Opini

Corona dan Kerapuhan Norma

Senin, 30 Maret 2020 | 14:45 WIB

Corona dan Kerapuhan Norma

Ilustrasi: edexlive.com

Oleh Suwarsa
 
Seminggu lalu, di kelurahan Cikundul diselenggarakan pemilihan ketua RW 05 secara langsung dan demokratis. Warga berduyun-duyun mengikutinya  dengan tetap mengindahkan edaran pemerintah tentang keharusan adanya pembatasan sosial untuk mengantisipasi penyebaran Covid-19.

Ada nanar canggung pada raut wajah warga, meskipun tempat pemungutan suara telah disemprot dengan disinfektan oleh petugas dari Puskesmas, isu penularan Covid-19 telah dipahami oleh warga sebagai pandemic  yang ganas.

Petugas kepolisian pun turun tangan dan tetap  mengingatkan warga agar mereka tetap  hati-hati dengan tetap membatasi jarak antara seseorang dengan orang lainnya sejauh 1 meter atau lebih.

Dalam perhelatan pesta demokrasi tingkat ke-RW-an itu memang muncul kehangatan dan silaturahmi. Tetapi social distancing atau pembatasan sosial tetap harus dipatuhi. Cara mereka menyapa teman, bersalaman, dan membangun hubungan sosial pun terlihat ada sedikit perubahan. Misalnya, bersalaman sekadarnya saja.

Kita tentu masih ingat dengan video para ASN Ciamis memperlihatkan cara bersalaman dengan menggoyangkan tangan ke atas dan ke bawah sehari setelah pemerintah mengumumkan pembatasan sosial? Tentu saja, norma susila atau kesopanan yang telah menjadi ciri khas orang Timur kita pandang berubah total saat melihat cara bersalaman tersebut. Kita menilainya dengan sebutan konyol atau aneh.

Semua orang tentu saja memiliki pengalaman masing-masing terhadap aturan pembatasan jarak tersebut. Demi menghindari penyebaran pandemi Covid-19, seolah-olah, setiap orang dituntut untuk mendefinikan ulang norma susila seperti cara bersalaman, berpelukan yang hangat saat bertemu teman dekat, berbicara secara tatap muka langsung, menolak saat diundang pernikahan, dan kebiasaan kita bercengkerama dengan tetangga.

Awalnya Tampak Canggung
Sudah dipastikan, kebiasaan lama orang Timur yang sangat erat dengan norma susila atau kesopanan akan dihadapkan pada perasaan canggung saat bertemu teman tanpa bersalaman, atau jika bersalaman pun tanpa bersentuhan tangan. Jika salah satu pihak tidak memahami hal ini tentu akan menimbulkan pikiran kurang baik. Seseorang akan memandangnya tidak sopan, bertemu teman kok cara bersalamannya seperti itu.

Edukasi dan redefinisi norma susila selama pemberlakukan pembatasan sosial memang penting dilakukan agar tidak terjadi kesalahpahaman di dalam kehidupan masyarakat. Apalagi etiket sosial kita sebagai orang Timur memang lebih mengedepankan membangun hubungan sosial dengan penuh keakraban. Jangan sampai ada pernyataan: masa, hanya karena penyebaran Covid-19 sampai harus menanggalkan norma kesopanan.

Menghindari Kerumunan
Selain pembatasan sosial, salah satu cara mengantisipasi penularan Covid-19 adalah dengan menghindari kerumuman atau kumpulan orang dalam jumlah besar. Masyarakat yang akan menyelenggarakan resepsi pernihakan harus berpikir ulang, apakah layak di saat orang lain sedang berusaha sungguh-sungguh menghindari kerumuman dan keramaian lantas harus menyelenggarakan resepsi pernikahan? Sedangkan undangan kepada tetangga, sahabat, dan kolega telah disebar.

Norma susila yang berlaku yaitu jika diundang oleh tetangga atau teman tentu saja kita harus menghargainya dengan ikut hadir dalam resepsi pernikahan. Dengan adanya kasus Covid-19, masyarakat harus berpikir kembali antara menghadiri atau tidak sama sekali. Dalam diri orang Timur telah tertanam satu hal meskipun kita telah mengabari tidak akan menghadiri undangan, dengan alasan apapun  tetap akan muncul rasa tidak enak  dalam hati.

Penyebaran Covid-19 ini memang tidak hanya menyerang fisik manusia, juga telah menyerang ke ranah penting manusia: psikis atau jiwa. Pemerintah dan para ahli kesehatan mewanti-wanti keharusan menjaga kesehatan mental selama penyebaran virus masih berlangsung karena kekebalan tubuh manusia juga salah satunya dipicu oleh kesehatan mental manusia. 

Anjuran Mendirikan Shalat di Rumah
Bukan hanya kementerian kesehatan, hampir seluruh unsur  dan lembaga di negara ini turun langsung agar penyebaran coronavirus disease 2019 tidak meluas. Majelis Ulama Indonesia mengeluarkan anjuran pelaksaan sholat di rumah dan mengganti Shalat Jumat dengan Dhuhur. Anjuran itu tidak hanya untuk daerah yang benar-benar terdampak, juga di daerah lainnya sebagai bentuk kehati-hatian umat Islam terhadap penularan virus Corona.

Majelis Ulama Indonesia tentu saja tidak serampangan mengeluarkan anjuran tersebut. Kaidah dalam ushul fiqh: Dar ul mafasid muqoddamun ‘ala jalbil masholih, menghindari kejelekan harus lebih didahulukan  daripada mengambil kebaikan. Selain itu, di dalam kajian fiqh juga telah disiapkan oleh para ulama salaf bagaimana praktik ritual (sholat) dalam kondisi darurat.

Umat Islam tentu saja benar-benar dilema dengan anjuran ini jika mereka kurang memahami kaidah-kaidah ushul fiqh dan materi  fiqh. Mereka, karena kecintaan terhadap syariat dalam agama, memandang anjuran tersebut sebagai larangan shalat Jumaat di mesjid. Apalagi jika di depan masjid dipampangkan pengumuman berisi  mesjid tidak menyelenggarakan sholat Jum’at untuk menghindari penyebaran virus corona, rata-rata umat akan memandangnya sebagai larangan.

Tidak heran di beberapa daerah terjadi perdebatan antara DKM  dengan jamaah yang tetap ingin melaksanakan sholat Jumat. Kemudian diperkeruh oleh caci maki dan serapah sebagian umat di media sosial dengan ungkapan: masa kita harus takut sama virus, takut mah sama Allah saja. Tidak hanya itu, agar seolah-olah kita memang merupakan manusia yang paling takut kepada Allah dan beriman dilengkapi dengan kalimat: lebih baik mati saat sholat sebagai seorang syuhada daripada mati karena takut oleh virus.

Bukan hanya norma susila yang telah terkena imbas oleh penyebaran Covid-19, norma agama juga tidak luput darinya. Dengan pikiran jernih dapat dikatakan, kehadiran pandemi Covid-19 justru telah mengajari manusia betapa rapuh dan lemah pranata-pranata sosial dan keagamaan yang telah dibangun oleh manusia. Sebaliknya, kekokohan keyakinan dan spiritualitas manusia justru akan meningkat ketika ditempuh oleh manusia dalam keheningan dan kesendirian sambil bertawakkal kepada-Nya.

Hukum Allah Berjalan secara Alamiah
Penularan virus Corona tidak tebang pilih dan memandang ras, agama, suku, atau golongan mana pun. Hal ini menunjukkan bahwa hukum Tuhan memang berjalan pada cara-acara dan piranti  alamiah. Dengan semakin meluas penyebaran Covid-19 memang seharusnya menyadarkan manusia agar mengerem keangkuhan kita di planet ini.

Pemberlakukan lock-down dan work from home sangat berdampak pada hal-hal alamiah. Penghentian mesin pabrik, kendaraan bermotor, pemadaman komputer di kantor, dan pembatasan aktivitas sehari-hari berarti semakin mengecil juga peran manusia terhadap pengrusakan alam. Dengan cara alamiah itulah, bumi sebagai pusat kehidupan di Galaksi Bima Sakti ini menjawab segala kerusakan alam yang selama ini jarang kita sadari. 

Melalui pandemi Corona kita dapat menyaksikan bagaimana raut wajah seorang Donald Trump diliputi oleh rasa was-was meskipun disembunyikan melalui naskah-naskah pidatonya tentang kebangkitan ekonomi negara adi daya tersebut. Tentu saja hal ini merupakan pelajaran berharga bagi umat manusia untuk mengakui  bahwa kehidupan manusia dan rasa kemanusiaanlah yang harus diutamakan daripada mati-matian mempertahankan materi tapi justru akan menjadi pemantik kepunahan spesies manusia itu sendiri.

Penulis adalah pengamat sosial, tinggal di Sukabumi