Kupatan Kendeng, Tradisi Selamatan Ibu Bumi Gunung Kendeng Utara
Sabtu, 5 April 2025 | 13:00 WIB
Ayu Lestari
Kontributor
Rembang, NU Online
Warga Kendeng Desa Gunem Rembang melakukan tradisi kupatan kendeng. Dalam hal ini beberapa tradisi diselenggarakan mulai dari temon banyu beras, lamporan, urun, pagelaran panggung musik, dan diakhiri dengan arakan kupat, Sabtu (5/4/2025).
Aktivitas ini ramai diikuti oleh warga Rembang, Sedulur Sikep Samin Surosentiko Blora, Pati, Semarang, warga Lemah Putih, dan warga Kumbo dari Sedan, Komunitas Taring Padi Yogyakarta, dan komunitas aktivis lingkungan dari Wonogiri.
Kupatan ini senantiasa diadakan tiap tahun selepas lima hari raya Idul Fitri. Dalam artian, kupatan Kendeng ialah sebuah tradisi lokal yang dilakukan masyarakat Kendeng utara guna memperingati dan merayakan suka cita di hari lebaran.
Tradisi kupatan kendeng tersebut ini juga memiliki makna sama, mengakui kesalahan dan permintaan maaf kepada sesama manusia dan meminta maaf kepada Ibu Bumi yang memberikan kehidupan selama ini dari lubuk hati terdalam.
Keunikan dari terselenggaranya Kupatan Kendeng adalah mereka menyajikan cerita semi drama yang dilakukan warga asli Kendeng Utara dengan adanya selipan tembang Jawa seperti megatruh dan pangkur.
Sukinah, tuan rumah sekaligus aktivis lingkungan yang akrab dijuluki 'sembilan perempuan Kendeng' mengungkap, bahwa kegiatan semacam itu sudah melekat bagi masyarakat Kendeng. "Bagi kami, kupatan kendeng menjadi suatu gerakan untuk tetap melestarikan ibu bumi, jangan sampai tradisi semacam ini tidak diketahui generasi selanjutnya, dan akhirnya jadi usang," terang Sukinah kepada NU Online.

Beberapa runtutan acara kupatan kendeng, sangat syarat akan nilai dan makna filosofinya sebagai berikut.
Temon banyu beras
Dimulainya kupatan kendeng dengan menemukan air cucian beras. Masyarakat memperagakan upaya mencari air beras untuk memasak ketupat. Lantaran belum menemukan air tersebut, warga Kendeng mencari cara dengan menemui sang pertapa untuk menemukan mata air sumur kendeng.
Acara ini diperagakan sebanyak dua belas ibu-ibu dari Kartini Kendeng yang membawa beras dalam wadah, lalu beras itu dibawa ke sumber air untuk 'dikose' atau di cuci. Setelah bersih, beras dibawa pulang untuk dimasukkan dalam anyaman ketupat, dimasak, dan disusun membentuk gunungan.
Tahapan ini mengandung makna bahwa air menjadi sumber utama kehidupan makhluk hidup, apabila air tidak ada, maka kehidupan akan musnah.
Prosesi itu berjalan dengan suasana hening dan khidmat. Selain itu, prosesi ini juga memberikan pengingat untuk 'mbalik eling dan kliningan' kepada manusia agar tidak serakah.
"Jangan sampai merusak pohon dekat sumber. Jangan sampai merusak ibu bumi. Itu pesanku. Tolong diingat-ingat!" ucapan salah satu peraga penjaga sendang Kendeng dalam bahasa Jawa.
Setelah itu, warga kembali ke lapangan menyaksikan wayang kulit Petruk Jadi Ratu dan ditutup dengan 'brokohan' atau sajian makanan selametan.
Lamporan
Sebutan ini sama dengan menyalakan seribu obor. Titik awalnya mulai dari lapangan hingga menuju sendang atau sumur Kendeng guna mencari dan mengambil air cucian beras . Warga sangat antusias mengikuti lamporan.
Diketahui, lamporan adalah tradisi turun temurun dari leluhur sebagai upaya mengusir hama pertanian. Namun, hama yang dimaksud termasuk juga kebijakan yang tidak berpihak kepada petani dan dunia pertanian.

Rembug
Pasca lamporan, dilanjut dengan diskusi dipimpin bersama Gunretno, Koordinator Jaringan Masyarakat Peduli Pegunungan Kendeng.
"Saudara semuanya, adanya kupatan kendeng ini kita jadikan refleksi bersama dan saling bertukar cerita serta pengalaman dari teman-teman seperjuangan dalam pelestarian alam terutama bagi Pegunungan Kendeng," tandas Gunretno.
Arak-arakan kupat
Acara ditutup dengan 'dono weweh kupat lepet' artinya memberikan ketupat dan lepet. Gunungan berisi ketupat dan jajanan diarak mengelilingi Desa Tegaldowo. Mulai pukul 08.00 hingga 10.00 pagi diiringi dengan pagelaran panggung musik.
Setelah itu, ketupat yang sudah matang dibagikan kepada seluruh warga desa sebagai ajakan kepada warga desa untuk menyelamatkan pegunungan Kendeng dari pihak yang tidak bertanggung jawab.
Tak lupa, masyarakat Kendeng Utara Gunem Rembang juga menyinggung prahara bencana alam antara lain longsor, kerusakan kualitas air pegunungan, sekaligus banjir yang terjadi di Rembang.
Terpopuler
1
Di Masa Orde Baru, Pendiri IPPNU Ditahan di Polsek Gegara Ceramah, Ditolong oleh Ayah Gus Baha
2
Santer Dikabarkan Mangkrak, Kini IKN Dijadikan Lokasi Wisata Libur Lebaran
3
Rupiah Makin Melemah, Bank Mulai Jual Dolar AS Dekati Rp17.000
4
Ketua PBNU Nilai Kebijakan Prabowo Relokasi 1.000 Warga Gaza sebagai Langkah Blunder
5
KH Ubaidullah Shodaqoh: Revisi UU TNI Tidak Substansial Mendukung Tugas Utama Tentara
6
Khutbah Jumat: Mendidik Anak ala Luqman Al-Hakim
Terkini
Lihat Semua