Ada nanar canggung pada raut wajah warga, meskipun tempat pemungutan suara telah disemprot dengan disinfektan oleh petugas dari Puskesmas, isu penularan Covid-19 telah dipahami oleh warga sebagai pandemic yang ganas.
Petugas kepolisian pun turun tangan dan tetap mengingatkan warga agar mereka tetap hati-hati dengan tetap membatasi jarak antara seseorang dengan orang lainnya sejauh 1 meter atau lebih.
Dalam perhelatan pesta demokrasi tingkat ke-RW-an itu memang muncul kehangatan dan silaturahmi. Tetapi social distancing atau pembatasan sosial tetap harus dipatuhi. Cara mereka menyapa teman, bersalaman, dan membangun hubungan sosial pun terlihat ada sedikit perubahan. Misalnya, bersalaman sekadarnya saja.
Kita tentu masih ingat dengan video para ASN Ciamis memperlihatkan cara bersalaman dengan menggoyangkan tangan ke atas dan ke bawah sehari setelah pemerintah mengumumkan pembatasan sosial? Tentu saja, norma susila atau kesopanan yang telah menjadi ciri khas orang Timur kita pandang berubah total saat melihat cara bersalaman tersebut. Kita menilainya dengan sebutan konyol atau aneh.
Semua orang tentu saja memiliki pengalaman masing-masing terhadap aturan pembatasan jarak tersebut. Demi menghindari penyebaran pandemi Covid-19, seolah-olah, setiap orang dituntut untuk mendefinikan ulang norma susila seperti cara bersalaman, berpelukan yang hangat saat bertemu teman dekat, berbicara secara tatap muka langsung, menolak saat diundang pernikahan, dan kebiasaan kita bercengkerama dengan tetangga.
Awalnya Tampak Canggung
Edukasi dan redefinisi norma susila selama pemberlakukan pembatasan sosial memang penting dilakukan agar tidak terjadi kesalahpahaman di dalam kehidupan masyarakat. Apalagi etiket sosial kita sebagai orang Timur memang lebih mengedepankan membangun hubungan sosial dengan penuh keakraban. Jangan sampai ada pernyataan: masa, hanya karena penyebaran Covid-19 sampai harus menanggalkan norma kesopanan.
Menghindari Kerumunan
Norma susila yang berlaku yaitu jika diundang oleh tetangga atau teman tentu saja kita harus menghargainya dengan ikut hadir dalam resepsi pernikahan. Dengan adanya kasus Covid-19, masyarakat harus berpikir kembali antara menghadiri atau tidak sama sekali. Dalam diri orang Timur telah tertanam satu hal meskipun kita telah mengabari tidak akan menghadiri undangan, dengan alasan apapun tetap akan muncul rasa tidak enak dalam hati.
Penyebaran Covid-19 ini memang tidak hanya menyerang fisik manusia, juga telah menyerang ke ranah penting manusia: psikis atau jiwa. Pemerintah dan para ahli kesehatan mewanti-wanti keharusan menjaga kesehatan mental selama penyebaran virus masih berlangsung karena kekebalan tubuh manusia juga salah satunya dipicu oleh kesehatan mental manusia.
Anjuran Mendirikan Shalat di Rumah
Majelis Ulama Indonesia tentu saja tidak serampangan mengeluarkan anjuran tersebut. Kaidah dalam ushul fiqh: Dar ul mafasid muqoddamun ‘ala jalbil masholih, menghindari kejelekan harus lebih didahulukan daripada mengambil kebaikan. Selain itu, di dalam kajian fiqh juga telah disiapkan oleh para ulama salaf bagaimana praktik ritual (sholat) dalam kondisi darurat.
Umat Islam tentu saja benar-benar dilema dengan anjuran ini jika mereka kurang memahami kaidah-kaidah ushul fiqh dan materi fiqh. Mereka, karena kecintaan terhadap syariat dalam agama, memandang anjuran tersebut sebagai larangan shalat Jumaat di mesjid. Apalagi jika di depan masjid dipampangkan pengumuman berisi mesjid tidak menyelenggarakan sholat Jum’at untuk menghindari penyebaran virus corona, rata-rata umat akan memandangnya sebagai larangan.
Tidak heran di beberapa daerah terjadi perdebatan antara DKM dengan jamaah yang tetap ingin melaksanakan sholat Jumat. Kemudian diperkeruh oleh caci maki dan serapah sebagian umat di media sosial dengan ungkapan: masa kita harus takut sama virus, takut mah sama Allah saja. Tidak hanya itu, agar seolah-olah kita memang merupakan manusia yang paling takut kepada Allah dan beriman dilengkapi dengan kalimat: lebih baik mati saat sholat sebagai seorang syuhada daripada mati karena takut oleh virus.
Bukan hanya norma susila yang telah terkena imbas oleh penyebaran Covid-19, norma agama juga tidak luput darinya. Dengan pikiran jernih dapat dikatakan, kehadiran pandemi Covid-19 justru telah mengajari manusia betapa rapuh dan lemah pranata-pranata sosial dan keagamaan yang telah dibangun oleh manusia. Sebaliknya, kekokohan keyakinan dan spiritualitas manusia justru akan meningkat ketika ditempuh oleh manusia dalam keheningan dan kesendirian sambil bertawakkal kepada-Nya.
Hukum Allah Berjalan secara Alamiah
Pemberlakukan lock-down dan work from home sangat berdampak pada hal-hal alamiah. Penghentian mesin pabrik, kendaraan bermotor, pemadaman komputer di kantor, dan pembatasan aktivitas sehari-hari berarti semakin mengecil juga peran manusia terhadap pengrusakan alam. Dengan cara alamiah itulah, bumi sebagai pusat kehidupan di Galaksi Bima Sakti ini menjawab segala kerusakan alam yang selama ini jarang kita sadari.
Melalui pandemi Corona kita dapat menyaksikan bagaimana raut wajah seorang Donald Trump diliputi oleh rasa was-was meskipun disembunyikan melalui naskah-naskah pidatonya tentang kebangkitan ekonomi negara adi daya tersebut. Tentu saja hal ini merupakan pelajaran berharga bagi umat manusia untuk mengakui bahwa kehidupan manusia dan rasa kemanusiaanlah yang harus diutamakan daripada mati-matian mempertahankan materi tapi justru akan menjadi pemantik kepunahan spesies manusia itu sendiri.
Penulis adalah pengamat sosial, tinggal di Sukabumi