Oleh Iftah Sidik
Meski tiada kata yang cukup mewakili untuk menggambarkan keluhuran budinya, dengan segala keterbatasan para ulama pecintanya merangkum saat-saat kelahiran dan akhlaqnya dalam untaian puisi yang indah.
<>Bulan Maulid telah tiba. Seluruh dunia menyambutnya dengan gegap gempita. Ada yang menggelar pengajian, ada yang menyelenggarakan selamatan dan tumpengan. Bahkan ada yang menggelar prosesi besar-besaran selama hampir sebulan, seperti tradisi Grebeg Maulud di Keraton Kasunanan Surakarta, Kasultanan Yogyakarta, dan Kasultanan Cirebon. Semuanya sebagai ungkapan rasa syukur kepada Allah SWT atas kelahiran utusan-Nya, Muhammad SAW.
Dari berbagai tradisi merayakan kelahiran Rasulullah SAW tersebut, ada sebuah ritus yang nyaris seragam di semua tempat, yakni pembacaan kisah kelahiran sang nabi. Berbeda dengan sirah (biografi) dan tarikh (sejarah) karya sejarawan, kisah-kisah kelahiran Nabi yang dikenal dengan nama Maulid – atau dalam budaya Betawi disebut Rawi – itu berupa puisi panjang yang digubah oleh para ulama besar yang juga ahli syair.
Ada beragam jenis Maulid. Ada yang digubah dalam lirik-lirik qashidah murni yang indah, seperti Maulid Burdah, oleh Imam Muhammad Al-Bushiri, dan Maulid Syaraful Anam. Ada pula yang bercorak prosa lirik yang dipadu qashidah, seperti Maulid Ad-Diba’i, karya Al-Imam Abdurrahman bin Ali Ad-Diba’i Asy-Syaibani Az-Zubaidi; Maulid Azabi, karya Syaikh Muhammad Al-Azabi; Maulid Al-Buthy, karya Syaikh Abdurrauf Al-Buthy; Maulid Simthud Durar, karya Al-Habib Ali bin Muhammad bin Husain Al-Habsyi; dan yang mutakhir Maulid Adh-Dhiya-ul Lami’, karya Al-Habib Umar bin Hafidz dari Hadhramaut.
Ada pula ulama pujangga yang menyusun dua Maulid dalam dua model berbeda, seperti Syaikh Ja’far bin Hasan bin Abdul Karim Al-Barzanji al-Madani, penyusun Maulid Barzanji. Maulid karya khatib Masjid Nabawi (Madinah) yang wafat pada 1177 H/1763 M itu disusun dalam dua model: natsar (prosa lirik) yang terdiri atas 19 bab dengan 355 bait, dan nazham (qashidah puitis) berisi 16 bab dengan 205 bait.
Meski dengan corak penyusunan beragam, setiap karya Maulid memiliki kesamaan: mengandung keunikan dalam gaya dan irama yang khas, serta penuh metafora dan simbol. Dalam kajian sastra Arab, keunikan itu disebut Al-Madaih al-Nabawiyah, puisi-puisi sanjungan kenabian. Meski isinya sering kali disalahpahami oleh kalangan penentang Maulid sebagai kemusyrikan, metafora dan simbol dalam Maulid justru merupakan kekuatan dalam memunculkan kerinduan dan kecintaan umat pembaca kepada Nabi junjungannya.
Meski tidak sama persis, ada kesamaan lain dari Maulid-maulid tersebut. Yakni dalam pembagian kisah yang biasanya terdiri dari kisah penciptaan Nabi Muhammad SAW, kisah kehamilan ibunda sang Nabi, berbagai keajaiban menjelang kelahiran beliau, sosok dan kepribadian Rasulullah SAW, serta kiprah dakwah beliau.
Nur Muhammad
Beberapa Maulid juga menambahkan bagian-bagian yang tidak ada pada Maulid lainnya sebagai kekhasan. Misalnya, pencantuman silsilah Rasulullah SAW hingga Nabi Ibrahim AS dalam maulid Barzanji, atau pengutipan hadits-hadits tentang Nur Muhammad dalam Simthud Durar, dan tentang keutamaan Rasulullah dan umatnya dalam Ad-Diba’i.
Sebagai bagian dari karya sastra, penambahan-panambahan itu pun dirangkai dalam kalimat kalimat indah yang bersajak. Tengok, misalnya, pohon silsilah Nabi yang dirangkai oleh Syaikh Ja’far Al-Barzanji dalam Maulid-nya yang berjudul asli Qishshah al-Maulid an-Nabawi (Kisah Kelahiran Nabi). “Wa ba’du, kukatakan bahwa junjungan kita Nabi Muhammad SAW adalah putra Abdullah, putra Abdul Muthalib, yang nama aslinya ialah Syaibatul Hamd, karena budi pekertinya yang sangat terpuji. (Abdul Muthalib) adalah putra Hasyim, yang nama aslinya Amr, putra Abdu Manaf, yang nama aslinya Al-Mughirah, yang telah berhasil mencapai kedudukan yang sangat tinggi...”
Lebih indah lagi, bab nasab itu ditutup dengan serangkaian qashidah yang menawan.
Nasabun tahsibul ‘ulâ bihulâh,
qalladathâ nujûmahal jawza-u
(Inilah untaian nasab yang dengan berhias namanya menjadi tinggi,
laksana kecemerlangan bintang Aries di antara bintang-bintang yang membuntuti).
Habbadzâ ‘iqdu sûdadiw wa fakhâri,
anta fîhil yatimatul ‘ashma-u
(Betapa indah untaian yang sangat mulia dan membanggakan itu,
dengan dikau yang laksana liontin berkilau di dalamnya).
Rangkaian pembacaan Maulid biasanya dibuka dengan shalawat dan doa yang dirangkai dalam bentuk qashidah nan indah. Pembacaan Maulid Diba’ dan Barzanji, misalnya, selalu diawali dengan syair berikut:
Ya Rabbi shalli ‘alâ Muhammad
Ya Rabbi shalli ‘alaihi wa sallim
Ya Rabbi balligh-hul wasîlah
Ya Rabbi khush-shah bil fadhîlah
(Wahai Tuhan, tetapkanlah limpahan rahmat kepada Nabi Muhammad.
Wahai Tuhan, tetapkanlah limpahan rahmat dan kesejahteraan kepadanya.
Wahai Tuhan, sampaikanlah kepadanya sebagai perantara.
Wahai Tuhan, khususkanlah kepadanya dengan keutamaan).
Sedangkan Simthud Durar dibuka dengan syair:
Ya Rabbi shalli ‘alâ Muhammad
Mâ lâha fil ufuqi nûru kawkab
(Wahai Tuhan,
selagi cahaya bintang gemintang masih gemerlapan di kaki langit,
tetapkanlah limpahan rahmat kepada Nabi Muhammad).
Seluruh ungkapan dalam Maulid memang disusun dengan bahasa sastra yang sangat tinggi. Dalam disiplin ilmu balaghah (paramasastra bahasa Arab), penyimbolan dan metafora (tasybih) dalam Maulid sudah masuk kategori baligh, tingkatan metafora tertinggi.
Qashidah lain yang sangat populer dan sangat baligh terdapat dalam Maulid Barzanji:
Anta syamsun anta badrun
Anta nurun fawqa nuri
(Engkaulah surya, engkaulah purnama.
Engkau cahaya di atas cahaya)
Dalam tradisi sastra Arab, syair tersebut bernilai tinggi justru karena menghilangkan sebagian unsur kalimatnya. Jika dilengkapi – yang berarti menurunkan kualitasnya – kalimat tersebut bisa berbunyi...
Anta kasy-syamsi fi tanwiri qulubin nas
Anta kal badri fil taksyifi zhulamiz zamani
Anta fil anbiya-i ka nurun fawqa nuri
(Engkau laksana surya, dalam menyinari hati manusia.
Engkau laksana purnama, dalam menyingkap kegelapan masa.
Di antara para nabi, Engkau laksana cahaya di atas cahaya).
Keindahan lain juga terkandung dalam pengisahan proses penciptaan ruh Nabi Muhammad SAW, yang diyakini berasal dari pancaran cahaya Ilahi. Karena itulah bentuk awal penciptaan Rasulullah disebut nur Muhammad, yang diciptakan sebelum penciptaan alam semesta raya. Bahkan diceritakan oleh para ahli hikmah, karena Muhammad-lah Allah menciptakan alam semesta ini.
Syaikh Al-Barzanji melukiskannya dengan ungkapan Huwa akhirul anbiya-i bi shuratihi wa awwaluhum bi ma’nah (Beliau adalah nabi terakhir dalam wujud, namun nabi pertama secara maknawi). Sedangkan Dhiya-ul Lami’ menggambarkannya berupa dialog ketika Rasulullah ditanya oleh seseorang, “Sejak kapankah kenabianmu?” Beliau bersabda, “Kenabianku sejak Adam masih berupa air dan tanah.”
Masih tentang hal yang sama, Habib Ali Al-Habsyi dalam Simthud Durar mengutip hadits Abdurrazzaq dari Jabir bin Abdullah Al-Anshari, bahwasanya ia pernah bertanya, “Demi ayah dan ibuku, ya Rasulullah, beritahukanlah kepadaku tentang sesuatu yang pertama diciptakan Allah sebelum yang lain.” Maka jawab Rasulullah, “Wahai Jabir, sesungguhnya Allah telah menciptakan nur nabimu, Muhammad, dari nur-Nya sebelum menciptakan sesuatu yang lain.”
Penggambaran tentang penciptaan nur Muhammad ini dengan indah dilukiskan oleh kakek (alm.) Habib Anis, Solo, dengan ungkapan, “Pecahlah ‘telur’ penciptaan-Nya di alam mutlak yang tak berbatas ini. Menyingkap keindahan yang bisa disaksikan pandangan mata, mencakup segala kesempurnaan sifat keindahan dan keelokan. Dan berpindah-pindahlah ia dengan segala keberkahan, dalam sulbi-sulbi (punggung) dan rahim-rahim yang mulia. Tiada satu sulbi pun yang menyimpannya, kecuali beroleh nikmat Allah nan sempurna.”
Arsy Pun Berguncang
Sementara Maulid Diba’ menggambarkannya dengan lebih mendetail melalui periwayatan Sayyidina Abdullah bin Abbas RA. Dari Rasulullah SAW, beliau bersabda, “Sesungguhnya ada seorang Quraisy yang ketika itu masih berwujud cahaya (nur) di hadapan Allah, Yang Mahaperkasa dan Mahaagung, dua ribu tahun sebelum penciptaan Nabi Adam AS, yang selalu bertasbih kepada Allah. Dan bersamaan dengan tasbihnya, bertasbih pula para malaikat mengikutinya.
Ketika Allah akan menciptakan Adam,nur itu pun diletakkan di tanah liat asal kejadian Adam. Lalu Allah Azza wa Jalla menurunkannya ke bumi melalui punggung Nabi Adam dan Allah membawanya ke dalam kapal dalam tulang sulbi Nabi Nuh dan menjadikannya dalam tulang sulbi sang Kekasih, Nabi Ibrahim, ketika ia dilemparkan ke dalam api.
Tak henti-hentinya Allah, Yang Mahaperkasa dan Mahaagung, memindahkannya dari rangkaian tulang sulbi yang suci, kepada rahim yang suci dan megah, hingga akhirnya Allah melahirkannya melalui kedua orangtuanya yang sama sekali tidak pernah berbuat serong.”
Setiap tahapan penciptaan dan kelahiran Rasulullah memang sarat dengan keajaiban dan keluarbiasaan. Ketika Nabi masih dalam kandungan ibundanya, Aminah, Syaikh Ja’far Al-Barzanji melukiskan kesuburan yang mendadak mewarnai sekitar kota Makkah, dan hujan yang mendadak turun, setelah bertahun-tahun kemarau melanda tanah suci itu.
Berita tentang telah dekatnya kelahiran seorang calon nabi akhir zaman, rupanya telah sampai ke telinga para pendeta Yahudi dan Nasrani, juga para penyihir dan dukun. Tak mau kecolongan, mereka minta bantuan jin untuk mencuri dengar kabar dari langit. Namun, sejak kehamilan Aminah, segenap pintu langit telah dijaga ketat oleh para malaikat bersenjatakan panah berapi.
Dalam Maulid-nya, Habib Umar bin Hafidz menambahkan, “Dan ketika Aminah mengandung Nabi, ia tidak pernah merasa sakit sebagaimana lazimnya wanita yang tengah hamil.” Sementara Syaikh Abdurrahman Ad-Diba’i memilih penggambaran yang gempita dan agung, dengan sajak-sajak yang berakhiran huruf ra berharakat fathah.
Fahtazzal ‘arsyu tharaban was-tibsyâra
Waz-dâdal kursiyyu haibatan wa waqâra
Wam-tala-atis samâwâtu anwâra
wa dhaj-jatil mala-ikatu tahlîlan wa tanjîdan was-tighfâra
(Maka Arsy pun berguncang
penuh suka cita dan riang gembira.
(Sementara) Kursi Allah bertambah wibawa dan tenang.
Langit dipenuhi berjuta cahaya.
Dan bergemuruh suara malaikat
membaca tahlil, tamjid (pengagungan Allah), dan istighfar.)
Detik-detik kelahiran Nabi dilukiskan sebagai peristiwa luar biasa yang sarat kemukjizatan. Para penyusun Maulid pun berlomba mengabadikannya dengan rangkaian kalimat indah yang tak terhingga nilainya, misalnya untaian puisi dalam Maulid Diba’ seperti berikut:
Wa lam tazal ummuhû tarâ anwâ’an min fakhrihî wa fadhlihî,
ilâ nihâyati tamâmi hamlih
Falammâsy-tadda bihâth-thalqu bi-idzni rabbil khalqi,
wadha’atil habîba shallallâhu ‘alaihi wa sallama sâjidan syâkiran hâmidan ka-annahul badru fî tamâmih
(Dan sang ibunda tiada henti melihat bermacam tanda kemegahan dan keistimewaan sang janin,
hingga sempurnalah masa kandungannya.
Maka ketika sang bunda telah merasa kesakitan,
dengan izin Tuhan, Sang Pencipta makhluk, lahirlah kekasih Allah, Muhammad SAW,
dalam keadaan sujud, bersyukur, dan memuji,
dengan wajah yang sempurna, laksana purnama).
Sementara Simthud Durar menggambarkannya dengan untaian kalimat yang tak kurang indah...
“Maka dengan taufik Allah,
hadirlah Sayyidah Maryam dan Sayyidah Asiyah,
yang diiringi bidadari-bidadari surga
yang beroleh kemuliaan agung
yang dibagi-bagikan Allah
atas mereka yang dikehendaki
Dan tibalah saat yang tlah direncanakan Allah
bagi kelahiran ini
Menyingsinglah fajar keutamaan nan cerah
Terang benderang menjulang tinggi
Dan terlahirlah insan nan terpuji
Tunduk khusyu’ di hadapan Allah
Terang benderang menjulang tinggi.....”
Dalam Maulid-maulid itu juga diriwayatkan, Rasulullah SAW dilahirkan dalam keadaan telah terkhitan, mata beliau indah bercelak, tali pusarnya telah bersih terpotong – berkat kuasa kodrat Ilahi.
Habib Ali juga menukil periwayatan Abdurahman bin ‘Auf, yang bersumber dari pengalaman ibu kandungnya, Syaffa’, yang berkisah, “Pada saat Rasulullah SAW dilahirkan oleh Aminah, ia kusambut dengan kedua telapak tanganku. Dan terdengar tangisnya pertama kali. Lalu kudengar suara, ‘Semoga rahmat Allah atasmu.’ Dan aku pun menyaksikan cahaya benderang di hadapannya, menerangi timur dan barat, hingga aku dapat melihat sebagian gedung-gedung Romawi.”
Cerita kehadiran Sayyidah Maryam (ibunda Nabi Isa AS) dan Sayyidah Asiyah (istri Firaun yang juga ibu angkat Nabi Musa) saat kelahiran Rasulullah SAW, dikisahkan dalam Maulid Barzanji. Dilukiskan pula berbagai peristiwa ganjil yang menghiasi malam kelahiran beliau, seperti retaknya Istana Kerajaan Persia, banjir bandang yang melanda Lembah Samawah di Gurun Sahara, padahal sebelumnya belum pernah ditemukan air setetes pun; serta cahaya terang benderang di atas kota Makkah dan sekitarnya.
Lebih lanjut Al-Barzanji juga menceritakan kondisi bayi Muhammad sesaat setelah kelahirannya, “Nabi lahir ke dunia dalam keadaan meletakkan kedua tangannya ke bumi seraya menengadahkan wajahnya ke arah langit yang tinggi sebagai penanda ketinggian kedudukannya dan keluhuran budinya.”
Demikianlah berbagai ungkapan keindahan pada detik-detik kelahiran Rasulullah SAW dalam puisi Maulid karya ulama shalih dari zaman ke zaman. Meski tiada kata yang cukup mewakili untuk menggambarkan keluhurannya, dengan segala keterbatasannya para ulama penyair itu berusaha merangkumnya dalam serangkaian puisi indah.
Betapa beruntung orang-orang yang mencintainya dengan cara apa pun, sebagaimana ungkapan Imam Bushairi dalam Maulid Burdah-nya, “Dialah sosok yang sempurna makna dan bentuknya, yang kemudian dipilih menjadi kekasih Sang Penghembus Angin Sepoi. Pengungkapan kebaikannya terjaga dari kemusyrikan, maka mutiara keindahannya tak terbagi. Tinggalkanlah apa yang dikatakan kaum Nasrani tentang nabinya, dan pujilah ia (Rasulullah) semaumu asal masih dalam batasan hukum itu. Maka nisbatkanlah kemuliaan dan keagungan apa pun yang kau kehendaki kepadanya.”
Rasulullah SAW memang manusia biasa, namun beliau telah dipilih oleh Allah SWT untuk dianugerahi berbagai keistimewaan, yang menjadikan posisi beliau di antara umat manusia bak permata di antara bebatuan semata....