Dahulu kala, ada seekor monster menakutkan yang sering menghancurkan desa, memakan ternak milik warga, bahkan memakan anak-anak. Rupa monster itu menakutkan. Giginya tajam, lehernya panjang, dan memiliki tanduk yang besar. Ia bernama Nian.
Sepanjang tahun, Monster Nian tak ke mana-mana. Kebiasaannya mirip “kaum rebahan”, hanya tidur tak berkegiatan di dasar laut. Namun jika tahun baru tiba, ia bangkit dan menyatroni desa, mirip ekskavator milik proyek pemerintah: menggusur dan merusak lahan desa.
Hewan ternak dimakan, bahkan warga desa pun tak lepas menjadi target santapannya. Kebiasaan itu terus dilakukan tiap kali tahun baru tiba. Hal ini membuat warga desa waswas dan ketakutan.
Akhirnya, setiap tahun baru, berbondong-bondong warga desa mengungsi ke daerah-daerah terpencil dekat pegunungan guna menghindari ancaman Nian. Hingga akhirnya datanglah seorang pria tua berambut perak, bermata tajam, dan mengenakan tongkat jika berjalan.
Pria tua itu tak bergeming kala eksodus terjadi. Penduduk desa sempat memperingatkan bahaya Nian, tetapi ia diam saja. Akhirnya, tak ada yang peduli dengannya dan semua meninggalkan pria tua itu sendirian.
Ajaibnya, saat warga desa kembali ke kampung halaman, perkampungan dan rumah-rumah tak ada yang rusak. Ternyata, si pria tua tadi telah berhasil mengusir Nian. Saat ditanya apa rahasia keberhasilannya, si pria tua menjawab: “Pasanglah kertas merah di setiap pintu, kenakan pakaian merah, nyalakan lilin di setiap rumah, dan nyalakanlah petasan.”
Akhirnya, setiap kali tahun baru tiba, warga desa mengikuti saran sang pria tua. Mereka mengenakan atribut serba merah, menyalakan petasan, dan menyalakan lilin di tiap rumah.
Tradisi ini kemudian dikenal dengan nama Guo Nian (dalam bahasa Mandarin), atau dalam bahasa Indonesia berarti “mengatasi Nian”. Dalam bahasa Mandarin, Guo Nian dapat juga diartikan sebagai “perayaan tahun baru”.
Legenda ini kemudian populer di Tiongkok dan di kalangan etnis Tionghoa di seluruh dunia, termasuk Indonesia, dan dikenal sebagai mitos awal mula terjadinya perayaan Tahun Baru Imlek.
Monster Nian di Indonesia
Di Tanah Air, Monster Nian kembali menyatroni warga. Namun, ia datang bukan dengan wujud monster seperti dijelaskan di atas, melainkan dengan wujud sebuah sikap bernama 'diskriminasi rasial’.
Ya, selama bertahun-tahun, orang Tionghoa Indonesia mesti sembunyi-sembunyi dalam menjalankan aktivitas ke-Tionghoa-annya. Persis seperti warga desa yang mengungsi ke pegunungan terpencil guna menghindari Nian.
Pada era kolonial, orang Tionghoa diadu-dombakan dengan warga “pribumi” melalui politik devide et impera. Fitnah bahwa orang Tiongha telah menyebabkan kesenjangan sosial sengaja digoreng. Sehingga muncullah sentimen rasial di kalangan masyarakat Nusantara.
Pascamerdeka, Monster Nian berwujud “diskriminasi rasial” belum juga pergi. Pada awal 1950, rezim Orde Lama memberlakukan sistem ekonomi yang begitu diskriminatif bernama Sistem Benteng. Kebijakan ini melarang orang Tionghoa untuk melakukan perdagangan ekspor-impor.
Keadaan semakin diperparah dengan berlakunya PP. No. 10 tahun 1959 yang melarang keturunan Tionghoa berjualan eceran di pedesaan. Belum lagi saat terjadinya perang dingin antara Blok Barat dengan Blok Komunis (Timur). Keadaan ini membuat keturunan Tionghoa dicurigai sebagai agen komunisme Tiongkok.
Rezim Orde Baru lebih parah lagi. Rezim otoritarian tak berperasaan ini memberlakukan politik pribumi-nonpribumi dalam setiap bidang. Salah satunya pemberlakuan Inpres No. 14 tahun 1967 yang melarang seluruh ekspresi ke-Tionghoa-an di muka umum. Maka, seringkali terjadi pengusiran dan pengucilan terhadap orang Tionghoa Indonesia karena dicap sebagai “non-pribumi”.
Bahkan, pada masa ini orang Tionghoa dipaksa melepaskan identitas asli mereka, seperti nama lahir, dengan nama-nama yang “lebih” Indonesia. Jika sang Tionghoa tinggal di Bandung, misalnya, maka ia mesti mengganti namanya dengan nama Sunda.
Monster Nian berwujud diskriminasi rasial itu terus menerus merenggut kebebasan warga dan memakan hak-hak kemanusiaan orang-orang Tionghoa. Hingga pada tahun 2000, sang pria tua yang dahulu kala menyelamatkan warga desa dari ancaman Nian telah kembali.
Sang pria tua itu bersulih rupa menjadi sosok seorang Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Ciri-cirinya kurang lebih sama, yakni berambut perak, berpandangan tajam, dan mengenakan tongkat saat berjalan.
Jika sang pria tua menggunakan petasan dan pernak-pernik merah untuk mengusir Nian, maka Gus Dur menerbitkan Inpres No. 6 tahun 2000 yang menetapkan Hari Raya Imlek sebagai hari libur nasional fakultatif, yakni libur bagi kalangan yang merayakan.
Beriringan dengan ditetapkannya Inpres anti-diskriminasi itu, Monster Nian lari terbirit-birit bukan main. Petasan pun kembali dinyalakan. Bunyi ledakannya meramaikan seluruh penjuru negeri. Warna merah kembali berkibar, pernak-pernik perayaan Imlek kembali menghiasi tiap-tiap sudut kota.
Kebijakan itu menganulir segala aturan yang berwarna diskriminasi rasial sekaligus memprovokasi kepala negara setelahnya untuk melanjutkan perjuangannya “mengusir” Monster Nian.
Buktinya, Megawati melanjutkan perjuangan sang pria tua dua tahun kemudian dengan menetapkan Hari Raya Imlek sebagai hari libur nasional. SBY juga melanjutkan perjuangan itu dengan mengganti penggunaan kata “Cina” yang kental dengan kesan subordinasi dengan kata “Tiongkok” yang lebih menunjukkan jati diri.
Karena kehebatan Gus Dur dalam mengusir Nian, pada 10 Maret 2004, Kelenteng Tay Kek Sie menahbiskan Gus Dur sebagai Bapak Tionghoa Indonesia (Min Ibad dan Ahmad Fikri AF dalam Bapak Tionghoa Indonesia, 2012: 122-123).
Sejak saat itulah, Monster Nian tak lagi kembali dalam bentuk apapun hingga kini, dan perayaan Tahun Baru Imlek tetap dapat dirayakan dengan tenang dan damai.
Kendati demikian, tak menutup kemungkinan jika suatu hari nanti Nian akan berubah bentuk dan kembali datang dengan wujud yang baru.
Maka itu, yang mesti kita lakukan sekarang adalah tetap waspada dengan tetap mempertahankan persatuan dan pluralitas keindonesiaaan; menghilangkan sekat-sekat rasial di antara masyarakat; saling melindungi tanpa batasan identitas; juga menganggap seluruh etnis, ras, gender, agama, dan kelompok sosial lainnya sebagai sebuah identitas yang setara.
Saya yakin, dengan begitu, Nian tak akan sekali-kali lagi berani menampakkan batang taringnya.
Gōngxǐ fācái
Penulis adalah admin @pikiranlelaki_ dan dapat ditemui di @fahrihill.