Kitab kuning merupakan media yang menjembatani peradaban masa lalu, masa kini, dan masa yang akan datang. Kitab kuning ini menjadi penghubung peradaban melalui tiga jalur sekaligus, yakni sanad keilmuan, kandungan pemahaman, hingga bahasa pemaknaan.
Seperti diketahui, kitab kuning adalah buku teks perihal keagamaan yang ditulis oleh para ulama. Sebagian besar kitab kuning yang dipelajari para santri ditulis oleh ulama terdahulu dengan konteks zaman dan tempat yang jauh berbeda dengan saat kitab itu dipelajari mereka. Kitab-kitab tersebut masih dan terus dipelajari hingga masa kini oleh para santri di pesantren. Sebab, merujuk Zamakhsyari Dhofier dalam Tradisi Pesantren: Studi tentang Pandangan Hidup Kyai (1985), pengajian kitab kuning ini menjadi salah satu unsur wajib atau rukun dalam pesantren, selain kiai, santri, masjid, dan asrama.
Kitab kuning ini diperlombakan dalam Musabaqah Qiraatil Kutub (MQK) tingkat nasional yang digelar Kementerian Agama (Kemenag) di Pondok Pesantren Sunan Drajat, Lamongan, Jawa Timur pada 10-18 Juli 2023. Kegiatan ini merupakan kejuaraan yang menilai kemampuan santri pesantren dalam membaca dan menguraikan kandungan makna dari teks kitab kuning yang dibacanya.
Sanad
Sanad atau mata rantai keilmuan menjadi hal yang tidak terpisahkan dalam ruang lingkup pendidikan pesantren. Para santri mempelajari berbagai macam kitab kepada gurunya. Gurunya juga mempelajari kitab itu kepada gurunya dan terus bersambung sampai kepada penulisnya. Mata rantai keilmuan itu tak terputus di kalangan para santri ini sampai kepada para ulama terdahulu, sebagaimana dijelaskan Djohan Effendi dalam Pembaruan tanpa Membongkar Tradisi: Wacana Keagamaan di Kalangan Generasi Muda NU Masa Kepemimpinan Gus Dur (2010).
Hal itulah yang selalu ditekankan dalam pendidikan pesantren. Kiai akan memberikan ijazah atau sertifikat yang menandai bahwa santri tersebut telah mempelajari dan diizinkan untuk mengajarkan kembali kitab tersebut. Dalam ijazah itu, kiai menyebut silsilah keilmuannya mulai dari nama gurunya, guru dari gurunya, dan terus sampai kepada penulis kitab yang dikajinya.
Sebagai contoh, penulis sempat mengaji kitab Ithaf Ahl al-Islam bi Khusushiyyat al-Shiyam kepada KH Maimoen Zubair di Pondok Pesantren Al-Anwar, Sarang, Rembang, Jawa Tengah pada Ramadhan 1438 H atau bertepatan pada pertengahan 2017 lalu. Setelah menamatkan kitab tersebut, penulis mendapatkan selembar fotokopi ijazah yang menyebutkan mata rantai keilmuan KH Maimoen Zubair sampai kepada pengarang kitab tersebut, yakni Imam Ibnu Hajar al-Haitami.
Kontekstualisasi
Kitab-kitab kuning menjadi referensi utama yang menjadi pegangan santri dalam mempelajari ilmu-ilmu agama. Para kiai yang membacanya akan memberikan penjelasan yang melampaui dari sekadar teks yang disajikan penulisnya. Sebab, mereka akan mengutip penjelasan dari berbagai kitab pendukung lainnya, khususnya kitab lain yang menjadi penjelas (syarah/hasyiyah) dari kitab utama. Pun, para kiai juga akan menyampaikan penjelasan atas makna teks disesuaikan dengan konteks terkini di tempat mereka tinggal dan konteks zaman yang melatarinya tanpa menafikan konteks sejarahnya.
Kontekstualisasi ini merupakan bagian dari upaya agar kitab-kitab yang dikaji ini relevan dengan kondisi lingkungan dan waktu saat dipelajari. Misalnya, ada kitab yang dikaji menjelaskan perihal jihad berperang. Bagian ini tentu sudah tidak sesuai dengan zaman dan kondisi terkini. Namun, teks yang menjelaskan hal tersebut tetap dibaca dan dipelajari, tetapi dipahami sebagai khazanah pengetahuan bahwa dulu ada syariat demikian.
Zaman yang terus berkembang dinamis juga menuntut agama untuk terus mengikutinya. Para ulama pun terus memproduksi karya terbaru menyesuaikan isu-isu terbaru yang belum ada di zaman dahulu. Para santri juga diberikan pemahaman demikian, tidak saja secara formal melalui pengajian, tetapi juga bisa melalui bahtsul masail. Pemikiran mereka atas isu tertentu diujikan pada forum tersebut guna menemukan realitas hukum yang tepat untuk masalah yang mereka diskusikan. Di sinilah kitab kuning hadir menempati ruang relevansinya dengan kondisi zaman dan ruangnya. Hal ini pula yang menjadi poin penting dalam penilaian ajang MQK Nasional.
Bahasa pemaknaan
Kitab kuning juga menghubungkan peradaban melalui bahasa dalam pengajarannya. Mayoritas sivitas akademika pesantren masih menggunakan bahasa daerah dalam melakukan pemaknaan atau penerjemahan teksnya. Para santri biasanya akan membubuhi makna setiap kata yang disampaikan kiainya di bagian bawah teks pada kitabnya masing-masing.
Proses penulisan makna itu, mengutip Iip Dzulkifli Yahya dalam Ngalogat di Pesantren Sunda Menghadirkan yang Dimangkirkan dalam Sadur: Sejarah Terjemahan di Indonesia dan Malaysia (2009), disebut sebagai ngalogat dalam tradisi Sunda dan maknani, ngapsahi, atau ngesahi dalam tradisi Jawa. Beberapa literatur ada juga yang menyebutnya njenggoti dalam tradisi Jawa.
Pemaknaan itu tidak hanya menerjemahkan kata, tetapi juga menunjukkan fungsi-fungsi gramatikanya dengan membubuhi artikel khusus, seperti utawi (Jawa), adapun dan bermula (Melayu), atau ari (Sunda) untuk menunjukkan fungsi mubtada (subjek) dan ditandai dengan mim yang berbentuk tegak; iku (Jawa), itu (Melayu), nyaeta (Sunda) untuk menunjukkan fungsi khobar (predikat) dan ditandai dengan kho; sopo (Jawa); dan sebagainya. Hal ini guna memudahkan para santri dalam mengetahui fungsi gramatika dari setiap kata.
Dalam tradisi maknani berbahasa Jawa, diksi-diksinya juga terkadang berbeda dengan bahasa tuturan. Pilihan diksi ini juga menunjukkan arti yang sekiranya semakna betul dengan teks bahasa Arabnya. Sebagaimana diketahui, bahasa tidak lepas dari kulturnya sehingga terdapat disparitas antara teks asli dengan makna terjemahan. Diksi yang dipilih itu diseleksi betul supaya memangkas disparitas itu agar tidak terlalu jauh.
Pilihan diksi terjemahan bahasa daerah yang dipilih kiai biasanya akan diikuti pula oleh santri-santrinya. Menurut Iip (2009), hal itu adalah bagian dari takzim santri kepada kiainya, mengikuti segala apa yang dicontohkan kiainya, termasuk dalam soal pilihan diksi atas makna teks yang dikajinya. Hal demikian menunjukkan keterhubungan makna yang terus diwariskan secara simultan.
Uraian di atas menunjukkan bahwa kitab kuning merupakan jembatan yang menghubungkan peradaban masa lalu, masa kini, dan masa yang akan datang. Sanad yang terus bersambung, pemahaman yang selalu kontekstual, dan bahasa yang senantiasa diwariskan kepada generasi selanjutnya menjadi bagian yang tak terpisahkan dari kitab-kitab kuning sebagai referensi utama para santri dalam mempelajari dan mendalami pengetahuan agama.
Muhammad Syakir Ni’amillah Fiza, pengajar di Pondok Buntet Pesantren, alumnus Fakultas Islam Nusantara Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (Unusia)