Oleh Fathoni Ahmad
Perbedaan dalam kehidupan manusia merupakan sesuatu yang lumrah, lazim, wajar, bahkan sebuah keniscayaan ciptaan Tuhan. Dengan kata lain, perbedaan adalah sesuatu yang biasa. Justru aneh ketika ada seseorang atau kelompok orang ada yang mempermasalahkan perbedaan untuk dipertentangkan. Hal ini kerap kali terjadi ketika momen politik tiba atau dilakukan untuk kepentingan politik kekuasaan dengan menghembuskan sentimen-sentimen identitas.
Al-Qur’an menyatakan, diciptakanNya manusia berbeda suku bangsa untuk "saling mengenal" (lita’arafu). Apa maksudnya? Keragaman itu merupakan sarana untuk kemajuan peradaban. Kalau kita hanya lahir di suku kita saja, tidak pernah mengenal budaya orang lain, tidak pernah bergaul dengan berbagai macam anak bangsa, dan hanya tahunya orang di sekitar kita saja, maka sikap dan tindak-tanduk kita seperti katak di dalam tempurung.
Kita tidak bisa memilih lahir dari rahim ibu yang beragama apa, atau keturunan siapa atau tinggal di mana. Keragaman tidak dimaksudkan untuk saling meneror, memaksa atau melukai. Al-Qur'an mengenalkan konsep yang luar biasa: keragaman itu untuk kita saling mengenal satu sama lain.
Dengan saling mengenal perbedaan kita bisa belajar membangun peradaban. Dengan saling tahu perbedaan di antara kita maka kita akan lebih toleran; kita mendapat kesempatan belajar satu sama lain. Kesalahpahaman sering terjadi karena kita belum saling mengenal keragaman di antara kita.
Al-Qur'an menggunakan bentuk tafa'ala dalam redaksi lita'arafuu yang bermakna saling mengenal. Fungsinya lil musyaarakati baina itsnaini fa aktsara.
Tidak cukup interaksi kita itu hanya untuk mengenal yang lain, mereka pun harus juga mengenal kita. Interaksi kedua belah pihak akan melahirkan tidak hanya simpati tapi juga empati. Kalau kita meminta orang lain memahami kita, maka pihak lain pun meminta hal yang sama. Langkah awalnya persis seperti pesan Al-Qur'an: saling mengenal.
Para leluhur kita sejak berabad-abad lalu telah mencetuskan bahwa walaupun berbeda-beda, tetapi kita tetap satu (bhinneka tunggal ika). Semboyan tersebut bisa ditemukan dalam Kitab Sutasoma karya Mpu Tantular yang ditulis pada abad ke-14 pada era Kerajaan Majapahit.
Indonesia beruntung telah memiliki falsafah ‘Bhinneka Tunggal Ika’ sejak dahulu ketika negara Barat masih mulai memerhatikan tentang konsep keberagaman. Indonesia merupakan negara yang sangat kaya akan keberagaman. Jika dilihat dari kondisi alam saja Indonesia sangat kaya akan ragam flora dan fauna, yang tersebar dari ujung timur ke ujung barat serta utara ke selatan di sekitar kurang lebih 17.508 pulau.
Indonesia juga didiami banyak suku (sekitar kurang lebih 1.128 suku) yang menguasai bahasa daerah masing-masing (sekitar 77 bahasa daerah) dan menganut berbagai agama dan kepercayaan. Keberagaman ini adalah ciri bangsa Indonesia. Warisan kebudayaan yang berasal dari masa-masa kerajaan Hindu, Budha dan Islam tetap lestari dan berakar di masyarakat. Atas dasar ini, para pendiri negara sepakat untuk menggunakan bhinneka tunggal ika yang berarti "berbeda-beda tapi tetap satu jua" sebagai semboyan negara.
Bangsa Indonesia sudah berabad-abad hidup dalam kebersamaan dengan keberagaman dan perbedaan. Perbedaan warna kulit, bahasa, adat istiadat, agama, dan berbagai perbedaan lainya. Perbedaan tersebut dijadikan para leluhur sebagai modal untuk membangun bangsa ini menjadi sebuah bangsa yang besar. Sejarah mencatat bahwa seluruh anak bangsa yang berasal dari berbagai suku semua terlibat dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Semua ikut berjuang dengan mengambil peran masing-masing.
Umat beragama
Kebebasan beragama di Indonesia adalah hak setiap individu selama kebebasan itu tidak merugikan orang lain. Manusia yang keberadaannya tidak bisa dipisahkan dari aktivitas berfikirnya yang bertujuan untuk menyesuaikan diri dan lingkungan di mana dia berada. Dari keadaan ini memunculkan berbagai ide, baik itu berupa gagasan yang dituangkan dalam bentuk tulisan maupun sikap. yang kesemuanya itu tidak mungkin terpenuhi tanpa adanya sikap toleransi dari lingkungan dimana ia berada. Jadi, toleransi dan kebebasan adalah dua hal yang mesti ada dan saling berhubungan.
Pemahaman keagamaan adalah hal yang paling esensial demi terwujudnya masyarakat kondusif. Pada prinsipnya semua agama mengedepankan budaya toleransi dan menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan sebagai bagian dari ketinggian kekuasaan Sang Khalik.
Kehadiran Islam sejak awal menunjukkan sikap-sikap yang merangkul. Rasulullah mengawali dakwahnya di Makkah secara pelan-pelan: mulai dari keluarga, kawan-kawan terdekat, orang-orang tertindas seperti budak, dan seterusnya. Yang penting dicatat, tahapan demi tahapan dilalui tanpa paksaan, apalagi kekerasan. Bahkan, beliau sendiri yang justru kerap mendapatkan perlakuan kasar hingga percobaan pembunuhan dari para penentangnya, terkecuali dua pamannya, Abu Jahal dan Abu Lahab.
Kita tahu, sejak belia Nabi mendapat julukan “al-amin” karena karakternya yang jujur. Rasulullah juga dikenal sebagai pribadi yang ramah kepada siapa pun, gemar menolong, dan pembela yang lemah. Kepribadian inilah yang menjadi modal dasar beliau mengatasi beragam tantangan tersebut hingga sukses mensyiarkan Islam di Tanah Arab yang kemudian terus meluas ke seluruh penjuru dunia.
Meskipun diakui adanya perbedaan, tidak bisa kita pungkiri adanya titik-titik temu yang menghubungkan budaya Islam secara universal. Salah satu titik temu itu berupa komitmen masing-masing pribadinya fakta kewajiban menjalankan setiap usaha untuk menciptakanmasyarakat yang sebaik-baiknya di muka bumi ini Kewajiban itu dinyatakan dalarn Firman Allah: "Hendaknya di antara kamu ada umat yang melakukan dakwah ila al-khayr, amar ma'ruf dan nahy munkar, dan mereka itulah orang-orang yang bahagia" (QS. Ali ‘Imran [3]:104).
Maksud al-khayr dalam ayat tersebut adalah kebaikan universal; suatu nilai yang menjadi titik temu semua agama yang benar, yaitu agama Allah yang disampaikan kepada umat manusia lewat wahyu Ilahi.
Pemahaman keberagaman ini perlu mendapat perhatian semua pihak karena upaya membina kerukunan umat beragama seringkali terkendala oleh adanya kenyataan bahwa sosialisasi ajaran keagamaan di tingkat akar rumput lebih banyak dikuasai oleh juru dakwah yang kurang peka terhadap kerukunan umat beragama. Semangat berdakwah yang tinggi dari para pegiatdakwah ini seringkali dinodai dengan cara-cara menjelek-jelekan milik (agama) orang lain.
Membangun harmonisasi beragama memang hal yang mesti dilakukan oleh umat beragama dalam menyatukan serta menanamkan rasa persaudaraan juga rasa kekeluargaan walau itu berbeda keyakinan. Keragaman suku, ras, agama didunia khususnya di Indonesia memang bukan hal yang baru kita ketahui untuk itu perlu kiranya jika kerukunan umat bergama di Indonesia khususnya ditanamkan untuk saling bahu membahu satu sama lain dalam pembangunan Indonesia yang tercinta ini.
Namun harmonisasi bukanlah ranah untuk menyatukan kepercayaan umat bergama melainkan hanya untuk menanam rasa welas asih antar sesama. Dengan pengakuan dan pelaksanaan inilah, Islam akan senantiasa menjadi rahmat bagi semua (rahmatan lil 'alamin).
Penulis adalah Redaktur NU Online