Semestinya, otoritas perbankan bisa mempersingkat produk layanan ini dari konsumen langsung dengan perbankan tanpa perlu keberadaan kartel digital yang mengaku sebagai penyedia produk inovasi digital tersebut.
Inovasi digital dewasa ini secara tidak langsung telah mengubah perilaku para agen ekonomi di kancah nasional dan dunia. Ini merupakan fakta riil yang tidak bisa kita hindari sebagai risiko kemajuan teknologi. Tuntutan hajat layanan ekonomi dan keuangan menjadi serba cepat dan murah. Tingkat keamanan data konsumen juga menjadi semakin menguat dari hari ke hari, meskipun kadang masih ditemui adanya celah kekurangan. Namun, celah itu juga dengan cepat bisa diatasi. Akibat perubahan perilaku ini, terjadi pula perubahan pada pola interaksi antar-para pelaku ekonomi, baik sebagai konsumen maupun produsen.
Inovasi digital telah membuka peluang keniscayaan bagi masyarakat yang belum tersentuh oleh perbankan menjadi harus menggunakan sistem perbankan karena keterpaksaan (dlarurah). Efek positifnya, lembaga keuangan menemukan sisi urgensitasnya. Urgensitas itu di antaranya adalah berkurangnya uang yang beredar di masyarakat sehingga secara tidak langsung keuangan menjadi tersentralisasi di bank-bank.
Tumbuhnya beberapa produk layanan (instrumen) keuangan berbasis teknologi finansial (fintech), menjadi second hand (tangan kedua) keuangan masyarakat non perbankan. Imbas akhirnya, adalah inovasi digital melahirkan berbagai persaingan usaha di bidang non perbankan, menambah keragaman produk dan layanan, serta pada gilirannya berpengaruh besar terhadap perekonomian negara dan masyarakat. Sistem keuangan dan pembayaran masyarakat menjadi terdesentralisasi.
Layanan Inovasi Digital dan Kartel Digital
Terdesentralisasinya sistem pembayaran masyarakat memang diakui sebagai bagian dari kemudahan. Akan tetapi, kemudahan ini bukan tanpa tebusan yang harus diberikan oleh masyarakat, khususnya para nasabah dan konsumen. Tebusan ini bukan hal yang kecil dan bahkan sangat besar, meskipun efek yang dirasakan memang tidak begitu kentara dan tertutupi oleh promo-promo kemudahan.
Pertama, untuk bisa mengikuti dampak inovasi digital, uang masyarakat menjadi terpecah di beberapa kantung-kantung keuangan. Kantung yang paling pokok dalam ruang ini adalah perbankan dan industri jasa layanan, seperti provider internet dan produk layanan pembayaran OVO, Dana, Link, dan sejenisnya.
Provider internet merupakan basis utama untuk akses produk digital. Tanpa internet masyarakat tidak bisa mengaksesnya. Alhasil, dana masyarakat menjadi terkonsentrasi di produk layanan tersebut, dan menjadi pengeluaran rutin setiap bulannya. Dengan demikian, gaji mereka menghendaki disisihkan ke wilayah tersebut. Paling tidak, adalah 10% dari pendapatan yang dimilikinya seiring produk smartphone dengan teknologi 4G dan 5Gnya membutuhkan konsumsi data internet yang tidak murah.
Selanjutnya, beberapa pusat perbelanjaan dan jasa transportasi yang bekerjasama dengan jasa pembayaran OVO, Dana dan Link juga mulai memberlakukan pola dan sistem pembayaran belanja dan biaya parkir dengan menggunakan jasa tersebut. Kondisi ini secara tidak langsung juga berimbas terhadap kebutuhan pengeluaran income masyarakat yang harus turut dianggarkan setiap bulannya. Paling tidak juga 10% dari pendapatan tiap bulan apabila setiap hari masyarakat karyawan harus melakukan parkir kendaraan di tempat parkir berbayar, yang minimal biaya parkir tersebut adalah Rp. 3.500,- per harinya. Anda bisa hitung sendiri, berapa pengeluaran bulanannya dari situ?
Kedua, mengakses produk hasil inovasi digital juga bukan berarti bebas biaya. Biaya admin, biaya transfer antarbank, adalah bagian dari pengeluaran-pengeluaran (spread) yang terkadang kurang diperhatikan namun itu riil dan mengurangi saldo tabungan masyarakat yang memakainya. Padahal, di satu sisi, pihak jasa perbankan sudah meraih cuan dengan keberadaan terkonsentrasinya uang nasabah penggunanya dalam kantung-kantung keuangan mereka. Mereka terkadang menggunakannya tanpa seizin dari pihak nasabah (ghashab) di jalur-jalur produktif yang memberikan cuan buat penyelenggara, namun tidak dengan konsumennya. Tentu ini adalah bagian dari hal yang merugikan konsumen.
Misalnya, saldo deposit nasabah kartu e-Tol. Padahal, belum tentu pihak nasabah yang menggunakan kartu e-Tol setiap hari memakai kartu yang dimilikinya untuk mengakses jalan tol. Jadi, saldo itu menumpuk dan terkonsentrasi di industri jasa penyedia kartu e-Tol atas nama jaminan layanan, tanpa adanya imbal bagi hasil dan mereka bebas menggunakannya untuk melakukan penanaman modal. Bukankah ini ibarat siasat saja bagi para kapitalis tersebut untuk memanfaatkan uang masyarakat, secara gratis dan cuma-cuma? Lalu, di mana keberadaan Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) yang mengaku membela konsumen namun ternyata luput dalam melakukan pembelaan terhadap saldo deposit para nasabah uang elektronik tersebut?
Ketiga, ketergantungan sistemik pada satu atau sedikit pihak penyelenggara layanan digital memang semakin berkurang. Namun, ini secara tidak langsung juga mengajarkan kepada masyarakat agar mendeferensiasikan pendapatan rutin mereka ke beberapa jasa layanan sekaligus. Ibarat kartu smartphone, tidak cukup dengan hanya satu kartu SIM, melainkan harus 2 kartu dengan berbeda provider. Tidak cukup dengan OVO, melainkan harus pula menyediakan uang elektronik Link atau Dana. Padahal, tiap-tiap kartu juga membutuhkan pengeluaran, bukan? Belum lagi, setiap kartu hanya bisa dipergunakan di tempat-tempat tertentu saja sehingga tidak berlangsung universal.
Menanti Kebijakan Baru di Sektor Keuangan
Perilaku sebagaimana telah dijelaskan di atas, pada dasarnya adalah ibarat membuka keran kemunculan kartel-kartel baru atas nama inovasi digital. Di satu sisi, mereka berusaha mencari keuntungan dari dana masyarakat yang terkumpul. Di sisi lain, masyarakat terkena imbas pembengkakan anggaran konsumsi mereka. Bukankah ini sebuah realitas yang kontraproduktif dari blueprint keuangan di era inovasi digital?
Sayangnya, respons terhadap fakta ini sepertinya berlangsung lamban di tangan para pemegang kebijakan. Jika hal ini berlangsung terus, niscaya pembengkakan kebutuhan konsumsi masyarakat ini akan rawan mengundang terjadinya krisis ekonomi di lingkup mikro. Masyarakat akan menjadi tergantung pada satu industri penyelenggara layanan digital yang sejatinya hanyalah second hand dari sistem keuangan. Sebab, the first hand sebenarnya adalah perbankan.
Semestinya, otoritas perbankan bisa mempersingkat produk layanan ini dari konsumen langsung dengan perbankan tanpa perlu keberadaan kartel digital yang mengaku sebagai penyedia produk inovasi digital tersebut. Sebab, singkatnya sistem pembayaran adalah urat nadi perekonomian. Wallahu a’lam bish-shawab.
Muhammad Syamsudin, Peneliti Bidang Ekonomi Syariah - Aswaja NU Center PWNU Jatim