Nahdlatul Ulama (NU) ibarat butiran emas yang tercecer di kubangan lumpur. Dia emas, karena itu dirinya menjadi modal bagi upaya keluar dari kubangan lumpur untuk bisa duduk sejajar dengan peradaban lain yang selama ini tampak kemilau. Namun, karena emas, NU bisa pula menjadi maskot kejayaan untuk diperebutkan pihak-pihak berkepentingan, baik orang dalam maupun luar NU, yang sewaktu-waktu bisa dirampas untuk diambil manfaatnya.
Dalam hal ini, posisi NU menempati posisi "rebutan". Salah satu ruang kontestasi yang selalu memperebutkan NU adalah ruang politik. Pada konteks ini, pemilihan gubernur (Pilgub) Jatim yang akan dihelat Juli mendatang, juga merupakan arena politik yang tidak boleh tidak akan menempatkan NU sebagai rebutan seluruh calon gubernur atau partai.<>
Pedoman politik NU
Sadar dengan potensi dirinya yang begitu besar yang sekali waktu bisa dimanfaatkan secara politis oleh pihak berkepentingan, baik individu atau kelompok di dalam maupun di luar NU, maka pada Muktamar ke-28 di Yogyakarta (1989), NU merumuskan pedoman berpolitik bagi warga NU yang kemudian dikenal dengan Sembilan Pedoman Politik Warga NU (SPPWNU). SPPWNU ini merupakan pedoman praktik berpolitik yang dikembangkan dari prinsip-prinsip Khitah 1926 NU yang dideklarasikan 5 tahun sebelumnya (1984), tepatnya pada Muktamar NU ke-27 di Situbondo.
Salah satu poin penting pada Khitah 1926 NU tersebut adalah, "NU sebagai jam'iyah secara organisatoris tidak terikat dengan organisasi politik dan organisasi masyarakat manapun" (poin 8). Meski demikian, poin ini tidak mengikat warga NU secara individual untuk menggunakan haknya dalam berpolitik sebagaimana dijelaskan pula di rumusan Khitah 1926 NU tersebut.
Perlu dicatat, pada konteks digelarnya banyak pemilihan kepala daerah (pilkada) dan menjelang Pemilihan Umum (Pemilu) pada 2009, poin di atas menemukan relevansinya untuk dijadikan pedoman politik NU (oleh petinggi Pengurus Wilayah NU dan di atasnya) ketika dihadapkan pada perdebatan "dinonaktifkan atau diberhentikannya figur NU struktural yang maju sebagai calon presiden/calon gubernur/calon bupati, dan sebagainya. Sebab, perdebatan seperti dinonaktifkan atau berhenti, seringkali terjadi ketika salah satu tokoh NU struktural mencalonkan diri.
Seperti di Jatim, perang terbuka antara Ali Maschan Moesa, Ketua Umum PWNU Jatim, yang menjadi calon wakil gubernur Soenarjo dari Partai Golkar dengan KH Miftahul Akhyar, Ketua Suriyah PWNU Jatim, hingga sekarang masih hangat dan kemungkinan tidak selesainya konflik tetap terbuka hingga pasca-pilgub.
Lalu, bagaimana harusnya warga NU melihat beberapa figur NU struktural sebagaimana terjadi pada tiga figur NU (Ali Maschan, Saifullah Yusuf, dan Khofifah Indar Parawansa) yang sama-sama maju pada pilgub Jatim kali ini? Kepada siapakah kalangan Nahdliyin harus menusukkan paku pada kertas suaranya? Dan apakah pilihan suara Nahdliyin harus disandarkan pada representasi organisasi (NU), atau harus meluas pada masa depan seluruh masyarakat keseluruhan? SPPWNU, sebagai pedoman berpolitik bagi warga NU, kiranya perlu dibaca, dipahami, dan dihayati kembali, untuk kemudian dijadikan pijakan Nahdliyin dalam menentukan pilihan politiknya digelar Pilgub Jatim tahun ini.
SPPWNU itu menjelaskan, bahwa berpolitik bagi NU berarti: 1). keterlibatan warga NU sebagai warga negara dalam kehidupan berbangsa dan bernegara sesuai dengan Pancasila dan UUD 1945, 2). Haruslah berwawasan kebangsaan, dengan menjunjung tinggi persatuan dan kesatuan bagi tercapainya tujuan bersama, 3). Usaha pengembangan nilai-nilai kemerdekaan yang hakiki dan demokratis, 4). Haruslah dilaksanakan dengan moral, etika, dan budaya berketuhanan Yang Maha Esa, 5). Haruslah dilakukan dengan kejujuran nurani dan moral agama, konstitusional adil, dan sesuai dengan peraturan dan norma-norma disepakati, 6). Usaha untuk memperkokoh konsensus-konsensus nasional, 7). Menjauhi tindakan mengorbankan kepentingan bersama dan memecah persatuan, 8). Mempertahankan persatuan warga NU secara organisatoris, dan 9). Menuntut adanya komunikasi kemasyarakatan timbal balik dalam pembangunan nasional.
SPPWNU di atas bermuara pada tiga orientasi dasar berpolitik, yaitu: terpeliharanya keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), kemaslahatan bersama (maslahat al-ummah), dan terjaminnya perwujudan Hak Asasi Manusia (HAM). Tiga orientasi dasar politik NU di atas mencorakkan arah politik NU pada apa yang disebut KH Sahal Mahfudz (Rais Aam Pengurus Besar NU) dengan "politik kebangsaan" dan "politik kerakyatan". Orientasi politik yang mengarahkan gerak juangnya pada upaya utuh dan majunya sebuah bangsa serta terciptanya masyarakat yang berdaulat, sejahtera, adil, dan makmur.
Apa yang diangankan dalam politik NU dapat dijelaskan oleh usaha-usahanya dalam mewujudkan maslahat bagi semua masyarakat (umat). Sebab, hanya dengan orientasi maslahat itulah keutuhan dan kemajuan bangsa dapat terwujud. Ini pula yang disiratkan KH Said Aqil Siradj (Ketua PBNU), bahwa perjuangan di ranah politik tidak boleh terlepas dari usaha-usaha pencapaian kemaslahatan.
Menurutnya, apa yang disebut maslahat adalah capaian-capaian perjuangan yang merepresentasikan lima nilai universal (al-kulliyat al-khams) sebagaimana terdapat dalam Islam, yaitu terjaminnya: kebebasan beragama (hifdz al-din), terpeliharanya kelangsungan hidup (hifdz al-nafs), kebebasan berkreasi, berekspresi, berpikir, dan beropini (hifdz al-'aql), pemilikan harta dan properti (hifdz al-mal), dan kelangsungan keturunan, kehormatan serta profesi (hifdz al-nasl wa al-'irdl). Pengembangan lima nilai universal di atas dapat dikembangkan dalam kerangka HAM dan pemerintahan demokratis (Aqil Siradj, 1999).
Lima nilai universal (al-kulliyat al-khams) ini juga dipegang NU sebagai pijakan dalam setiap gerak perjuangannya, termasuk perjuangan di ruang politik. Karenanya, apa yang tertera di SPPWNU mencerminkan usaha-usaha politik bagi terealisasinya lima nilai universal Islam dalam kehidupan nyata.
Tentu saja, untuk mewujudkannya tidak semudah mengangkat roti ke mulut. Diperlukan tekad kuat mengedepankan akal-budi dari pada nafsu bagi kita untuk merealisasikannya. Untuk menjembatani kesulitan itu, maka kemudian NU menggariskan, bahwa berpolitik bagi warga NU harus dilakukan dengan cara memegang moralitas agama dan etika dalam berpolitik. Hal ini untuk mencegah warga NU agar tidak terjebak pada "politik kekuasaan". Sebab, orientasi politik macam ini akan menggunakan segala cara (meski keluar dari tuntunan ajaran Islam dan nilai-nilai Aswaja NU) demi tercapainya hasrat berkuasa. Walhasil, maslahat al-ummah yang diidam-idamkan tinggal mimpi belaka.
Dari penjelasan di atas, pertanyaan akhir yang patut diajukan dalam tulisan ini adalah, adakah figur-figur NU yang tampil di ajang pilkada-pilkada atau di pilpres nanti mampu merealisasikan "sejatinya" orientasi politik NU? Mari kita sama-sama menengok kembali Sembilan Pedoman Politik Warga NU untuk menilainya.
Penulis adalah warga NU asal Sumenep dan aktivis Lembaga Kajian Sosial, Budaya dan Keagamaan Pondok Budaya Ikon, Surabaya, Jawa Timur