Opini

Benedict Anderson dan NU

Sabtu, 23 Januari 2016 | 13:04 WIB

Oleh Muhammad Nashirulhaq

Sebuah tulisan untuk memeringati 40 hari wafatnya Pak Ben.

Setelah wafatnya Benedict Anderson pada 13 Desember 2015 lalu, hampir tak ditemukan reaksi tokoh NU atau intelektual mudanya, kecuali mereka yang memang meminati kajian ilmu sosial, sejarah, dan atau budaya, baik berupa obituari atau catatan singkat demi mengenang Indonesianis besar ini. Wajar, memang. Dibanding para Indonesianis lain yang memang fokus pada kajian Islam, terlebih lagi yang menyangkut NU, nama Ben, begitu kerap ia disapa, memang tak begitu populer bagi kalangan muda NU yang pada umumnya tertarik pada isu keislamaan dan ke-NU-an (atau dalam istilah Ahmad Baso: NU-studies). Tak seperti Martin van Bruinessen, Andree Feillard, Greg Fealy, Greg Barton, atawa Mitsuo Nakamura yang tekun meneliti dan mengamati perkembangan NU (bahkan rutin menghadiri acara-acara akbar NU seperti muktamar, sehingga mengenal dan dikenal sebagian tokoh NU), serta menghasilkan karya-karya yang bertema ke-NU-an, Ben memang tak pernah meneliti, menulis, atau menelurkan karya khusus tentang NU. Karena itu, sekali lagi, sangat wajar bila namanya cukup asing bagi mereka yang fokus pada isu keorganisasian, kultur, dan dinamika internal serta wacana yang berkembang dalam tubuh NU selama ini.

Namun, apakah dengan begitu, berarti Ben sama sekali tak menaruh perhatian dan tak punya hubungan langsung dengan kajian terkait ormas Islam terbesar di Indonesia ini? Apakah ia tak punya kontribusi sama sekali terhadap perkembangan tema kajian ini?

Kalau kita menengok karya-karya Indonesianis yang mengambil tema tentang NU secara spesifik, yang kita temukan justru sebaliknya. Robert Hefner, misalnya, dalam tulisannya di jurnal Indonesia yang kemudian menjadi kata pengantar edisi Bahasa Indonesia dari buku Andree Feillard, NU vis-a-vis Negara, ia menyatakan bahwa Ben Anderson bisa dibilang merupakan Indonesianis mula-mula yang menaruh perhatian terhadap pentingnya kajian mengenai NU ditinjau dari berbagai aspeknya. Ia juga menjadi pendorong utama bagi peneliti-peneliti lain untuk menekuni kajian ini. Melalui tulisannya yang terbit pada tahu 1977, “Religion and Politics in Indnesia Since Independence”, Ben, kata Hefner, “meratapi langkanya karya ilmiah Barat yang serius mengenai NU dan kecenderungan di kalangan pengamat politik Indonesia yang memandang organisasi tersebut sepenuhnya korup dan oportunis”.

Tulisan ini bisa dianggap sebagai tonggak sekaligus pionir yang menandai awal diliriknya NU sebagai objek kajian yang serius. Buktinya, kata Hefner lagi, sejak saat itu kajian mengenai NU mulai menjadi populer di kalangan akademisi Barat dan mereka tidak bisa lagi memandang organisasi tersebut secara sinis dan dengan pandangan meremehkan. (Feillard, 1999: xv)

Perlu menjadi catatan, selama periode 1950-an-1970-an (dan bahkan sebelum itu, sejak era kolonial), dibandingkan dengan organisasi bercorak modernis, NU tidak banyak mendapat perhatian dari kalangan ilmiah. Ia lebh sering disebut sambil lalu, karena dianggap tidak begitu penting dan tidak memegang peran urgen dalam menentukan arah politik negara. Kalaupun ia dibicarakan dan disebut, ia sering digambarkan dengan atribusi yang benar-benar negatif (anti-modernisasi, kolot, anti-pembaruan, dll) (van Bruinessen, 1994: 8). Di saat ilmuwan sosial Barat yang mengkaji Indonesia terlalu berorientasi pada modernisasi (modernization-oriented) sehingga melihat potensi terbesar ada pada kalangan modernis, Ben Anderson, menurut Martin van Bruinessen, sudah sejak tulisan-tulisan awalnya “berusaha memberikan perhatian yang sepatutnya kepada pesantren dan NU”. Karenanya, van Bruinessen tak ragu menyebut Ben Anderson dan karyanya sebagai “perkecualian” dari tren akademisi Barat pada masanya, dalam hubungannya dengan kelompok tradisionalis.

Greg Fealy tak jauh berbeda dengan van Bruinessen dalam menilai peran Ben Anderson terhadap kajian ke-NU-an. Pada mulanya, Fealy membagi arus utama dalam pendekatan historiografi NU menjadi dua bagian. Pertama, adalah wacana atau pendekatan “yang didominasi modernis”, sedangkan yang kedua adalah wacana “yang menghargai tradsi”, yang lebih simpatik dalam memandang NU. Pandangan pertama mulai digunakan dan menjadi pandangan konvensional sejak dasawarsa 1950-an sampai 1970-an, dengan pendukung utamanya adalah intelektual Muslim modernis dan akademisi Barat. 

Hal ini cukup wajar, sebenarnya. Pada tahun-tahun itu, belum banyak kalangan Muslim tradisionalis yang menempuh pendidikan formal “ala Barat”, apalagi menjadi akademisi. Karenanya, kelompok Muslim tradisional menjadi—meminjam istilah Anthony Reid—kelompok yang tidak efektif dalam menjelaskan dirinya kepada dunia luar. Akibatnya, gambaran tentang Islam tradisional memang dikonstruksikan oleh cendekiawan modernis yang sejak dalam pikiran memang sudah berbeda scara diametral dengan kelompok Muslim tradisionalis. NU, misalnya, karena memisahkan diri dari Masyumi pada tahun 1952, lalu mereka sebut sebagai kelompok oportunis yang rela menjilat (Soekarno) dan mencari untungnya sendiri. Mereka (yang tak memahami prinsip dan kaidah berpolitik kaum tradisionalis) juga menganggap NU tak sungguh-sungguh memperjuangkan kepentingan Islam, karena prinsipnya yang tawassuth (moderat), luwes, elastis, dan akomodasionis, tak seperti Masyumi yang berani mengritik bahkan menentang kebijakan rezim Orde Lama dan Soekarno.

Pendekatan model pertama ini kemudian mendapat antitesanya dengan kemunculan kelompok yang menyuarakan pendekatan kedua, yang lebih simpatik dan coba memahami kelompok tradisionalis. Menurut Fealy, meskipun kalangan ini dipelopori oleh Ken Ward—yang meneliti Partai NU dalam Pemilu 1971—, namun kecenderungan ini baru menguat seiring hadirnya tulisan-tulisan Ben Anderson dan Mitsuo Nakamura. Dalam hal ini, Ben berkontribusi misalnya dalam membalik anggapan yang sudah mapan sebelumnya, bahwa NU hanya “menunggangi” agama untuk kepentingan politik, jabatan, dan kekuasaan. Ia menegaskan, yang benar justru sebaliknya, yaitu bahwa NU selalu mengaggap politik hanya sebagai medium (wasilah) demi meraih tujuan-tujuan yang lebih besar, yang didorong oleh motif dan semangat keagamaan. (Fealy, 2003: 12)

Meskipun termasuk sosok yang mula-mula mendorong peneltian tentang NU dan mempromosikan NU sebagai objek penelitian, Ben sendiri hampir tak pernah meneliti dan menghasilkan karya khusus tentang NU. Saya kira, ada beberapa alasan yang bisa diajukan untuk menjelaskan hal ini. Pertama, dicekalnya Ben untuk memasuki Indonesia sejak tahun 1973 sampai 1999 oleh rezim Ore Baru-nya Soeharto jelas tidak memungkinkannya mengadakan penelitian lapangan, bukan saja tentang NU, tapi juga tema-tema lainnya, di Indonesia. Karena itu, pada masa-masa ini ia mengalihkan fokus kajiannya dari Indonesia ke negara-negara Asia Tenggara lainnya, seperti Thailand dan Filipina.

Kedua, ia mungkin juga menyadari, seorang yang meneliti NU seyogyanya memang mempunyai modal pemahaman akan Islam tradisional, karena NU-studies memang tidak bisa dilepaskan dari Islamic-studies. Fealy sendiri, yang bertolak dari basic ilmu politik mengakui, “sebagaimana pengetahuan tentang Marxisme diperlukan untuk mempelajari ideologi PKI, pengetahuan tentang fiqih merupakan syarat utama untuk memahami pemikiran politik NU”. (Fealy, 2003:10).

Namun, meskipun tak banyak tulisannya yang menyangkut soal NU, pandangannya yang simpatik terhadap organisasi tradisional ini tak pernah berubah. Pada tahun 2008, misalnya, dalam tulisannya tentang obituari Soeharto, “Obituary for a Mediocre Tyrant”, ia menggambarkan NU sebagai kelompok “’traditional’ Islam who in many ways are showing thmselves to be far more modern than the ‘modernist’”. Dalam tulisan yang sama, ia juga mengapresiasi dan menaruh harapan besar pada kelompok intelektual muda dan aktivis sosial dari kalangan ini, yang mempunyai potensi besar dan sudah mencoba membangun rekonsiliasi dan memulihkan kehormatan orang-orang yang menjadi korban pelanggaran HAM di masa lalu.

Sebuah penilaian yang mengingatkan saya pada penilaian serupa yang dinyatakan oleh Mitsuo Nakamura, misalnya. Pada tahun 1981, Nakamura menyebut NU sebagai “radical traditionalism”, yang setelah perubahan rezim politik,berhasil mengembangkan kombinasi antara sikap oposisi menentang otoritarianisme rezim dengan sikap akomodatif dalam beberapa hal demi tetap menyelamatkan kehidupan organisasi, yang tak kalah pentingnya. Ketika saudara modernisnya “memperoleh keuntungan dari sikap akomodatif terhadap Orde Baru” tetapi berhasil dikooptasi oleh rezim.

Sebuah penilaian, yang juga mengingatkan saya pada fase cukup pajang dari Matin van Bruinessen. “Ketika itu saya percaya bahwa modernisme Islam lebih dinamis dan secara intelektual lebih menarik ketimbang kaum pemelihara tradisi. Saya menghubungkan NU dengan oportunisme politik, konservatisme sosial, dan keterbelakangan kultural. Saya segera menemukan bahwa kenyataannya berbeda, dan kaum modernis, dan pembaharu tidak selalu merupakan pemikir Muslim paling progresif di Indonesia. Banyak di antara mereka yang nampaknya sudah memegang teguh paradigma–paradigma Hasan al-Banna, Sayyid Qutb, dan Abul-A’la Maududi, sebuah bentuk taklid yang bisa menjadi lebih kaku ketimbang sikap taklid kaum tradisionalis kepada empat imam madzhab. Saya seringkali bertemu dengan orang-orang muda berlatar belakang pesantren yang secara intelektual berpikiran lebih terbuka dan lebih besar rasa ingin tahunya ketimbang kebanyakan modernis yang saya kenal...... Dalam kenyataannya, sebagian dari pemikir Muslim paling menarik di Indonesia berasal dari latar belakang tradisionalis, bukan modernis.

..........Tradisionalisme pesantren dan otoritarianisme kiai jelas tidak menghalangi munculnya arus-arus pemikiran tandingan. Kenyataannya, saya sering terpesona oleh kemandirian berpikir dan sikap kritis generasi muda pesantren dibandingkan para lulusan sekolah bertipe modern di Indonesia”. (van Bruinessen, 1994: 12, 220).

* Mahasiswa FISIP UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan anggota PMII Ciputat


Terkait