Opini

Antara Punishment dan Reward

Sabtu, 29 September 2012 | 00:01 WIB

Oleh Muhammad Ramli


Dalam kamus bahasa Inggris-Indonesia punishment berarti hukuman atau siksaan, sementara reward adalah ganjaran atau hadiah. Melihat judul di atas mendahulukan punishment dari pada reward mengandung makna tersendiri. Dalam kaidah bahasa Arab dikenal sebuah kaidah yang berbunyi ta’khir wat taqdhim (mendahulukan dan mengakhirkan) salah satu tujuannya adalah untuk memperjelas dan mengkhususkan sesuatu yang didahulukan. contoh Muhammad dan Ahmad berangkat ke sekolah, dalam kalimat ini mendahulukan kata Muhammad dari Ahmad karena Muhammad lebih tua dari segi umur dari Ahmad.
<>
Dari tema di atas memberikan sebuah isyarat bahwa dalam kehidupan ini punishment lebih sering dijumpai dari pada reward. Di kantor misalnya, pimpinan atau direktur perusahaan lebih banyak yang memberikan hukuman atau sanksi terhadap karyawan yang belum beres tugasnya dari pada memberikan sebuah penghargaan pada saat mereka menyelesaikan tugas dengan baik. Di kampus dosen akan memberikan cemoohan terhadap mahasiswa yang belum selesai tugas makalahnya dan tidak memberikan hadiah terhadap mahasiswa yang dapat menyelesaikan dengan tepat waktu. Di sekolah juga demikian, para guru melakukan hal yang sama. Para siswa yang melanggar akan sesegera mungkin ditindaki untuk mendapatkan  sanksi atas apa yang mereka lakukan, namun jika mereka hadir tepat waktu, tugas tambahan dapat diselesaikan dengan baik, hal itu dinilai biasa-biasa saja dan tidak mendapatkan reward

Pada dasarnya sanksi yang diberikan tidak disertai dengan niat jahat, namun mengandung harapan yang baik, sehingga yang memberikan sebuah sanksi tidak merasa bersalah terhadap apa yang dilakukan, sebaliknya mereka beranggapan telah melakukan kebaikan terhadap anak. Disadari atau tidak, hal ini telah menjadi sebuah efek domino terhadap realitas sosial saat ini. Jika realitasnya demikian, berarti ada sebuah sistem yang salah. Orang yang dididik dengan nilai-nilai kekerasan akan menerima kekerasan sebagai cara menyelesaikan masalah dan jika terbiasa dikenai kekerasan pada dirinya sebagai sesuatu yang diterima, ia tidak akan segan-segan melakukan hal yang sama terhadap orang lain. Inilah yang dimaksud oleh Dom Camara sebagai ”spiral kekerasan”.

Kekerasan di sekolah

Pada tanggal 8 Agustus 2005 Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di kampus IPDN Jatinangor Jawa Barat pada saat pelantikan Pamong Praja Muda IPDN Angkatan XIII dalam sambutannya, menegaskan, “Agar budaya kekerasan dihentikan saat ini juga.” Tapi, kenapa kekerasan tidak pernah berhenti bahkan membawa korban? seakan-akan kekerasan adalah sebuah warisan yang tidak akan pernah dapat diubah. Jika dalam pendidikan kekerasan menjadi kebiasaan, dikhawatirkan akan lahir pemimpin-pemimpin yang akan menggunakan cara-cara kekerasan dalam menjalankan pemerintahan.

Kita harus meninggalkan cara kekerasan dalam menjalankan pendidikan. Anak didik tidak boleh didisiplinkan dengan cara kekerasan. Mereka harus diberikan sebuah ruang untuk mengekspresikan diri dan bukannya diperintah dan dicekoki dengan sebuah doktrin tunggal. Senior melakukan doktrinisasi, sekolah diartikan dengan cara menilai sekolah lain adalah musuh yang harus dihadapi dengan perkelahian. Biasanya, pelajar yang melakukan kekerasan antara pelajar itu adalah murid-murid yang di sekolahnya merasa jago. Setelah mereka merasa berhasil menundukkan teman-teman sekolahnya dan berhasil mengorganisir teman-temannya yang suka berkelahi, mereka akan melakukan sebuah agresi terhadap sekolah lain untuk ditaklukkan.

Perkelahian pelajar merugikan banyak pihak. Paling tidak ada empat hal dampak negatif dari perkelahian tersebut. Pertama, pelajar yang terlibat akan mengalami dampak negatif  bila cedera atau bahkan tewas. Kedua, rusaknya fasilitas umum seperti lampu jalan, rambu-rambu lalu lintas, dan kaca bangunan. Ketiga, proses belajar mengajar di sekolah terganggu. Keempat, dikhawatirkan pelajar akan mengalami sebuah krisis penghargaan terhadap toleransi, perdamaian, dan nilai-nilai hidup rukun bersama orang lain. Para pelajar itu belajar bahwa kekerasan adalah cara yang paling efektif untuk menyelesaikan masalah. Karenanya, mereka memilih melakukan kekerasan agar tujuannya tercapai. Tentu hal ini jelas memiliki sebuah konsekuensi terhadap kelangsungan hidup bermasyarakat Indonesia di masa yang akan datang.

Kekerasan fisik

Physical punishment (hukuman fisik) adalah salah satu langkah yang dianggap efisien oleh sebagian guru untuk mencapai tujuan pendidikan dan mengubah perilaku siswa. Tentu anggapan ini kurang dibenarkan, bahayanya kemudian adalah dapat memicu kebiasaan siswa untuk mengerjakan sesuatu bukan karena kesadaran, melainkan menghindari hukuman dan akhirnya akan lahir sebuah generasi yang menjadikan kekerasan sebagai solusi yang terbaik dalam menyelesasikan sebuah problem.

Lahirnya beberapa geng motor di beberapa kota-kota besar yang berujung tawuran, penganiayaan, perampokan di mini market dan pembunuhan. Hal ini tidak terlepas dari sebuah spiral kekerasan. Mereka melakukan hal seperti itu dikarenakan mendapatkan sebuah tekanan fisik maupun psikologis dari lingkungan. Di sekolah mendapatkan tugas tiap hari dari guru, ruang bermain dan aktualisasi diri minim akhirnya bakat, minat dan potensi yang dimiliki terpendam justru yang muncul adalah hal-hal yang negatif.

Selain itu, kekerasan psikologis yang mereka dapatkan diantaranya adalah adanya pemberian tugas yang berlebihan, membebankan target prestasi yang tinggi, dan memaksa melakukan sebuah hal yang bukan minatnya. Guru dan orang tua terkadang melakukan sebuah intervensi terhadap masa depan anak.

Anak yang memiliki karakter yang berbeda-beda dipaksa memiliki kamampuan yang sama. Melalui ujian nasional, mereka dipaksa memiliki kemampuan yang memadai dalam beberap mata pelajaran. Namun realitas, tidak semua sama.

Anak yang memiliki bakat luar biasa dalam bidang seni, bahasa, dan olahraga. Namun lemah dibidang matematika, fisika, dan kimia dapat divonis sebagai anak yang bodoh. Kasus ini sudah banyak terjadi. Oleh karena itu, sudah saatnya melakukan sebuah evaluasi.

Mentalitas baja sangat di butuhkan

Senin 16 April 2012 adalah hari pertama di mulainya Ujian Nasional tingkat SMA, SMK, dan Madrasah Aliyah. UN yang berlangsung selama 3 hari memiliki sebuah keunikan tersendiri. Salah satunya adalah adanya sebuah suasana degdegan se-Indonesia tidak hanya terhadap peserta UN namun orang tua, kakek dan nenek. Mereka semua berdoa dan berharap semoga anak dan cucu mereka dapat menjawab dengan baik soal UN agar dapat lulus.

Sebulan yang lalu salah satu bimbingan belajar yang cukup terkenal di kota Makassar telah melakukan try out dan pesertanya berasal dari beberapa sekolah favorit, unggulan dan biasa-biasa saja (tidak masuk nominasi). Hasilnya cukup memuaskan, nilai mereka tidak jauh berbeda antara sekolah unggulan, favorit dan biasa-biasa saja. Try out tersebut menggambarkan bahwa kemampuan meraka sama dan mampu menyelesaikan soal-soal dengan waktu yang telah ditentukan. Walaupun ada di antara mereka tidak lulus, tapi hasil dari try out tersebut sangat memuaskan.

Try out ini murni peserta mengerjakan soal-soal tanpa ada bantuan jawaban dan mereka berhasil. Ada sebuah fenomena dalam UN, peserta mudah terpengaruh dengan sebuah kunci jawaban yang mereka dapatkan dan belum ada jaminan itu benar. Contoh; realitasnya, jika mereka telah menjawab no 1 adalah C dan jawaban yang beredar no 1 adalah A, tanpa berpikir dan mencek ulang kebenaran jawaban tersebut, mereka langsung mengganti jawaban yang sudah ada. Jika demikian kepercayaan diri dan mental mereka masih perlu mendapatkan sebuah perhatian dari orang tua dan guru. 

Menantikan pengumuman UN, mentalitas anak, orang tua dan keluarga sangat dibutuhkan. Beberapa tahun yang lalu di televisi diberitakan seorang anak perempuan di Jawa melakukan sebuah bunuh diri di dalam rumahnya sendiri. Setelah diselidiki motifnya adalah karena anak tersebut tidak siap mendengarkan pengumuman hasil UN jika dirinya tidak lulus. Setelah beberapa minggu kemudian pengumuman hasil UN ternyata dia lulus. Nasi sudah jadi bubur, nyawanya tidak tertolong lagi. Siapa yang harus disalahkan dan bertanggung jawab?

Rabu 18 April 2012 hari terakhir UN di Jakarta Barat dan Bekasi terjadi sebuah tawuran antara pelajar setelah melakukan UN. Mereka mewarnai dan mencoret-cereti seragam sekolah dan bahkan rambutnya, sebelumnya melakukan sebuah konvoi sebagai bentuk rasa syukur setelah mengikuti UN. Seharusnya mereka melakukan sebuah kajian ulang soal-soal yang telah di UN-kan. Berdoa dan berdzikir menantikan pengumuman agar lulus, namun realitasnya justru berbeda dengan apa yang diharapkan. Bukankah problem ini sudah menjadi tanggung jawab kita bersama?

* Ketua PW Ikatan Pelajar Nandhlatul Ulama Sulsel


Terkait