Wujudkan Ruang Aman dan Inklusif bagi Perempuan Disabilitas
Selasa, 30 September 2025 | 16:45 WIB
Jakarta, NU Online
Komisioner Komnas Perempuan Chatarina Pancer Istiyani menegaskan bahwa pentingnya ruang yang aman dan inklusif bagi perempuan, khususnya perempuan dengan disabilitas. Hal tersebut ia sampaikan dalam Webinar Kampanye 16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan (16 HAKTP) 2025 dengan tema Kembalikan Ruang Aman: Inklusi Nyata bagi Perempuan Disabilitas pada Senin (29/9/2025).
Chatarina menyampaikan bahwa kekerasan terhadap perempuan masih marak terjadi di berbagai ruang, baik fisik, digital, komunitas, maupun institusi. Berdasarkan Catatan Tahunan (Catahu) 2024, Komnas Perempuan mencatat 330.097 kasus kekerasan berbasis gender terhadap perempuan, meningkat 14,17 persen dibanding tahun sebelumnya.
“Ironisnya, 98,5 persen kasus terjadi di ranah personal atau domestik. Rumah tangga yang seharusnya menjadi tempat paling aman justru menjadi lokasi utama kekerasan. Karena itu, pentingnya tanggung jawab kolektif semua pihak untuk mengembalikan ruang aman bagi perempuan,” ujarnya.
Catahu 2024 juga menyoroti kekerasan terhadap perempuan disabilitas. Selama tahun tersebut, Komnas Perempuan menerima 54 pengaduan kasus kekerasan berbasis gender terhadap perempuan disabilitas, sementara lembaga masyarakat mencatat setidaknya 109 kasus. Secara keseluruhan, tercatat 392 bentuk kekerasan yang dialami perempuan disabilitas, meliputi kekerasan psikis (148 kasus/37,76 persen), seksual (122 kasus/31,12 persen), fisik (90 kasus/22,96 persen), dan ekonomi (32 kasus/8,16 persen).
“Jumlah ini menunjukkan bahwa satu korban dapat mengalami lebih dari satu bentuk kekerasan sekaligus,” ungkap Chatarina.
Sementara itu, Ketua Komisi Nasional Disabilitas, Dante Rigmalia menegaskan bahwa perempuan disabilitas menghadapi lapisan kerentanan ganda.
“Dalam siklus hidupnya, perempuan disabilitas mengalami berbagai lapisan kerentanan dan diskriminasi. Perempuan disabilitas di seluruh dunia sering kali mengalami pelanggaran serius terhadap otonomi tubuh mereka,” ujarnya.
“Mereka mengalami sterilisasi, kontrasepsi, dan aborsi yang dipaksakan atau dipaksakan dengan tingkat yang lebih tinggi dibandingkan perempuan tanpa disabilitas,” sambung Dante.
Dante menyampaikan bahwa sejumlah tantangan yang dihadapi perempuan disabilitas. Stigma, diskriminasi, serta minimnya dukungan dari keluarga, komunitas, maupun pemerintah membuat perempuan disabilitas tidak percaya diri untuk bersuara.
“Kampanye 16 HAKTP bisa menjadi momentum untuk meningkatkan kesadaran masyarakat melalui edukasi dan sosialisasi mengenai perempuan disabilitas dan hak-haknya,” tegasnya.
Senada, Co-Founder dan Direktur Eksekutif Feminis Themis Nissi Taruli Felicia mengatakan bahwa perlunya data lebih spesifik mengenai kekerasan terhadap perempuan disabilitas agar kebijakan lebih tepat sasaran.
Ia menyampaikan bahwa pemerintah seharusnya menyediakan juru bahasa isyarat berkompeten dengan perspektif gender, pelatihan inklusif bagi aparat dan tenaga layanan, serta prosedur khusus yang ramah disabilitas, terutama bagi perempuan Tuli.
“Perluas kolaborasi dengan organisasi Tuli sejak tahap perencanaan hingga evaluasi kebijakan, guna memastikan layanan benar-benar sesuai dengan kebutuhan,” ucap Nissi.