Oleh: Ahmad Munir*-- Banjir di DKI Jakarta atau sering disebut Banjir Jakarta merupakan fenonema bencana alam akibat luapan sungai dan genangan hujan, atau kenaikan muka air laut yang terjadi berulang-ulang.
<>
Fenomena banjir dikaitkan dengan pembangunan dinilai sangat merugikan, baik kerugian pada kerusakan fisik bangunan (infrastruktur, fasilitas sosial dan umum, korban jiwa, dan munculnya masalah sosial lainnya) maupun kerugian dari ekonomi (keterlambatan proses produksi dan distribusi barang). Sebaliknya, pembangunan menghendaki pertumbuhan yang berkelanjutan, dari sisi kuantitas maupun kualitas terhadap objek pembangunan, agar tidak terganggu oleh bencana alam atau kejadian beresiko lainnya. Sehingga, pemecahan masalah banjir Jakarta menjadi prioritas pembangunan baik Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Provinsi di DKI Jakarta.
Beberapa alternatif kebijakan penanganan banjir berkembang diantaranya dengan penataan vila-vila liar di puncak tanpa izin, penataan pemukiman di sekitar waduk di Jakarta, normalisasi sungai, rencana pembangunan sodetan/waduk/situ dan lainnya.
Hampir semua paket kebijakan tersebut, menuai pro-kontra di kalangan masyarakat. Terahir yang menjadi isu yang kontroversial yakni rencana pembangunan sodetan Ciliwung-Cisadane, yang secara teknis menurut kementrian Pekerjaan Umum masih mampu untuk dijalankan menjadi proyek, namun kebijakan ini ditentang oleh warga Tangerang karena dianggap akan memindah masalah banjir Jakarta ke wilayah Tangerang, Banten. Pro-kontra ini menarik karena kebijakan penanganan berhadapan dengan paradigm masyarakat yang berkembang.
Kejadian Banjir di DKI Jakarta
Banjir di Jakarta dalam sudut pandang lingkungan umumnya dimaknai sebagai terganggunya sistem hidrologi pada lingkungan daerah aliran sungai (DAS), yang menyebabkan meluapnya berbagai sungai maupun kenaikan muka air laut serta tergenangnya bangunan atau lingkungan tempat tinggal manusia dan berdampak pada terganggunya kerja ekosistem. Pelaksanaan pembangunan memang kadang bersifat dilematis. Pada satu sisi, pembangunan mengkonversi lahan dan mengubah peruntukan serta fungsi alaminya menjadi bangunan, gedung bertingkat dan tutupan lahan lainnya. Konversi lahan berdampak pada kerusakan ekosistem secara keseluruhan. Kaidah ini berlaku dalam konteks penanganan masalah banjir di Jakarta.
Keberlanjutan lahan alami berdasarkan fungsi ekonomis menjadi sangat jarang bertahan. Lahan umumnya cepat berubah menjadi objek kompetisi antar sektor yang menghantarkan lahan pada kondisi tidak stabil dan terus berubah, dari satu penggunaan ke penggunaan lainnya yang kurang mendukung keberlangsungan ekologi. Maka fungsi ekonomis lahan berdampak pada tumbuhnya pemukiman yang mendesak kawasan lindung, misalnya bantaran sungai, pesisir pantai dan kawasan alami lainnya.
Jika dikaji secara fisik, banjir yang terjadi di DKI Jakarta menunjukkan pola peningkatan dari tahun ke tahun yang makin meluas. Sebaran banjir meningkat, dari sisi arah banjir bergerak memadati wilayah Jakarta Utara, Jakarta Barat dan Jakarta Pusat. Peningkatan luasan banjir terjadi karena: 1) konversi lahan dari lahan tutupan vegetasi (hutan mangrove, ruang terbuka) di dataran rendah Jakarta dibangun menjadi lahan pemukiman 2) pemukiman di bantaran situ dan sungai 3) Rusaknya infrastruktur penahan debit air, misalnya tanggul atau saluran air. Sebaran kejadian banjir berkembang ke wilayah Jakarta utara dan Jakarta Pusat.
Peningkatan kejadian banjir ini tidak lepas dari pola kejadian hujan dalam tiap tahunnya. Pola Kejadian hujan yang tinggi dalam intensitas dan sebaran hujannya, sering memicu banjir tahunan yang lebih besar. Jika musim penghujan meningkat jumlah curah hujannya, maka intensitas banjir menjadi semakin tinggi dengan sebaran yang lebih luas. Curah hujan tinggi idealnya diimbangi dengan luasan area konservasi air yang seimbang. Air dari curah hujan tidak dapat ditampung di zona resapan, karena zona resapan khususnya di kawasan puncak telah banyak berubah menjadi area pemukinan dan perumahan. Sehingga curah hujan tidak mampu ter-infiltrasi ke dalam tanah secara optimal.
Kompleknya masalah banjir bisa dipandang dari sisi sosial-masyarakat. Permasalahan banjir tidak terpisah dengan permasalahan sosial seperti kepadatan penduduk, pertumbuhan penduduk yang tinggi, pertumbuhan pemukiman liar di wilayah rawan banjir. Peruntukan wilayah dataran banjir sebagai zona lindung dari banjir luapan, telah berubah menjadi pemukiman kumuh. Hasilnya, bantaran sungai justru menjadi masalah utama di DKI Jakarta. Rendahnya ketaatan penduduk pada ketentuan dan kaidah penataan ruang menjadi sebab berikutnya alasan banjir tidak dapat diselesaikan. Konversi lahan pertanian atau jalur hijau di tepi bantaran sungai menjadi pemukiman adalah masalah konversi yang utama. Masalah lainnya adalah pemukiman liar di tepi bantaran danau/ situ. Maka konversi lahan jenis ini mendorong tumbuhnya kawasan rawan banjir yang semakin luas.
Debit maksimun saat musim penghujan yang tinggi, jika dialirkan menuju DKI Jakarta pasti menimbulkan banjir. Sedangkan wilayah sekitar DKI Jakarta, yang memungkinkan untuk membagi besaran debit, juga mengalami masalah banjir yang hampir sama, sehingga tidak semua keputusan yang bersifat terpadu dapat digunakan untuk menangani banjir Jakarta. Secara lingkungan, sebaran dan luasan banjir juga dipengaruhi oleh besarnya arus urbanisasi menuju kota Jakarta. Arus urbanisasi akibat daya tarik lapangan pekerjaan yang tinggi, memicu tumbuhnya pemukiman di tepi bantaran sungai. Pemukiman tepi bantaran sungai mendorong badan sungai menjadi sempit dan tidak mampu menampung air pada kondisi debit maksimum. Sehingga banjir makin membesar dengan dampak yang semakin tinggi.
Kebijakan Konversi Lahan
Kegiatan manusia seperti di kota Jakarta sangat beragam dengan intensitas pemanfaatan ruang atau lahan yang cukup tinggi. Tingkat keragaman ini ditunjukkan dengan beragamnya kegiatan warga Jakarta dalam memenuhi kebutuhan ekonominya, akan tetapi juga dalam memenuhi kebutuhan sosial dan budayanya. Intensitas pemanfaatan ruang juga sangat tinggi, menyebar di seluruh ruang hingga mencapai kawasan-kawasan yang tidak diperuntukkan untuk kegiatan manusia, misalnya cagar alam, hutan lindung, pesisir mangrove. Keragaman dan intensitas yang tinggi berdampak pada persaiangan dalam upaya mendapatkan lahan sebagai aktivitas utama.
Pokok masalah pertama, kaitanya dengan kebijakan konversi lahan menunjukkan adanya lemahnya rumusan kebijakan dan aturan yang mengatur masalah konversi lahan, sehingga konversi lahan terjadi tidak terkendali. Kondisi yang paling ideal terjadi apabila lahan yang terkonversi sedikit dan penggunaan tanah di masing-masing kawasan sesuai dengan peruntukan dan fungsinya.
Lemahnya regulasi dalam mengatur konversi kebijakan perubahan tutupan lahan tercermin dari kondisi kejadian konversi lahan yang tidak terkendali dan terjadi terus menerus. Kebijakan konversi lahan dalam undang-undang tidak dijelaskan secara khusus kaitanya dengan penyebutan dalam pasal-pasal. Lemahnya kebijakan konversi lahan juga tercermin dari rumusan kebijakan yang tidak mengatur secara khusus.
Pokok masalah penting kedua adalah rencana tata ruang wilayah (RTRW) cenderung rendah dalam memperhatikan kondisi aktual ruang, akan tetapi kuat dalam target rencana ruang pada masa mendatang. Akibatnya, kondisi ruang eksisting yang selaras dengan masalah banjir, tidak bisa dijelaskan secara komprehensif dari sudut fisik, ekonomi dan sosial. Padahal kondisi sosial ekonomi juga berpengaruh besar dalam membentuk ruang terkini dan ruang pada masa mendatang.
Pokok masalah ketiga, pembangunan yang berjalan kurang memperhatikan daya dukung dan daya tampung lingkungan. Sehingga tidak terjadi keseimbangan rasio jumlah penduduk dengan luas tanah, terjadi pemanfaatan ruang yang tidak sesuai dengan karakteristik tanah, lereng dan wilayah ketinggian. Sehingga, yang terjadi lahan dan tanah dibabat habis, digunakan hingga mendekati rasio terbangun dan tidak terbangun 8:2. Suatu rasio yang mencerminkan tingginya intensitas penggunaan tanah/lahan.
Pokok-pokok masalah di atas, jika dikaitkan dengan banjir di DKI Jakarta menjadi faktor pendukung tingginya kejadian banjir dan intensitas banjir serta dampak korban yang dirugikan. Semakin banyak lahan terkonversi, maka semakin besar banjir yang terjadi akan berdampak bagi penduduk. Sehingga membutuhkan kesatuan konsep dalam penanganan, khususnya dalam mengendalikan konversi lahan. Konversi lahan yang terjadi di hulu yang terus meningkat perlu dikendalikan. Perubahan ruang dan kawasan membudahkan terjadinya perubahan penggunaan tanah. Sehingga perubahan penggunaan tanah berdampak besar pada luasan dan sebaran banjir di Jakarta.
Kendala Penentuan Kebijakan Hukum Lingkungan dalam Penangan Banjir
Kebijakan lingkungan yang telah dikembangkan menghadapi masalah banjir termasuk dalam konteks pelaksanaan. Pertama, kebijakan yang telah ditetapkan tidak mengikat semua pemerintah daerah, sehingga pemerintah daerah masih menggunakan otoritasnya sebagai daerah otonom. Dampaknya banyak pemerintah daerah yang menolak pelaksanaan kebijakan, yang dari sisi hukum benar sesuai dengan kaidah ilmiah. Contoh kasus yang menonjol adalah penolakan wali kota tangerang saat pemerintah pusat melalui kementrian pekerjaan umum bermaksud membangun sodetan Ciliwung-Cisadane.
Penolakan ini dapat dipandang sebagai ketidakmampuan dalam memadukan kebijakan lintas provinsi tetapi dalam satu sistem DAS. Pendekatan ini dibenarkan sesuai kaidah ilmiah, tetapi menjadi tidak berlaku dalam konteks pelaksanaan akibat perbedaan kewenangan.
Kedua, dalam menangani masalah banjir diperlukan instrument-instrumnet penanganan yang tepat. Beberapa instrument yang diperlukan antara lain: instrument kebijakan, politik, sosial, budaya, lingkungan dan kelembagaan. Standar lingkungan yang wajib dikembangkan adalah standar kualitas lingkungan tertinggi. Standar ini perlu ditetapkan dalam setiap aspek kebijakan, untuk meminimalisir korban dan kerugian yang lebih tinggi akibat banjir.
Kendala-kendala dalam penanganan masalah banjir di DKI Jakarta dapat dijelaskan dalam dua pendekatan. Pertama, dengan pendekatan kaidah ekologi dan pendekataan penataan ruang. Kedua, kendala dari aspek penentuan kebijakan dan penerapan kebijakan dalam penanganan masalah Banjir di DKI Jakarta. Dari kaidah ekologi, interaksi yang tidak berimbang antara lingkungan hidup (biotik) dan lingkungan tidak hidup (abiotik) dapat memicu tergannggunya berbagai sistem ekologi. Salah satunya sistem hidrologi yang memicu terjadinya banjir. Beberapa kaidah ekologi yang dilanggar antara lain: 1) Kaidah penataan ruang dan pemanfaatan ruang 2) Kaidah fungsi ekologi DAS dan bantaran sungai 3) Kaidah penduduk dan tempat tinggal sesuai peraturan.
Keterpaduan Pengendalian Konversi Lahan
Kompleksitas penentuan kebijakan dan pelaksanaan kebijakan, menjadi penting dalam penanganan banjir, karena masalah banjir kian waktu kian meningkat intensitasnya dan juga kerugian yang ditimbulkan. Maka pemerintah memiliki keharusan untuk menangani masalah ini secara serius sesuai kaidah ekologi. Paradigma konsep keberlanjutan (sustainable) yang sekarang berkembang adalah keseimbangan antara lingkungan, sosial dan ekonomi dari semula paradigma yang berkembang ekonomi lebih mendominasi pandangan tentang pembangunan. Faktanya, saat ini Jakarta telah tumbuh sebagai kota yang melebihi daya tampung dan daya dukungnya bagi warganya. Kondisi ini menuntut paradigma pembangunan kota Jakarta digeser lagi pada paradigma yang lebih ekstrim, yaitu lingkungan harus mendominasi ekonomi dan sosial.
Faktanya sistem sosial dan sistem ekonomi saat ini mendominasi seluruh paradigma pembangunan di Jakarta. Contohnya, proyek reklamasi pantai teluk Jakarta yang mengubah sistem ekologi hutan mangrove dan terumbu karang menjadi ekosistem budidaya. Sistem ekonomi mendominasi sistem sosial dan lingkungan pada semua aspek perencanaan pembangunan yang dikerjakan.
Dengan demikian, masalah banjir yang selalu ditangani dengan pendekatan teknis. Hasilnya tidak cukup efektif dalam konteks penanganan banjir. Penanganan banjir lebih didekati dengan pendekatan proyek. Maka kebijakan penanganan banjir menjadi dilema. Pada satu sisi, banjir bernilai proyek bagi penyandang dana, namun pada sisi lain masalah banjir harus diselesaikan, yang berarti pula menghentikan proyek yang bernilai besar. Dilema ini menghambat pemangku kebijakan serta aspek kelembagaan dalam menangani masalah banjir di Jakarta. Sehingga banjir tidak bisa diselesaikan dari satu aspek saja dan perlu diupayakan secara terpadu, utamanya dengan pendekatan kebijakan lingkungan. Kebijakan lingkungan umumnya tidak bisa berjalan efektif, akibat kompleksitas masalah. Masalah banjir tidak bisa dilihat dari sudut hukum saja, mengingat banjir merupakan bencana yang mengganggu berbagai sistem. Sistem apapun yang terganggu, akan diam dan tidak bekerja efektif.
Efektivitas hukum lingkungan akan terjadi dalam konteks penanganan banjir, jika hukum lingkungan diterapkan secara bertahap, agar sistem yang terganggu tidak terlalu besar. Jika hukum diterapkan secara bertahap dan berkelanjutan dengan memperhatikan lingkungan, sebagai aspek yang paling penting dalam konteks penanganan banjir, maka masalah utama banjir akan dapat diselesaikan juga secara bertahap.
Penanganan Masalah Banjir dan Pengendalian Konversi Lahan
Fakta fisik dataran alluvial wilayah Jakarta antara lain: 1) daerah rendah rawan banjir 2) dataran pantainya menjadi tempat bermuara sungai-sungai besar antara lain: sungai Angke, Pesanggrahan, Grogol, Krukut, Ciliwung, Cipinang, Sunter, Buaran, Jati Kramat, dan Cakung. 3) Mata air sungai-sungai tersebut terletak di wilayah Bogor dan Puncak yang memiliki curah hujan tinggi, sehingga sering menyebabkan luapan di dataran rendah. Banjir Jakarta hampir terjadi di beberapa daerah aliran sungai (DAS) antara lain Ciliwung, Cisadane, dan Pesanggrahan. Dengan demikian, pola banjir di DKI Jakarta berkaitan erat dengan faktor fisiknya.
Di Jakarta sendiri, yang dialiri sekitar 13 sungai besar, beberapa sungai berhulu di Kabupaten Bogor atau sekitar puncak. Maka faktor penyebab banjir dapat diketahui secara pasti. Dominansi faktor disebabkan oleh curah hujan tinggi. Curah hujan tinggi sebagai penyebab input aliran sungai yang tinggi. Maka pendekatan sistem DAS dalam penanggulangan banjir di wilayah hulu adalah dengan 1) mengoptimalkan proses peresapan air ke dalam tanah (infiltrasi). 2) Memperbanyak parkir air dalam bentuk empang, situ, waduk dan danau. 3) Mencegah air hujan yang menjadi aliran permukaan membawa material pengikisan dalam jumlah besar.
Konversi lahan di lapangan mempengaruhi luas lahan, lokasi lahan dan jenis lahan yang ada. Jenis lahan pemukiman dengan berbagai masalah yang dihadapi membutuhkan hasil yang lebih optimal, sehingga dituntut perubahannya untuk berbagai penggunaan. Penggunaan yang berubah, terutama lahan di wilayah hulu mempengaruhi kemampuan infiltrasi lahan terhadap air, sedangkan di wilayah hilir mempengaruhi sebaran luasan banjir. Lahan yang semula dataran banjir menjadi genangan banjir akibat perubahan tutupan lahan yang ada.
Permintaan lahan untuk alokasi non-pertanian terus meningkat sebanding dengan kebutuhan lahan untuk hal lainnya. Pertumbuhan ekonomi, pertumbuhan penduduk dan transformasi bentuk penggunaan lahan yang memicu peluang yang besar untuk terjadinya konversi lahan. Konversi lahan di lapang mencakup perubahan luasan, lokasi lahan dan jenis lahan. Luasan lahan pertanian utamanya terus berkurang sebanding dengan pengurangan luas lahan bervegetasi. Maka alat pengendalian baik RTRW, Ijin Lokasi maupun larangan konversi lahan menjadi instrument penting, kaitanya dalam mengurangi jumlah perubahan penggunaan lahan di hulu DAS yang mengalir ke Jakarta.
Interkasi antara manusia dengan penggunaan tanah menjadi input bagi kejadian banjir yang lebih besar. Luasan banjir sangat dipengaruhi perubahan penggunaan tanah di DAS bagian hulu. Dengan pendekatan keruangan (spasial), banjir dapat dilihat dalam satu sistem besar, yakni sistem hidrologi, yang selalu melihat bahwa banjir adalah fenomena alami, yang disebabkan oleh faktor curah hujan tinggi. Dalam sistem penataan ruang, curah hujan tinggi akan efektif dalam penyediaan sumber air, manakala air dapat terserap ke dalam tanah, melalui proses infiltrasi dalam jumlah yang besar. Namun, jika sistem yang seimbang ini terganggu yang muncul adalah banjir yang mengganggu kehidupan manusia itu sendiri.
Hasilnya, perubahan penggunaan tanah dan konversi tutupan lahan berdampak pada peningkatan banjir di DKI Jakarta. Peningkatan banjir dihasilkan akibat peningkatan sedimentasi dan laju erosi di bagian hulu. Konversi tutupan juga berdampak pada penurunan laju penyerapan air ke dalam tanah (infiltrasi). Sehingga makin besar lahan yang terkonversi, makin besar pula dampak banjir yang dihasilkan. Pengaruh paling besar dari perubahan penggunaan tanah dan konversi tutupan lahan dengan banjir di DKI Jakarta yakni perubahan luasan dan sebaran banjir. Tutupan lahan sangat berpengaruh terhadap luasan dan sebaran banjir di DKI Jakarta terlihat dari periode kejadian banjir dan sebaran banjir yang ada. Masalah banjir di Jakarta bermasalah dalam konteks penanganan, baik pada penentuan kebijakan maupun kepentingan masyarakat dan juga kepentingan pemerintah daerah otonomi lain. Oleh karena itu, peran kebijakan lingkungan menjadi sangat penting.
*Ahmad Munir, pemerhati banjir Jakarta, pernah aktif di Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia Universitas Indonesia