Produk Ekspor Utama RI yang Kena Tarif Resiprokal AS dan Dampaknya bagi Ekonomi Nasional
Jumat, 4 April 2025 | 19:30 WIB
Jakarta, NU Online
Pemerintah Indonesia dalam hal ini Kementerian Luar RI (Kemlu RI) mengaku, pengenaan tarif resiprokal Amerika Serikat (AS) ini akan memberikan dampak signifikan terhadap daya saing ekspor Indonesia ke AS.
Melalui rilisnya, Kemlu menjelaskan bahwa selama ini produk ekspor utama Indonesia di pasar AS antara lain adalah elektronik, tekstil dan produk tekstil, alas kaki, palm oil, karet, furnitur, udang, dan produk-produk perikanan laut.
"Pemerintah Indonesia akan segera menghitung dampak pengenaan tarif AS terhadap sektor-sektor tersebut dan ekonomi Indonesia secara keseluruhan. Pemerintah Indonesia juga akan mengambil langkah-langkah strategis untuk memitigasi dampak negatif terhadap perekonomian nasional Indonesia," jelas Kemlu RI lewat keterangan tertulis di laman resminya, Kamis (3/4/2025).
Penerapan tarif resiprokal 32 persen tersebut dinilai sejumlah pihak akan berdampak pada perekonomian nasional, di antaranya potensi terjadinya resesi ekonomi dan terdepresinya kurs rupiah.
Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira menyatakan, kebijakan tarif resiprokal Amerika Serikat (AS) ke Indonesia sebesar 32 persen bisa memicu resesi ekonomi pada kuartal IV 2025.
"Bisa picu resesi ekonomi Indonesia di kuartal IV 2025," kata Bhima, Kamis (3/4/2025) di Jakarta dikutip dari Antara.
Bhima mengatakan, dengan tarif resiprokal tersebut, sektor otomotif dan elektronik Indonesia bakal di ujung tanduk.
Pasalnya, konsumen AS menanggung tarif dengan harga pembelian kendaraan yang lebih mahal yang menyebabkan penjualan kendaraan bermotor turun di AS. Karena ada korelasi ekonomi Indonesia dan AS dengan persentase 1 persen penurunan pertumbuhan ekonomi AS, maka ekonomi Indonesia turun 0,08 persen.
Sementara itu, Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Fadhil Hasan menganggap kebijakan tarif resiprokal (Reciprocal Tariff) Amerika Serikat (AS) berpotensi membuat nilai tukar rupiah terhadap dolar AS terdepresiasi.
Dengan adanya kebijakan ini, lanjut Fadhil, maka harga produk impor yang dijual di Amerika semakin mahal dan dapat memicu inflasi. Sebagai respon atas keadaan tersebut, Federal Reserve (The Fed) kemungkinan bakal menaikkan atau menahan diri tidak menurunkan suku bunga untuk mengendalikan inflasi.
Apabila ada tekanan terhadap inflasi AS yang dibarengi dengan kenaikan suku bunga The Fed, maka bisa menyebabkan capital outflow dari negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, karena obligasi AS menjadi lebih menarik bagi investor.
“Ini yang kemudian saya kira menyebabkan terjadinya depresiasi lebih lanjut daripada nilai tukar rupiah kita. Itu kan spillover-nya kemana-mana, kepada hutang, kepada fiskal kita, dan seluruhnya. Jadi, saya kira selain dampak perdagangan, tapi juga dampak terhadap depresiasi nilai tukar rupiah dan yang lainnya itu juga perlu kita antisipasi,” ungkap Fadhil dikutip Antara.
Terpopuler
1
Ketua PBNU Nilai Kebijakan Prabowo Relokasi 1.000 Warga Gaza sebagai Langkah Blunder
2
Khutbah Jumat: Rahasia Rezeki Lancar dan Berkah dari Amalan yang Sering Diabaikan
3
Di Masa Orde Baru, Pendiri IPPNU Ditahan di Polsek Gegara Ceramah, Ditolong oleh Ayah Gus Baha
4
Khutbah Jumat: Mendidik Anak ala Luqman Al-Hakim
5
Khutbah Jumat: Gaji Halal, Pahala Maksimal—Kerja Keras Bisa Jadi Tiket Surga!
6
BEM UNS Soroti Propaganda Dukungan UU TNI Libatkan Anak-Anak
Terkini
Lihat Semua