Oleh Ren Muhammad
Setelah tujuh puluh empat tahun merdeka, akhirnya kita bisa merebut kedaulatan udara dari Singapura. Kabar bahagia ini dilansir oleh “hulu balang” Indonesia, Luhut Panjaitan, Jumat, 11 Oktober 2019. Embusan angin dari barat itu, menyusul kiprah gemilang “Sang Keumalahayati” Susi Pudjiastuti, yang sebelumnya juga berhasil mengembalikan kedigdayaan maritim kita—setelah sekian puluh tahun tertidur di samudera. Sinyal apakah itu? Mari sebentar kita kembali ke abad ke-7 M, ketika negeri ini masih bernama Nusantara—di bawah kendali Kedatuan Shriv[w]ijaya.
Sang pendiri masyhur dengan nama abhiseka, Dapunta Hyang Shri Jayanasa. Nama aslinya Balaputradewa. Shriwijaya sebagai identitas kedatuan, terambil dari bahasa Sansekerta. Jika diterjemah dalam bahasa kiwari menjadi: bercahaya (shri), kemenangan (vijaya). Kedatuan di Swarnabhumi (Sumatera) ini sejatinya pelanjut wangsa besar Syailendra dari bumi Jawa: Mataram. Dibangun oleh Ratu Sanjaya. Kelak diteruskan Ampu Sindok dengan Medang Kamulan-nya.
Karena itulah mereka saling topang bahu membangun kekuatan maritim yang disegani para penguasa luar Nusantara. Medang di Jawa, jadi penyokong utama teknologi perkapalan dan navigasi Sriwijaya. Bukti awal tentang Sriwijaya berasal dari abad ke-7 ketika seorang pengelana Tiongkok, I Tsing, menulis bahwa ia mengunjungi kedatuan ini pada 671 M dan nyantri di sana selama setengah tahun.
Prasasti tertua terbitan Sriwijaya bertarikh abad ke-7 M, yaitu Kedukan Bukit di Palembang. Pada masa itu, Sriwijaya menjadi pusat pembelajaran ajaran Dharma dan ramai dikunjungi para peziarah spiritual dari seantero dunia. Secara politik transnasional, Sriwijaya disegani oleh kerajaan lain, karena menguasai Selat Malaka, Samudera Hindia, Laut Merah, Laut Mediterania, sebagai jalur utama perdagangan maritim. Pada masa ini, Tiongkok belum dikenal sebagai pemain utama.
Sriwijaya digdaya lantaran memiliki banyak komoditas seperti kapur barus, kayu gaharu, kapulaga, kunyit, gading, emas, timah, yang membawa kemakmuran bagi rakyatya. Dalam suasana sedemikian, lahirlah bahasa Melayu sebagai sarana komunikasi ke seluruh penjuru Nusantara. Selain mewariskan peradaban bahasa, Sriwijaya juga membangun candi megah megafraktal; Sangharama Vhwana Chaka Pala (Borobudur), dan Candi Muara Takus sebagai pusat studi Dharma. Informasi tentang Borobudur itu ditulis oleh peziarah Tiongkok lain, Sung Yun, yang tiba di Nusantara pada 518 M dan menetap selama tiga tahun.
Sekira tujuh abad kemudian, Keratuan Majapahit memulai kejayaannya di bawah pemerintahan Hayam Wuruk dan Mahapatih Gajah Mada, yang berpusat di Wilwatikata. Trowulan, Jawa Timur. Sejak dibentuk Dyah Wijaya pada 1293 M, kakawin Negarakretagama karangan Mpu Prapanca mencatat wilayah kekuasaan Majapahit telah meliputi Nusantara, Tiongkok-Jepang (Dwipantara), Desantara, (Asia Tenggara hingga India), Yawana (jazirah Arabia), Jenggi (Afrika), sampai Javaii (Hawai).
Ketinggian peradaban yang dibangun Majapahit, terekam dalam catatan Frater Odoric, orang Eropa pertama yang mengunjungi Jawa ketika bertamu ke istana Jayanegara (Kalagemet) pada 1322 M.
“Terdapat sebuah pulau besar, Jawa namanya. Ratu pulau ini memiliki sebuah istana yang mengagumkan. Karena sangat megah, undak-undaknya pun besar, luas, tinggi, dan anak-anak tangganya diselang-seling emas serta perak. Demikian pula trotoarnya yang memiliki satu ubin emas, satu perak. Dinding bagian dalamnya berlapis emas, di luarnya terukir para ksatria emas, dengan kepala dikelilingi lingkaran emas bertabur permata—seperti yang ada di kepala orang kudus. Selain itu, langit-langit istana terbuat dari emas murni. Singkatnya, tempat ini lebih kaya dan mewah daripada tempat mana pun di dunia saat ini.”
Selain rempah, Majapahit jadi pengendali utama perdagangan emas, perak, cula badak, gading, gaharu, kayu cendana, kamfer, pinang, belerang, kayu secang, katun, sutera, persenjataan militer, dan terutama teknologi perkapalan. Pada masa itu, tak ada satu pun yang menandingi jumlah armada laut Majapahit. Sekadar pembanding. Pada abad ke-16, Portugis hanya sanggup melayarkan kapal sepanjang 43 m, dan China dengan kapal Pilu-nya (100 m). Sementara panjang jung Jawa mencapai kurang lebih 400 m. Bahkan dibanding kapal induk Amerika saat ini, jelas masih unggul. Hanya untuk menundukkan Khmer (Kamboja), Majapahit mengerahkan 1000 kapal. 400 di antaranya berjenis jung. 1800 kapal lain, tetap berada di Jawa. Bila dibandingkan dengan tujuh ekspedisi armada Cheng Ho yang hanya membawa 200 kapal, atau penyerangan Portugis ke Malaka dengan 40 kapal, bayangkan betapa hebatnya kekuatan armada Majapahit kala itu.
Berdasar catatan sejarah yang kami nukil dari beragam sumber tersebut, bangsa kita telah mengalami kejayaan pada abad ke-7 dan 14 M. Apakah kita akan mengalami siklus kejayaan ketiga pada abad ke-21 ini? Jika merunut data-fakta, nampaknya siklus tujuh abad itu bisa mewujud nyata sepanjang rentang 2000-2099 M. Tanda-tanda kebangkitan Indonesia ini sejatinya sudah mulai terbit.
Mengutip lembaga riset bisnis dan ekonomi kelas wahid, The McKinsey Global Institute, yang menerbitkan laporan berjudul “The Archipelago Economy Unleashing Indonesia's Potential,” menunjukkan kecenderungan kejayaan Indonesia dalam bidang ekonomi. MGI memperkirakan pada 2030, negara maritim ini akan menempati peringkat ketujuh ekonomi terbesar sedunia, menguntit China, USA, India, Jepang, Brazil, Rusia. Bila menilik kinerja pemerintahan kita periode pertama yang telah berhasil mengambil alih Freeport, Petral, Blok (minyak bumi) Mahakam, Rokan, dan Natuna, bukan tak mungkin perkiraan McKinsey malah kita lampaui.
Badan PBB, The United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO), mengeluarkan pernyataan resmi bahwa Islam adalah agama paling damai di dunia, pada Senin (04/07/2016). Enam bulan sebelumnya, UNESCO telah bermitra dengan Peace Foundation International, guna mempelajari semua agama dunia dan mencari tahu mana di antaranya yang paling mengajarkan perdamaian.
“Setelah enam bulan mempelajari, kami menyimpulkan bahwa Islam adalah agama paling damai,” ungkap Robert McGee, kepala studi banding Peace Foundation International dalam konferensi pers yang dihadiri para pejabat UNESCO. Ketika ditanya sejumlah serangan teror yang dilakukan atas nama Islam, pejabat UNESCO pun membantah;
“Teror tak memiliki agama,” demikian mereka bersaksi.
Sebagai negara berpenduduk Muslim terbesar di dunia, dengan potensi sumber daya alam luarbiasa, para agen rahasia negara anti-Islam takkan pernah tenang, sebelum berhasil mengobok-obok negeri kita dengan segala cara. Klandestin trans-nasional dengan demo berjilidnya, berhasil kita patahkan. Setelah itu, apalagi yang akan mereka lakoni? Mari kita hadapi dengan jiwa ksatria.
Penulis adalah pendiri Khatulistiwamuda yang bergerak di bidang pendidikan, sosial budaya, dan spiritualitas; Ketua Bidang Program Yayasan Aku dan Sukarno