Ahmad Rozali
Proses penegakan HAM di Indonesia tak akan mudah, terlepas dari siapapun yang terpilih pada Pilpres 2019. Perkaranya sederhana; kedua kubu masih ‘menggunakan’ jasa kelompok yang memiliki kepentingan berbeda dengan tujuan penegakan kasus HAM. Kendati begitu, kans Jokowi lebih besar dibanding Prabowo untuk menyelesaikan masalah HAM berat di masa lalu.
Kira-kira itu kesimpulan dari diskusi dua jam dengan tema 'Merawat Keindonesiaan' di Jakarta, Rabu (16/1) siang ini yang menghadirkan sejumlah pembicara berkelas seperti Prof Arbi Sanit Guru Besar Fisip Universitas Indonesia, Peneliti Politik LIPI Prof Indria Samego, Pengamat Kebijakan Publik UI Dr Lisman Manurung dan Direktur Indonesian Public Institute Karyono Wibowo.
Kendati semua dari empat pembicara memiliki kesimpulan yang demikian sama, yakni besarnya tantangan penyelesaian kasus HAM masa lalu, masing-masing memiliki narasi penjelasan yang berbeda.
Prof Arbi Sanit mengajukan pandangan penyebab beratnya penyelesaian HAM, di mana salah satu yang terbesar adalah adanya konflik kepentingan yang begitu kuat antara kelompok-kelompok yang berada di dalam 'lingkaran' kasus penyelesaian HAM.
Kelompok pertama yang dimaksud adalah kelompok yang berasal dari bagian dari eks rezim Soeharto yang sejak reformasi bergulir hingga saat ini 'bercokol dan diandalkan' pemerintah. Di saat yang bersamaan sebagian partai politik juga 'bergantung' pada kelompok ini. Kelompok kedua adalah pemerintah sendiri yang masih begitu bergantung pada kelompok pertama. Akibatnya, kebijakan yang dilahirkan pemerintah dalam rangka penyelesaian masalah ini masih ‘setengah hati’.
Kesannya, kepentingan kedua kelompok ini bertentangan dengan kelompok ketiga, yakni pada korban pelanggaran HAM yang berasal dari berbagai kasus, seperti peristiwa Tanjung Priok, korban peristiwa 1965, peristiwa penculikan dan pembunuhan sepanjang Reformasi 1998 dan kasus lain. Kelompok ini biasanya berjalan bersama dengan para aktivis HAM.
Pertarungan kepentingan ini kata Arbi Sanit terjadi saat kelompok korban dan aktivis memperjuangkan penyelesaian kasus HAM yang bertentangan dengan kepentingan kelompok eks rezim Soeharto. Sementara di saat yang bersamaan, pemerintah begitu dekat dengan eks kelompok Soeharto.
Menurut Arbi Sanit, komposisi pemerintahan semacam yang melibatkan kelompok eks rezim Soeharto masih akan berlangsung lima tahun yang akan datang terlepas siapapun yang terpilih di antara kubu petahana dan penantangnya. “Tidak ada yang memungkiri bahwa mereka terlibat dalam kesalahan tapi mereka juga berkuasa, karena pemerintah bergantung pada mereka” katanya menggambarkan. Sehingga menurutnya upaya penyelesaian kasus ini sama sekali tidak akan mudah.
Hal serupa juga menjadi kesimpulan Prof Indria Samego MA. Walaupun tak mustahil terjadi dilakukan, tapi penyelesaian kasus ini tidak akan terjadi dengan cepat. Sebab kecenderungan dari rezim penguasa selama ini lebih menghindari efek buruk dari kegaduhan yang diakibatkan oleh upaya penyelesaian kasus HAM. Bagaimanapun, upaya ini akan menyeret nama-nama besar yang memiliki pengaruh yang tidak kecil yang sebagian sedang berada di dalam pemerintahan.
“Sorry to say, tapi Anda harus bersabar; tidak akan ada perubahan radikal dalam penyelesaian kasus HAM. Mengharapkan hukum menjadi panglima adalah hal yang mustahil terjadi dalam waktu singkat. Karena takut ribut, akhirnya solusinya yang bersifat jangka pendek yang tujuannya sekedar melupakan konflik sementara. Mereka diberi solusi kecil yang penting diam. Ya semacam neo-kompromi atau neo-harmoni yang penyelesaiannya bukan berdasarkan hukum,” kata Prof Indria.
Ini tak jauh berbeda dengan paparan Arbi Sanit mengenai ketergantungan pada sejumlah nama besar eks yang memiliki sangkutan dengan sejumlah kasus masa lalu yang masih berada dalam kabinet. “Seperti sebuah lagu long way to go, jalan menuju penegakan HAM masih panjang,” kata Indria berkelakar.
Dr Lisman Manurung hanya mengatakan, bahwa Pemerintah Indonesia belum sepenuhnya mengaplikasikan sistem Good Governance yang mengutamakan kepentingan masyarakat luas dalam konteks HAM melebihi kepentingan elit. Selama itu terjadi, maka penyelesaian kasus-kasus ini masih akan berjalan lambat. Secara umum, kondisi di Indonesia yang masih berjibaku dengan susahnya penyelesaian kasus HAM masa lalu menurutnya jauh tertinggal jika dibandingkan dengan negara lain yang telah disibukkan dengan isu lain yang lebih maju.
Karyono Wibowo saat ditanya pendapatnya secara spesifik tentang kemungkinan Prabowo menyelesaikan masalah HAM, Terorisme dan Radikalisme. “Kalau pertanyaannya, mampukah Prabowo menuntaskan kasus penculikan? Itu nggak mungkin dilakukan Prabowo, karena sama saja mengadili dirinya sendiri,” katanya.
Dalam hal lain mengenai penyelesaian kasus radikalisme, ia juga meragukan hal tersebut mengingat penolakan parpol pendukung prabowo seperti Gerindra dan PKS terhadap pembubaran Hizbut Tahrir Indonesia. “Itu mengesankan dia berada dalam kelompok tersebut, dan dalam posisi ini, sulit untuk mempercayai bahwa Prabowo akan memberantas kelompok ini. Lalu hal lain karena kemesraan Prabowo dan tokoh-tokoh radikal begitu terbuka, termasuk dalam aksi 212. Dibanding Jokowi, Prabowo lebih dekat dengan kelompok radikal,” ujar Karyono.
Walaupun para pembicara menyimpulkan besarnya tantangan atas upaya penyelesaian kasus pelanggaran HAM di tanah air, tapi para pembicara juga bersepakat bahwa dalam hal ini Jokowi lebih memiliki kemungkinan lebih besar dalam melakukan upaya ini pada periode keduanya, dengan catatan Jokowi mampu mengurangi ketergantungan pada kelompok-kelompok eks Soeharto. Jika Jokowi bisa menghidari ketergantungan pada eks rezim Soeharto dan lebih dekat para rakyat serta partai politik maka besar kemungkinan proses penegakan HAM akan berjalan. Tapi jika ia tetap mengandalkan eks Soeharto maka mimpi penyelesaian kasus HAM besar ini akan ‘jauh api dari panggang’.
Redaktur NU Online