Opini

Jangan Terkecoh Fenomena Lailatul Qadar!

Senin, 19 Juni 2017 | 09:02 WIB

Jangan Terkecoh Fenomena Lailatul Qadar!

ilustrasi: ist

Oleh Nine Adien Maulana
Ramadhan kini telah memasuki sepertiga yang terakhir. Ini adalah momentum peningkatan kualitas dan kuantitas ibadah kepada Allah SWT. Pada momentum ini Rasulullah mengencangkan ‘ikat pinggangnya’. Beliau menghidupkan penghujung malam-malam Ramadhan dan mengajak seluruh keluarganya aktif beribadah. Inilah momentum yang paling tepat untuk kembali kepada tugas pokok dan fungsi manusia diciptakan di muka bumi; dengan melepaskan diri dari daya pikat dan tarik dunia.

Sepuluh hari terakhir Ramadhan adalah media bagi kita untuk merenung dan menata ulang lintasan perjalanan hidup kita yang mungkin telah keluar dari orbit yang semestinya. Orbit kita melingkar sesuai dengan lintasan dari Allah untuk Allah dan akan kembali Allah. Semua berorientasi kepada Allah, sesuai dengan deklarasi innā lillāhi wa innā ilayhi rāji’ūn.  

Rasulullah SAW memerintahkan kita menghidupkan malam-malamnya dengan berbagai aktifitas ibadah (qiyāmul layl). Malam itu adalah malam kemuliaan. Nilainya melebihi seribu bulan. Malam itu adalah malam ketetapan; saat Allah menetapkan segala hal yang sangat fundamental bagi kehidupan umat manusia. Malam itulah yang dikenal dengan laylatul qadr?    

Hanya Allah yang mengetahui hakikat laylatul qadr, sedangkan pengetahuan manusia tentangnya sangat terbatas; semata-sama berdasar pemahaman terhadap berita yang disampaikan Allah dan RasulNya. Oleh karena itulah, kita bisa memahami mengapa ayat yang memberitakannya didahului oleh kalimat tanya, “wa maa adraaka maa lailatul qadr; Dan tahukah kamu apakah malam kemuliaan itu?”. Dan, Allah sendiri yang kemudian memberikan jawaban atas pertanyaan tersebut. “lailatul qadri khairum min alfi syahr; malam kemuliaan itu lebih baik dari seribu bulan”.

Tidak sepatutnya ayat tersebut dipahami secara kuantitatif, meskipun terdapat kata bilangan seribu (alf). Kata bilangan seribu lebih tepat dipahami sebagai sesuatu yang banyak dan tak terhingga dalam hitungan manusia, apalagi nyata-nyata disebutkan bahwa ia lebih baik dari seribu bulan. Jadi, kemuliaannya tidak sekadar dibatasi dalam hitungan seribu, namun melebihi hingga tidak terhingga. Oleh karena itu, jika laylatul qadr diidentikan dengan malam seribu bulan, maka hal tersebut sebenarnya mereduksi makna yang sesungguhnya. Bagaimana bisa diterima sesuatu yang lebih dari seribu, tapi dianggap seribu?

Atas dasar itulah, kita bisa memahami mengapa Rasulullah memerintahkan kita untuk berlomba-lomba meningkatkan kualitas dan kuantitas ibadah dan segala kebaikan. Siapa yang menjumpainya saat melakukan ibadah, niscaya akan mendapatkan balasan kebaikan yang tiada terhingga. “Dari Aisyah ra, bahwa Rasulullah saw bersabda: Carilah laylatul qadr pada tanggal-tanggal ganjil  dari sepuluh akhir bulan Ramadhan”. (ditahrijkan oleh Bukhari, I, kitab al-Tarawih, hal.225)

Sabda Rasulullah SAW tersebut juga perlu dipahami lagi secara lebih luas agar pelaksanaan ibadah kita tidak terjatuh dalam praktik transaksional dan pilih-pilih, padahal kasih sayang Allah tercurahkan kepada kita tanpa pandang bulu dan pilih kasih. Sabda tersebut seharusnya minimal dipahami sebagai penekanan pada sepuluh hari terakhir, tanpa pilih-pilih apakah pada tanggal ganjil atau genap.     

Tanggal ganjil atau genap sebenarnya adalah sesuatu yang terikat ruang dan waktu tertentu dan tidak bisa digeneralisasi. Bisa jadi di suatu tempat tertentu sedang berlaku tanggal ganjil dan pada saat yang sama di tempat lain sedang berlaku tanggal genap. Mengapa bisa terjadi? Ya karena adanya rotasi bumi yang menyebabkan separuh bagian bumi siang dan separuh bagian yang lain malam.

Tidak hanya itu, karena perbedaan mengawali puasa, tanggal ganjil atau genap pada sepertiga terakhir Ramadhan pasti tidak sama. Saudara-saudara kita yang mengawali berpuasa mendahului atau lebih akhir dari ketetapan resmi Pemerintah, pasti penanggalan ganjil genapnya tidak sama dengan kita yang mengawali berpuasa berdasar ketetapan pemerintah. Tanggal ganjil mereka pasti lebih dahulu daripada kita. Bagi mereka ganjil, tapi bagi kita genap.

Jika kita terlalu bernafsu meraih laylatul qadr dengan model transaksional dan pilih-pilih dalam beribadah, maka siap-siaplah kecele. Pada malam-malam ganjil, kita bersemangat, sedangkan pada malam-malam genap, kita terlena. Bisa jadi yang ganjil sebenarnya genap dan yang genap sebenarnya adalah ganjil.

Hal ini juga berlaku bagi kita yang memburu laylatul qadr dengan mempertimbangkan hari awal puasa. Bagaimana mungkin rumusan tersebut bisa menjadi pertimbangan universal, jika di satu tempat dan waktu, hari awal puasanya berbeda. Pada Ramadhan ini ada yang mengawali puasa hari Selasa. Ada pula yang mengawalinya hari Rabu. Padahal, kedua hari itu menjadi pertanda hadirnya laylatul qadr pada tanggal ganjil yang berbeda.

Oleh karena itu, jangan kultuskan tanggal ganjil dan sepelekan tanggal genap di sepertiga terakhir Ramadhan. Seharusnya sepanjang Ramadhan, kualitas dan kuantitas ibadah kita semakin meningkat daripada sebelumnya. Jika hal itu belum terlaksana, maka sepertiga terakhir Ramadhan harus menjadi momentum spesial bagi kita untuk bersimpuh dan bermunajat kepada-Nya dengan lebih intensif tanpa mempedulikan apakah tanggal ganjil ataukah genap.

Memburu laylatul qadr dengan memperhatikan tanda-tanda tertentu memang tidak salah. Ada banyak hadits yang dapat dijadikan referensi, meskipun tidak semua ulama ahli hadits menyepakati status kekuatan hadits tersebut. Ada banyak pula pendapat ulama yang menjelaskan tanda-tandanya yang dikaitkan dengan fenomena tertentu. Semua keterangan tersebut seharusnya dijadikan sebagai salah satu motivasi untuk mengintensifkan ibadah, bukan untuk memilih-milih kapan bisa dilakukan atau ditinggalkan.

Sikap pilih-pilih ibadah seperti itu berpotensi memastikan laylatul qadr dengan mengultuskan malam ganjil dan mengabaikan malam genap di sepertiga terakhir Ramadhan. Ibadah kita akhirnya berlangsung secara transaksional. Padahal, kita amat tidak sebanding melakukan transaksi dengan Allah. Apa yang Allah berikan kepada kita tiada terkira dibandingkan dengan apa yang kita lakukan dan persembahkan kepada-Nya. Tidakkah kita malu jika beribadah dengan model ini? 

Penulis adalah Ketua Tanfidziyyah Pengurus Ranting Nahadlatul Ulama Pacarpeluk, Jombang


Terkait