Tunisia sebagai negara yang terletak di paling ujung utara Afrika tercatat berpenduduk 12,26 juta jiwa. Negara yang dikenal pelopor revolusi Arab (Arab Spring) ini sangat kental dengan tradisi keagamaan yang moderat, toleran, dan inklusif. Spirit moderasi ini yang menyebabkan Tunisia berkembang sebagai negara yang relatif aman dan damai dibandingkan dengan negara-negara Arab lain.
Wacana keagamaan yang humanis dan moderasi beragama yang berjalan di Tunisia ini tidak serta merta dibangun dengan keputusan politik sehari semalam, melainkan telah melalui pengalaman kehidupan berbangsa yang panjang, sejak era Kartago, Romawi, Islam, dan Tunisia modern kini.
Dinamisme kehidupan umat manusia dan kebudayaan berbagai macam peradaban yang silih berganti datang ke negara ini juga menjadi faktor utama karakter utama warga Tunisia yang inklusif dan toleran. Disamping, pengaruh pemikiran para ulama Islam seperti Muhammad Thahir bin 'Asyur, Abdul Aziz Al-Tsa'alaby, Khudar Hussein, dan Tahir Hadad memiliki pengaruh besar dalam pembentukan pemahaman keberagamaan warga Tunisia.
Semua pengalaman keagamaan yang berakulturasi dengan beragam kebudayaan Tunisia yang silih berganti, menyadarkan rakyat Tunisia tentang betapa berharganya hidup berdampingan (co-existence) yang damai antarumat beragama. Nilai-nilai yang mendorong terciptanya kehidupan yang damai itu didukung oleh perasaan saling hormat-menghormati (respect) di antara sesama.
Di sisi lain, dorongan kuat juga datang dari kalangan kaum terpelajar Tunisia yang dengan lantang menyuarakan pemikiran keislaman yang merdeka dan inklusif. Ide dan gagasan yang dibangun oleh para cendekiawan Tunisia tersebut bersumber dari dimensi penentangan terhadap kolonialisme dan semangat membangun perdamaian dunia.
Prinsip keagamaan yang dibangun oleh para cendekiawan Tunisia, terutama Ibnu 'Asyur adalah kemaslahatan bersama (maslahah al-'ammah) yang selaras dengan Maqasid Syariah (tujuan hadirnya syariat) sebagai cara bersikap dalam kehidupan berbangsa. Prinsip ini menjadi ujung tombak perjuangan para Ibnu 'Asyue untuk mengkampanyekan wacana keislaman yang humanis.
Sementara itu, semasa dengan Ibnu 'Asyur, hadir pula sosok Thahir Haddad yang vokal menyuarakan hak-hak perempuan Tunisia yang relatif terkungkung oleh pemikiran keagamaan konservatif dan patriarki yang hanya berpihak pada kaum laki-laki seraya menindas kaum perempuan.
Baca Juga
Kehangatan Masyarakat Tunisia
Melalui karyanya yang monumental, Imra’atuna Fi Asy-Syariah Wa-Al-Mujtama’ (Perempuan Kita dalam Syariat dan Masyarakat), Haddad mampu mendobrak kultur keagamaan yang cenderung tidak memberikan ruang bagi kaum perempuan. Padahal, dalam konsep agama, perbedaan jenis kelamin bukan sebuah dalil tinggi rendahnya derajat seorang manusia.
Peran dan kontribusi para sarjana muslim Tunisia untuk melakukan reformasi terhadap pemikiran keislaman ini tidak berhenti di era Ibnu 'Asyur dan Haddad, namun juga dilanjutkan oleh generasi setelahnya seperti Hichem Djait, seorang ahli sejarah yang menawarkan banyak gagasan baru terhadap khazanah keislaman dunia.
Pengaruh cendekiawan muslim asal Tunisia tersebut menjadikan negara di ujung Afrika bagian utara ini berhasil menata sosio-religi masyarakatnya. Terbukti, Tunisia menjadi negara Arab pertama yang berhasil melewati musim semi Arab pada 2011 dibandingkan negara Arab lainnya.
Semangat dari sarjana muslim Tunisia ini yang menularkan apinya kepada para pelajar Indonesia di Tunisia untuk mengusung tema Poros Global Moderasi Beragama Indonesia-Timur Tengah dalam perhelatan tahunan Simposium Kawasan Perhimpunan Pelajar Indonesia di Timur Tengah-Afrika pada tahun 2023 ini.
Simposium Kawasan Pelajar Indonesia di Timur Tengah-Afrika ini diselenggarakan di Tunisia pada 17-21 Juli 2023 lalu. Adapun tema yang diusung dalam kegiatan ini akan menyoroti gagasan moderasi beragama sebagai solusi kebangsaan dan kemanusiaan.
Pengalaman Indonesia, ditambah dengan pengalaman negara-negara di Timur Tengah dan Afrika dalam membangun demokrasi dan moderasi akan menghiasi ruang-ruang diskusi yang akan dihelat pada pekan depan. Selain itu, pengalaman heterogen Indonesia sebagai negara yang merepresentasikan Islam di kawasan Asia juga patut diketengahkan sebagai model negara damai yang menjadi rujukan di level internasional.
Indonesia sebagai negara yang kaya akan budaya, bahasa, agama, dan ras telah terbukti mampu menjaga keutuhan dan kesatuannya sebagai negara republik yang menganut sistem demokrasi. Pendekatan keislaman yang masuk ke Indonesia dengan damai dan toleransi antar umat beragama di Indonesia menjadi sorotan penting Perhimpunan Pelajar Indonesia di Timur Tengah-Afrika dalam pagelaran akbar Simposium Kawasan tahun ini.
Simposium Pelajar Indonesia di Timur Tengah-Afrika edisi Tunis tahun ini harus menjadi ajang penyegaran dan penyadaran kembali kaum terpelajar Indonesia di kawasan Timur Tengah tentang pentingnya membangun wacana keagamaan yang humanis dan inklusif. Selain itu, melalui Simposium Kawasan ini, pelajar Indonesia di Timur Tengah akan merancang sebuah gerakan bersama yang berorientasi pada kemajuan bangsa dan negara.
Ahmad Hashif Ulwan, Mahasiswa Indonesia di Ezzitouna University Tunisia