal Al-Qur’an, ia menyarankan agar mereka belajar Braille terlebih dahulu di Sekolah Luar Biasa (SLB).


“Memang ada metode dengan dituntun sampai bisa membaca, tetapi kiai juga sibuk, dan teman-teman tidak selalu punya waktu luang,” tuturnya.  

 
Ustadz M Nurdin Kamil (kedua kiri) berpose bersama pengurus Masjid Gus Dur di Ciganjur, Jaksel, usai jamaah shalat Tarawih pada malam ke-22 Ramadhan, Jumat (21/3/2025). (Foto: NU Online/Ova) 


Di tengah keterbatasannya, Nurdin tetap bersyukur karena Allah memberinya kemampuan menghafal Al-Qur’an. Ia berharap, anak-anak penyandang tunanetra terus berlomba dalam kebaikan dan tidak kalah dengan yang lain.  


“Jangan sampai tertinggal dari anak-anak normal. Sekarang sudah ada sekolahnya. Banyak tunanetra yang pintar, bahkan ada yang menjadi dosen. Tapi tantangannya ada pada orang tua. Setelah anak dilepas, banyak yang takut ini dan itu. Harus benar-benar tega demi kemajuan anak,” ungkapnya.  


Nurdin berpesan kepada para jamaah, khususnya di Masjid Gus Dur, agar rajin bertadarus dan murajaah Al-Qur’an, apalagi bulan Ramadhan tinggal beberapa hari lagi.


"Mari terus mencintai Al-Qur’an dan membacanya sebanyak mungkin,” pesannya.  


Pria berbadan gempal ini dijadwalkan menjadi imam Tarawih di Masjid Al-Munawwaroh, Ciganjur, Jakarta Selatan, selama dua malam.


“Malam ke-22 ini (semalam) dan besok malam (malam ini) juz 23. Sampai bertemu besok, insyaallah,” pungkasnya.