Karakter pesantren mengutamakan substansi, kajian secara mendalam seperti melalui bahtsul masail, durasinya lama, dialogis, dan mengedepankan akhlakul karimah.
Jakarta, NU Online
Sebanyak 20 alumni pesantren mengikuti Halaqah Perempuan Ulama yang diselenggarakan oleh Pusat Studi Pesantren (PSP) secara daring pada Senin (20/7). Mereka mendapatkan materi berupa pengalaman trik dan strategi membuat konten dakwah untuk kalangan santri pesantren.
Nyai Hj Malikah Saadah menjelaskan bahwa kalangan perempuan pesantren misalnya ning, ustadzah, atau bu nyai apabila berkeinginan membuat konten di Youtube, sebaiknya tidak malu-malu meminta santri dan orang tuanya untuk ikut subscribe atau follow akun media sosial.
“Ini wujud dakwah bil hikmah di media sosial, sebagaimana ajaran kiai-kiai kita di pesantren,” terang Youtuber dengan channel bernama Ratu Anggrek sekaligus pengasuh Pondok Pesantren Darussa’adah, Lampung ini.
Selain mendapatkan uang, lanjut Nyai Malikah, peluang lain di Youtube bisa memulai dengan berdakwah kecil-kecilan, tetapi pengaruhnya sangat luar biasa. Pada masa pandemi corona, banyak bisnis yang hancur, tetapi ada bisnis yang tidak ikut hancur, yakni spiritual.
“Bentuk spiritual tersebut berupa pengajian-pengajian yang justru meningkat penontonnya di Youtube selama masa pandemi,” ungkap Youtuber NU itu.
Nyai Malikah mengamati ada kalangan pesantren yang memiliki followers banyak, bahkan sampai melebihi artis-artis. Hanya saja, ia menilai sebagian mereka justru tidak memanfaatkan untuk dakwah dan tidak hanya menampilkan gaya hidupnya saja.
“Ini yang perlu kita dampingi, agar mereka ikut berdakwah ala NU,” ajak Ning Malikah.
Pada kesempatan yang sama, Youtuber Cak Masykur mengamati terdapat perbedaan karakter antara pengajaran pesantren dengan pengajaran di media sosial.
Ia menilai karakter pesantren mengutamakan substansi, kajian secara mendalam seperti melalui bahtsul masail, durasinya lama, dialogis, dan mengedepankan akhlakul karimah.
“Sedangkan karakter media sosial itu berdasarkan tampilan bukan substansi, kajian dangkal, durasinya sebentar, cenderung menyerang dan emosional, dan banyak wacana,” ujar pria yang merupakan founder Cak Masykur Management itu.
Cak Masykur melanjutkan, perbedaan karakter pesantren dan media sosial ini itu perlu ada titik singgungnya.
Untuk itu, trik pertama, apabila kalangan pesantren membuat di media sosial maka perlu masuk ke level tampilan, tapi tidak mengurangi subtansi. Kedua, memecah materi pengajian dalam banyak konten secara tematik.
Ketiga, meningkatkan kualitas audio visual yang baik. Keempat, meningkatkan komunikasi digital, dengan cara mengikuti dan adaptasi arus di media sosial, tanpa mengurangi aspek akhlakul karimah.
Ia menambahkan, untuk mengembangkan konten di Youtube, diperlukan juga adanya strategi dan trik, mulai dari cara membuat judul menarik, saling terhubung di medsos, mengikuti grup-grup, mencantumkan tagar dan deskriptif, lalu memperbanyak like dan comment.
Bagi Cak Masykur, sudah saatnya pesantren tidak lagi bertahan di-platform media sosial apapun.Dan tidak lagi zamannya santri terus-terus melakukan klarifikasi atas wacana tertentu.
“Saatnya kita menyerang, karena pertahanan terbaik adalah menyerang bukan berjejer di tiang gawang,” pungkasnya.
Pewarta: M. Zidni Nafi’
Editor: Fathoni Ahmad