Oleh Jaenuri
Mungkin terdengar agak aneh sebutan kiai gentong, kiai ceret dan kiai talang. Namun demikianlah Wawan Suseta menyebutkan dalam bukunya Renungan Sufistik Islam-Jawa. Susetya membagi ketiga golongan kiai ini berdasarkan kedalaman ilmu dan kualitas spiritualnya. Lebih lanjut perbedaan ini didasarkan pula dari cara mereka berdakwah. Kiai gentong lebih ekslusif dibandingan kiai ceret dan talang.
Pertama, Kiai Gentong
Kata gentong biasanya dimaksudkan sebuah wadah yang diperuntukkan menampung air. Maka kiai gentong diartikan, “Seberapa banyak ilmu yang digali dari kiai tersebut bergantung dari keinginan dan kemampuan orang-orang yang datang kepadanya”. Kiai jenis ini adalah kiai yang kesehariannya selalu mendalami ilmu dan konsentrasi dalam membersihkan jiwa.
Jenis kiai ini tidak suka menampakkan dirinya untuk dikenal apalagi mencari kemasyhuran. Pribadinya yang haus akan kedeketannya dengan Allah menjadikan ia istiqamah menempuh jalannya dengan memperdalam ilmu dan ibadah. Tujuan hidupnya adalah menghabiskan usianya untuk mengabdi kepada Allah dengan jalan ta’lim al-muta’allim dan berjuang meneruskan perjuangan para nabi dan rasul. Orientasi hidupnya adalah akhirat. Bahkan tidak tergoda dengan kemewahan dunia beserta kemasyhurannya.
Di era sekarang ini mungkin sudah sangat langka ditemui jenis kiai gentong. Apalagi dengan semakin berkembangnya teknologi, untuk menutup diri rasanya sesuatu yang sangat tidak mungkin. Ketika ada sosok yang dianggap alim, allamah (sangat ahli dalam ilmu agama), pasti media langsung mengekspos sehingga langsung terkenal.
Namun tidak bisa juga kita bersuudhan (berburuk sangka), karena masalah niat dan tujuan adalah urusan hati subjek (pelaku). Tidak ada yang tahu hati seseorang, walau dia terkenal dimana-mana, nama dan gambarnya terpampang di setiap sudut kota hingga ke pelosok desa, tetapi hatinya memang murni bersih karena mengharap ridhanya Allah.
Dari penjelasan kiai gentong setidaknya dapat diambil kesimpulan bahwa jenis kiai ini memiliki ciri kepribadian di antaranya, keilmuannya sangat mendalam, orientasi keilmuannya adalah tazkiyah an-nafs pembersihan jiwa, amaliahnya semata-mata karena mengharap ridha Allah, tidak hedonis, dan akan berbicara tentang ilmu kepada yang lain jika dibutuhkan.
Kedua, Kiai Ceret.
Nama ceret dikiaskan pada sebuah wadah air yang kapasitasnya lebih kecil dan terbatas dibandingkan gentong. Sebutan kiai ceret adalah kiai yang ilmunya lebih sedikit dibandingkan kiai gentong. Maka ilmu yang disampaikan kepada pendengar pun lebih terbatas. Termasuk dalam kategori kiai ceret adalah para pendakwah di panggung-panggung dengan sejuta audiens.
Materi-materi yang disampaikan kiai ceret biasanya hanya bersifat global, masih dalam ranah kulit belum sampai mengupas hingga isi yang terdalam. Imam Al-Ghazali membahasakan istilah ini dalam kitabnya Ihya Ulumuddin dengan ilmu dhahir. Kelebihannya kiai ini lebih ahli dalam mengolah kata. Sehingga biasanya lebih sistematis dan menarik bagi kebanyakan orang. Kiai ceret umumnya lebih terkenal dan berkehidupan mewah. Karena panitia pasti menyediakan anggaran yang cukup sebagai bentuk terimakasih atas ceramah yang disampaikan.
Dari pernyataan di atas dapat dipahami bahwa kia ceret adalah jenis kiai yang cara berdakwahnya lebih bersifat terbuka, banyak audiens, dengan metode-metode tertentu yang menarik, isi ceramah lebih terbatas, dan masih mengharapkan keuntungan di dunia. Berbeda dengan kiai gentong yang lebih mengedepankan perjuangan dan li i’lai kalimatillah.
Ketiga Kiai Talang
Layaknya talang air yang senantiasa mengalirkan air hujan hingga habis tanpa sisa, kia talang dipahami kiai yang gemar berdakwah dimana pun ia berada. Tidak peduli di depan kawan atau lawan, suka ataupun tidak suka. Kiai ini memiliki kesamaan dengan kiai ceret, yaitu sama-sama menampilkan diri di depan umum. Bedanya kiai ceret memberikan ilmunya secara terbatas dan dalam ruang-ruang tertentu. Sedangkan kiai talang tidak memandang kepda siapa dan di mana saja ia berdakwah.
Mungkin sebagian kita pernah menemui sosok seperti kiai talang. Setiap kali bertemu dengannya tidak ada pembicaraan lain selain dari menggurui, ceramah agama, berdalil dan sebagainya. Mungkin niatnya mulia untuk menebarkan kebaikan. Tapi sebagai manusia hidup di alam dunia ini tidak selamanya mampu mendengarkan ceramah keagamaan disetiap tempat. Lebih dari itu, beragama bukan hanya mereka yang kesana kemari berdalil, membacakan ayat-ayat Al-Qur’an, namun menjalani kediupan bersosial sesuai dengan aturannya saja sudah termasuk dalam kategori beragama.
Di sinilah pentingya sebuah pendekatan, strategi dan metode dalam berdakwah. Harus menyesuaiakan dimana, kapan dan siapa yang diajak bicara, khatibin nas biqodri uqulihim berbicaralah kepada manusia sesuai kemampuan mereka.
Jaenuri, dosen Fakultas Agama Islam UNU Surakarta