Nasional

Visi dan Misi, Pertimbangan Utama dalam Memilih Gubernur

Rabu, 12 Oktober 2016 | 10:35 WIB

Jakarta, NU Online
Usep S Ahyar dari Populi Center, lembaga survey dan kebijakan Publik menyampaikan, hasil survey yang dilakukan pada September lalu menghasilkan temuan bahwa faktor yang paling dominan dalam memilih pasangan calon gubernur dan wakil gubernur dalam pilkada DKI Jakarta adalah kesukaan calon pemilih terhadap visi dan misi, serta program yang diusung pasangan calon. 

“Sedangkan faktor kesamaan agama hanya memberi kontribusi sebesar 5 persen,” kata Usep dalam diskusi Perspektif Jakarta yang digelar di Gedung PBNU, Rabu (12/10).

Dalam survey yang melibatkan 400 orang ini, juga ditemukan bahwa 48 persen pemilih berpendapat bahwa gubernur dan wakil gubernur boleh beragama apa saja. Yang menginginkan gubernur dan wakil gubernur harus satu agama mencapai 40 persen.

Temuan lain adalah, 49.8 persen pemilih di Jakarta tidak keberatan jika dipimpin oleh gubernur non-Muslim sedangkan yang keberatan mencapai 46 persen. 

Mengingat dalam Pilgub Jakarta ini ada bakal calon yang berasal dari etnis Tionghoa, yaitu Basuki Cahaya Purnama, Populi Center juga menanyakan kepada responden, apakah mereka keberatan jika dipimpin oleh gubernur beretnis Tionghoa, 53.2 persen tidak keberatan sedangkan yang keberatan mencapai 40.7 persen. 

30.2 persen publik Jakarta menginginkan pasangan calon gubernur-wakil gubernur bebas dari korupsi. Karena itu, jika selama masa pilkada ini ada pasangan calon yang terbukti korupsi, maka 55.5 persen pemilih akan merubah pilihannya. 

Hal yang menjadi perhatian kami ini termasuk kampanye hitam. Usep menjelaskan kampanye hitam adalah kampanye untuk menjatuhkan lawan politik pada isu-isu yang tidak berdasar. Hal ini berbeda dengan kampanye negatif yang menyampaikan kelemahan-kelemahan lawan politik melalui isu-isu negatif, tetapi dengan fakta yang benar, baik itu track record atau kasus-kasus yang dilaluinya.

“Berbeda dengan kampanye hitam, kampanye negatif justru menghidupkan demokrasi dan pendidikan politik yang dikandungnya. Mengapa demikian? Dalam kampanye negatif, informasi yang dikemukakan adalah suatu kenyataan dan mampu dipertanggungjawabkan,” ujarnya.

Dari temuannya dalam survey yang menunjukkan bahwa masyarakat lebih mengutamakan visi dan misi pasangan calon, ia mengambil kesimpulan bahwa masyarakat pemilih di Jakarta sudah menuju pada pemilih yang lebih rasional. 

Namun demikian, kampanye hitam juga akan memunculkan ketegangan politik dan kebencian yang tak berujung. “Stigma negatif terus disematkan pada kelompok tertentu dan pihak-pihak yang mendukung. Pada akhirnya aapriori masyarakat pada pemilu dan demokrasi,” imbuhnya.  

Ia berharap agar ada penyikapan secara serius dari penyelenggara pemilu. “Celah-celah yang memungkinkan kampanye hitam ini muncul harus segera dicarikan solusinya, disertai dengan pengawasan yang lebih ketat,” tegasnya. (Mukafi Niam)


Terkait