Barbarisme dan anarkisme kembali terjadi di jagad Indonesia. Kali ini Front Pembela Islam (FPI) aktivis Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (AKKBB) yang sedang melakukan aksi damai menyambut hari kelahiran Pancasila di Monumen Nasional (Monas) 1 Juni 2008. Tragedi itu merupakan serangkaian aksi yang bertali-temali dengan kejadian 1Juni 2001. Mereka menginginkan agar syariat Islam menjadi ideologi bangsa indonesia. Di sini, Pancasila kembali terusik dan tergoyahkan posisinya dengan berbagai tindakan dan aksi yang dilakukan FPI. Organisasi pimpinan Rizieq Shihab itu telah mencoreng watak Islam yang humanis, pluralis dan ramah. Mereka telah menampakkan wajah bangsa barbar yang suka melakukan kekerasan tindakan yang dapat mengganggu masyarakat, kesejahteraan umum dan dapat mengakibtkan disintegrasi negara. Sekaligus menampar wajah Pancasila sebagai ideologi negara.
FPI telah mencoreng nilai-nilai dalam Pancasila yang merupakan hasil perasan nilai-nilai adiluhung dan kearifan masyarakat Indonesia. Ia mendapatkan rongrongan dari sekelompok yang mengatasnamakan Islam, padahal subtansinya tidak. Mereka adalah preman yang memakai topeng Islam dan mengenakan baju syariah Islam, sehingga kebrutalan dan anarkisme yang mereka lakukan seakan mendapatkan legitimasi dari agama yang bernama Islam. Aksi premanisme agama yang mereka lakukan merupakan pengejawantahan dari rasa ketidakpuasan terhadap kebijakan pemerintah atas Surat Keputusan Bersama (SKB) tiga menteri terkait Ahmadiyah di Indonesia dengan menyerang kelompok AKKBB.<>
Sejarah FPI
Jika melihat sejarah terbentuknya, FPI dideklarasikan pada tanggal 17 Agustus 1998 oleh Mohammad Rizieq Shihab. Ia merupakan kelompok yang didirikan para habib yang berusaha menegakkan amar ma’ruf nahi munkar agar tercipta masyarakat madani. Tetapi, gerakan ini kemudian seakan telah berubah haluan setelah berada di bawah kekuasaan para jenderal, amar ma’ruf nahi munkar yang pernah mereka usung berubah menjadi gerakan front preman (yang berlabel) Islam yang menyebabkan keburukan bagi masyarakat, bangsa dan negara. Pada masa Orde Baru, FPI disnyalir memiliki hubungan intim dengan Jenderal Prabowo, selanjutnya, setelah Probowo jatuh, ia memiliki hubungan dekat dengan Wiranto, lawan politik Prabowo.
Di samping berada dalam kekuasaan jenderal, aktor yang beraksi di belakang layar besar FPI merupakan Forum Betawi Rempug (FBR) yang siap melakukan apa saja asalkan mendapatkan uang. Mereka adalah orang-orang yang siap bertindak sewenang-wenang, siap melakukan kekerasan dan anarkisme apalagi dibentengi dengan bendera Islam. Sehingga tidak salah kiranya apa yang dikatakan Amrin Amal Tomagoula bahwa mereka adalah “anak-anak macan” yang berada di bawah asuhan militer. Mereka adalah preman yang “haus” akan pekerjaan anarkis-barbarianisme. Padahal, dalam ajaran syariat agama, tidak ada anjuran untuk melakukan kekerasan dan tindakan anarkisme.
Tindakan yang mereka lakukan adalah kausalitas dari posisi negara yang tidak memiliki peran strategis dalam menjamin kesejahteraan ekonomi dan tidak adanya profesionalitas yang ada di dalam tubuh TNI/Polri. FPI adalah salah satu dari mayarakat—yang meminjam istilah—John Rawls, disebut sebagai civil disobedience (ketidakpuasan sipil/ masyarakat) atas negaranya. Di samping itu, gerakan ini juga menginginkan agar Pancasila diubah menjadi ideologi Islam dan berusaha agar tujuh kata yang pernah ditiadakan dalam Piagam Jakarta, kembali dihadirkan dan diaplikasikan di Indonesia, yaitu “Ketuahanan dengan Menjalankan Syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya”. Melihat bahwa konsep demokrasi yang dijalankan di Indonesia sudah gagal, sehingga perlu diganti dengan Islam.
Mempertanyakan Kesetiaan pada Pancasila
Lima butir Pancasila telah berada di luar kepancasilaanya, sila pertama yang berbunyi “Ketuhanan Yang Maha Esa” telah mengalami anomali. Bangsa Indonesia memang benar ber-Tuhan, tetapi menganut banyak tuhan bukan esa, ada tuhan uang, tuhan kekuasaan dan ada tuhan wanita. Dalam konteks inilah lagu yang pernah dinyanyikan Harry Roesli yang berbunyi “Keuangan Yang Maha Esa”. Sila kedua yang berbunyi “Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab” telah berubah menjadi Kemanusiaan yang berkhianat dan Biadab. Hal ini, melihat bahwa nilai-nilai humanisme telah tercerabut dari akarnya, sebagai satu contoh konkretnya, bencana Lapindo Brantas di Sidoarjo, Jawa Timur, yang sampai saat ini belum mendapatkan atau tidak pernah ada sentuhan dari pemerintah.
Sila ketiga “Persatuan Indonesia” telah terkikis dari kanal filosofisnya menjadi “pertengkaran dan disintegrasi Indonesia”. Hal ini bertitik-tolak pada berbagai tindakan beberapa golongan yang menginginkan pemisahan (separatisme) dari Indonesia, dan berbagai tindakan yang dapat mengakibatkan disintegrasi bangsa seperti yang dilakukan FPI. Sila “Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat dalam Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan” beralih fungsi kebijakan yang banyak dipimpin oleh kelompok dan golongan tertentu yang hanya mementingkan dirinya, golongan dan kroni-kroninya. Sedangakan sila “Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia” banyak dimanfaatkan pemerintah untuk melagitimasi berbagai kebijakan dengan mengatasnamakan keadilan bagi rakyatnya. Padahal, hakikatnya kecurangan dan kebohongan.
Pancasila telah menjamin kebebasan beragama, mengeluarkan pendapat dan kebebasan mengeluarkan aspirasi kepada rakyatnya. FPI telah diberikan kebebasan untuk melakukan aktivitasnya selama masih sejalan dengan prosedur hukum, baik hukum negara maupun agama (Islam). Tapi, kebebasan itu telah menjustifikasi laskar FPI untuk melakukan barbarisme-anarkis, sehingga masyarakat umum menjadi korban keganasan mereka, kesengsaraan dan distraksi sosial menjadi pilihan utama. Dalam hal ini, walaupun yang mereka usung adalah Islam, namun Allah tidak akan pernah ternodai kesuciannya, tidak pernah kurang kekuasaannya juga tidak pernah bertambah kekuasaannya akibat ulah pekerjaan yang mereka lakukan.
Maka, demi kesejahteraan bersama dan demi menjaga nilai dan citra Pancasila, segala tindakan yang berlawanan dengan konsep agama dan Pancasila harus ditindak, tanpa melihat siapa dan apa kedudukannya, ketika FPI bertentangan dengan konsep Pancasila dan agama, berarti harus dibubarkan tanpa melihat siapa yang berada di balik mereka dan bagaimana gerakannya.
Penulis adalah Kordinator Kajian Sosial-Keagamaan pada Hasyim Asy’ary Institute, Yogyakarta