Pagi tadi, begitu mendengar kabar kepergian sahabat, idola, maestro sekaligus guru, badan saya mendadak lemas. Meski ia pernah bilang, "Daripada patah hati, mending dijogeti," hati saya tetap patah. Luh ing pipi, air mata di pipi, begitu ia menyebut, mengalir tak tertahan.
Dan, bagaimana saya bisa berjog et, jika bangsa ini kehilangan salah satu sosok pemersatu? Kehilangan sosok penting pejuang kebudayaan? Ada rasa tak percaya, Sang Maestro Campur Sari, Sang Godfather of Broken Heart itu telah meninggalkan kita semua.
Rasanya baru kemarin, ia bernyanyi di tengah-tengah kita semua. Menemani setiap ruang terkecil saat dada kita sesak. Menjadi cermin terhadap situasi dulu dan kini. Lagu-lagunya juga menjadi semacam cara mengungkapkan apa yang tengah kita semua alami dan rasakan.
Saya mengenal dekat Mas Didi Kempot. Bagi saya, ia bukan hanya seorang pencipta ratusan lagu, bukan hanya penyanyi, bukan hanya seorang tangguh yang telah mencecap asam garam kehidupan. Ia adalah sosok guru yang mengajarkan banyak hal, baik dari lagu, tutur dan tindak tanduknya.
Tahun lalu, kami di jajaran pengurus Pagar Nusa mengangkat Mas Didi, selain Mas Sabrang Mowo Damar Panuluh (Noe Letto) sebagai Duta Pagar Nusa. Pengangkatan ini, bukan saja karena secara pribadi saya mengenal Mas Didi. Namun juga sering kali kami berdiskusi yang secara ideologis ada pemahaman yang sama antara kami di Pagar Nusa dengan Mas Didi tentang Islam Nusantara dan hal-hal yang berbau Aswaja Annahdliyah (ke-NU-an).
Saya merasa Mas Didi juga memiliki kultur Nahdliyin yang kuat. Duta Pagar Nusa disematkan, dengan harapan akan menambah syiar Pencak Silat Pagar Nusa ke seluruh penjuru dunia dengan ketokohan Mas Didi.
Nyatanya, Mas Didi adalah sosok yang sangat amat rendah hati. Setiap kali diundang, ia selalu datang. Tak pernah peduli siapa yang mengundang, asal ia bisa, ia pasti akan bilang "Iya". Mas Didi juga adalah sosok yang selalu mengutamakan kemanusiaan.
Hangat dalam ingatan saya, saat Mas Didi diundang untuk mengisi Konser Amal Pagar Nusa beberapa bulan lalu di TMII. Ia datang, meski undangan itu dikirim H-1 acara.
Masih hangat juga di ingatan kita semua, baru beberapa minggu lalu ia menggelar konser galang dana untuk membantu pemerintah memerangi Covid-19. Tak tanggung-tanggung, 7,6 miliar rupiah ia kumpulkan dalam beberapa jam saja.
Setiap kali ia diundang konser di Jakarta, ia selalu memilih menginap di daerah Slipi. Ya, hingga sekarang ia tak pernah lupa dari mana ia besar. Dari mana ia memulai mengukir garis perjuangan hidupnya.
Saya selalu meneteskan air mata, ketika mengingat nyaris setiap hari ia menelepon saya untuk sekadar mengirim kabar di mana ia berada. Betapa ia adalah seorang sahabat yang amat menghargai persahabatan.
Banyak sekali ingatan yang membekas di hati saya. Saking banyaknya, saya tak bisa mengurai satu per satu dalam obituari sederhana ini. Kini Mas Didi telah berpulang terlebih dahulu. Meninggalkan kenangan yang amat begitu banyak hal kepada kita semua. Soal hidup, soal hubungan, dan seabrek lainnya.
Sebagaimana ia sering berpesan, "Apa saja yang jadi masalahmu, kuat tidak kuat kamu harus kuat. Tapi misalnya kamu tidak kuat, ya harus kuat."
Kita yang ditinggalkan harus tetap kuat, meneruskan jejak perjuangan untuk kemanusian dan kebudayaan Sang Legenda yang kita cintai. Meski, air mata dan kesedihan tak bisa dihindari.
Semua yang di bumi akan pergi, namun karya tetap abadi.
Selamat jalan, Mas Didi. Doa dan linangan air mata semoga menjadi bukti, bahwa engkau layak ditempatkan Tuhan di tempat yang paling baik.
Muchamad Nabil Haroen, Ketum PP Pagar Nusa.