Karena keluasan cakupannya, agama sering dibawa dalam pertarungan antarideologi, seperti kapitalisme, sosialisme, dan komunisme.
Para nabi dan filsuf mengajarkan sesuatu yang bermanfaat bagi kehidupan manusia. Para nabi mendapatkan ilmu dari wahyu yang diberikan oleh Allah melalui malaikat Jibril. Sedangkan filsuf mendapatkan ilmu dari perenungan akal, ketajaman rohani, dan dari inspirasi atau ilham. Jika diamati, ketiga instrumen ini juga dimiliki oleh nabi. Namun, untuk nabi, instrumen wahyu yang lebih dominan yang kemudian terkumpul menjadi kitab suci. Sementara filsuf, petunjuk semacam wahyu juga ada tapi pada tingkatan yang di bawahnya, ilham, seperti yang diberikan kepada para wali (kekasih Allah); atau inspirasi, seperti yang banyak digunakan untuk para jenius penemu karya besar atau seniman.
Bagi para pemikir modern, nabi dan filsuf tidak jauh berbeda dari sisi peretas peradaban manusia. Yang membedakan adalah, menurut Hasan Hanafi, nabi mampu menjelaskan aspek metafisika (ghaib) dan eskatologis terkait kehidupan pascakematian atau hari akhir. Saat manusia akan dihisab amal perbuatannya dan ditentukan apakah termasuk kelompok yang beruntung dan masuk surga atau merugi dan masuk neraka. Gambaran tentang hal tersebut mampu dijelaskan oleh nabi dengan detail dan pasti. Sementara filsuf, tidak. Filsuf tidak berani berspekulasi terlalu jauh dalam ranah di luar jangkauan kemampuan indrawi.
Dengan demikian, cakupan garapan nabi lebih luas dibandingkan filsuf. Nabi mencakup urusan dunia dan akhirat sementara filsuf sebatas urusan dunia dan apa yang mampu dijangkau di balik itu oleh akal. Ranah duniawi ini melahirkan ide-ide terkait manusia dan alam semesta. Terkait sifat dan perilaku, mereka melahirkan filsafat moral yang di kemudian hari melahirkan cabang-cabang ilmu sosial.
Filsuf Yunani seperti Plato (w. 347SM), Socrates (w. 399SM), Aristoteles (w. 322SM), filsuf Muslim: Averroes (w 1198), Alfarabi (w. 951) menurunkan filsafat moral pada filsuf modern dan kampiun ilmu sosial seperti Imanuel Kant (w. 1804), Thomas Hobbes (w. 1679), David Hume (w. 1776), Friedrich Nietzsche (w. 1900), Karl Marx (w. 1883). Sementara Thales (w. 545SM), Anaximenes (w. 526SM), Alchemists, Ptolemius (w. 170), Ibn al-Haytham (w. 1040), Avicenna (w. 1037) menurunkan filsafat alam yang menjadi induk dari ilmu alam dengan pionir Galileo Galilei (w. 1642), Francis Bacon (w. 1626), dan Isac Newton (w. 1726). Karena masih di fase awal pembentukan ilmu, filsuf masa lalu belum terspesialisasi secara ketat. Mereka yang berada di ranah moral banyak yang juga terlibat dalam ranah alam dan sebaliknya, seperti Plato, Aristoteles, Avicenna, dan Averoes.
Keberadaan nama-nama Arab atau Muslim dalam dunia filsafat menarik untuk diamati, bahwa ajaran agama yang berdasarkan wahyu mampu melahirkan filsuf yang berbasis rasio atau akal. Ini menunjukkan keluasan cakupan ajaran agama yang selain secara khusus membidangi urusan metafisika (ghaib) dan eskatologis (sam’iyyat), ia juga membahas urusan duniawi dan menjadi basis moral dalam interaksi sosial dan pengelolaan alam dan seisinya. Kandungan kitab suci Al-Qur’an dengan demikian mampu mendorong nalar untuk merenungkan gejala alam dan sosial dan menstimulasi lahirnya filsafat dari kalangan Muslim.
Lebih jauh lagi, para filsuf Islam, terutama Averoes, telah menjembatani lahirnya masa pencerahan Eropa pada abad ke-16. Masa di mana ilmu pengetahuan berkembang dengan pesat dan menggeser agama sebagai pemandu kehidupan manusia.
Fungsi agama sebagai landasan moral dan keluasan cakupannya, menjadikan agama terbuka terhadap pelbagai perbedaan pandangan modern. Ia bisa dibawa dalam pertarungan antarideologi, seperti kapitalisme, sosialisme, dan komunisme. Mereka masing-masing mengklaim sebagai pengejawantahan atau turunan dari ajaran agama. Tidak heran jika masing-masing ideologi memilik pendukung dari kalangan agamawan yang mampu menunjukkan korelasi antara materi yang ada dalam kitab suci dan ideologi yang dianut, termasuk komunisme.
Haji Misbach atau Mohammad Misbach adalah aktivis Sarekat Islam “Merah” yang selain mengidolakan Rasulullah Muhammad juga mengidolakan Karl Marx. Dia penganut setia komunisme yang oleh Soe Hok Gie dalam bukunya Orang-orang di Persimpangan Kiri Jalan disebut dengan Haji Revolusioner. Sebagai pemikir radikal dia memperjuangkan anti-kolonialisme dan menentang penjajah belanda hingga karena tulisan-tulisannya seperti di koran Medan Moeslimin (1915) dan Islam Bergerak (1917) yang karena oleh Belanda dianggap agitatif, dia dibuang ke Manokwari dan Boven Digoel. Ketika berada di penjara itulah identitas komunis terbentuk dalam dirinya. Saat bertemu dengan aktivis Indische Social Democratische Vereeniging (ISDV), embrio Partai Komunis Indonesia (PKI). Bagi Misbach, ajaran Karl Marx adalah pengejawantahan nilai-nilai Islam sehingga baginya Muslim yang benar adalah Muslim yang komunis. Misbach juga menyerang kelompok Islam modernis seperti Muhammadiyah yang disebutnya sebagai kapitalis Muslim. (alif.id)
Ideologi kiri juga diperjuangkan oleh Hasan Hanafi dalam bukunya al-Yasar al-Islami. Hasan Hanafi, pemikir Mesir, menginginkan agar Islam menjadi lokomotif perubahan seperti yang dicontohkan oleh Rasulullah Muhammad. Sifat kiri, revolusioner (thawry), yang melawan ketidakadilan harus dikedepankan oleh pejuang nilai-nilai Islam. Islam harus hadir secara kongkret dalam proses perubahan di segala bidang. Untuk itu perlu pembaruan melalui perpaduan antara akal, pustaka (turats), realitas, dan tepi lain (Eropa dan Barat). Ide Hanafi yang mendapat tempat di Tunisia tidak mendukung paham pemurnian Islam model Wahabi di Arab Saudi. Ia juga menolak sekularisme Barat atau komunisme meski pandangannya beridentitas kiri. Sebagai tawaran, dia mengajukan penguatan rasionalisme dan humanisme dalam diskursus keislaman. Sebuah pengarusutamaan yang tidak bertentangan dengan ajaran Islam, kata Hasan Hanafi. (noonpost.com)
Achmad Murtafi Haris, dosenUIN Sunan Ampel Surabaya