Ada empat hal yang perlu diperkuat kembali pada diri pengurus dan warga NU: amaliah, fikrah, harakah, dan ghirah. (Foto ilustrasi: NU Online/Romzy Ahmad)
Nahdlatul Ulama itu seperti kolam besar nan luas yang sudah lama dibuat dengan berbagai macam jenis ikan di dalamnya. Perawatan dan pakan yang diberikan oleh pemiliknya pun sederhana, namun ikan tak pernah protes atau terlebih tak mau memakannya. Dengan tanggul kolam yang sederhana, aliran air pun lancar dan jernih dari puncak gunung. Banyak rerumputan hijau dan aneka bunga air di dalam kolam yang semakin membuat keragaman ikan berkembang biak dengan baik.
Seiring berkembangnya zaman, kolam-kolam baru dengan berbagai ukuran pun mulai dibuat oleh orang lain. Pemilik kolam baru membangun kolamnya dengan berbagai tujuan dan model agar dapat menampung ikan-ikan yang nantinya akan mengisi kolam baru itu. Pemilik pun menyiapkan pakan yang sama namun dengan kemasan berbeda untuk menarik agar ikan-ikan di kolam lama bisa pindah ke kolam baru itu.
Karena ikannya tak kunjung pindah-pindah, akhirnya pemilik kolam baru pun memancingnya alias ‘mencuri’ ikan-ikan di kolam lama dan perlahan memindahkannya ke kolam baru. Bukan hanya yang besar dan sehat, segala ikan yang nyangkut dipancingnya dipindahkan ke kolam baru itu. Bukan hanya dipancing, pemilik kolam baru menggunakan berbagai macam cara untuk mengambil ikan di kolam lama.
Itulah kondisi NU dan ormas-ormas keagamaan arus utama di Indonesia lainnya saat ini—warganya mulai ‘dipancingi’ oleh paham-paham keagamaan baru. Dengan memanfaatkan perkembangan teknologi dan informasi, seperti media sosial, paham-paham transnasional ini merangsek mempengaruhi paham Ahlussunnah wal Jamaah yang menjadi mayoritas di Indonesia.
Berbagai slogan seperti “kembali pada Al-Qur’an dan Sunnah”, sistem khilafah, ataupun kosa kata ‘hijrah’, paham-paham baru ini melancarkan misinya. Tak cukup itu, amaliah-amaliah yang sudah dilakukan selama ini tak luput dari ‘serangan’ dengan menyalahkan, membid’ahkan, bahkan mengafirkan. Tak ayal, warga NU yang belum begitu memahami dalil mulai goyah karena bingung ketika ditanya dalil Al-Qur’an dan haditsnya. Kepercayaan warga NU pada kiainya mulai digoyang dengan sedikit-sedikit bertanya dalil.
Selain amaliah yang diutak-atik, paham-paham baru ini juga melancarkan ‘serangannya’ pada tokoh-tokoh dan kiai NU. Dengan berbagai narasi, potongan-potongan ayat, dan mencomot dalil dengan penafsiran sesuai kepentingannya, paham ini memanfaatkan media sosial untuk menyebarkan ujaran kebencian.
Tidak cukup sampai di situ, kader-kader muda NU yang lumayan secara keilmuan agama namun minim dalam pemahaman harakah dan pergerakan, pelan-pelan mulai ‘ikut irama gendang’ pergerakan yang cenderung radikal, dan bisa mengarah pada paham ekstremisme sampai dengan terorisme ini. Sementara generasi muda yang lumayan cerdas namun tidak kuat pemahaman agamanya dengan sangat mudah terdoktrin paham ini melalui berbagai kelompok kajian Islam yang eksklusif.
Perlunya Penguatan Pengurus dan Warga NU
Kondisi ini tentunya tidak bisa didiamkan. Kolam NU yang selama ini dirawat seadanya harus diurus dengan lebih profesional, mengikuti perkembangan zaman. Pakan ikan harus diperbarui dan ikan-ikan harus sering mendapatkan sentuhan perhatian sehingga tidak mudah tergiur dengan pancingan pemilik kolam baru. Tanggul-tanggul kolam juga harus dibangun dengan kuat agar tidak mudah bocor dan jebol sehingga ikan bisa hanyut ke kolam baru.
Begitu juga warga NU di zaman sekarang harus terus diperkuat pemahaman ke-NU-an dan pemahaman keagamaannya di tengah terjangan paham-paham yang aktif melancarkan misinya dengan berbagai cara. Pengurus NU tidak boleh tinggal diam dan terbawa arus melihat kondisi warga NU yang mulai goyah ini.
Ada empat hal yang perlu diperkuat kembali agar pengurus dan warga NU bisa menghadapi kondisi ini. Hal itu meliputi empat hal yakni penguatan amaliah, fikrah, harakah, dan ghirah. Penguatan amaliah yakni menyadarkan kembali warga NU bahwa Nahdlatul Ulama memegang teguh paham Ahlussunnah wal Jamaah (Aswaja) yakni paham untuk menjaga kemurnian islam dengan berpegang pada Al-Qur'an, sunah Nabi, dan para sahabat dengan sanad keilmuan yang jelas.
Dalam persoalan fiqih, NU bermazhab pada salah satu mazhab empat, yaitu Imam Hanafi, Imam Maliki, Imam Syafi'i dan Imam Hanbali. Dalam beraqidah, NU berpegang pada aqidah Islam yang diajarkan Rasulullah yang sudah dikemas rapih dalam manhaj Imam Abu Hasan al-Asy'ari dan Imam Abu Manshur al-Maturidi. Dalam bertasawuf mengikuti pendapat-pendapat yang sudah dirumuskan oleh Imam Junaidi al-Baghdadi dan Imam Al-Ghazali
Pengurus dan warga NU harus diberi pemahaman agar tidak mudah terpengaruh dengan amaliah-amaliah baru dengan menyalahkan yang lama. Nahdliyin tak boleh terpengaruh oleh ‘cashing’ di zaman ini yang cenderung gampang menipu. Prinsip NU harus dipegang teguh yakni: al-muhafadhatu alal qadîmish-shâlih wal akhdu bil jadîdil ashlah (mempertahankan tradisi lama yang baik dan mengambil hal baru yang lebih baik).
Yang kedua adalah penguatan fikrah (pemikiran) di mana NU memiliki cara pandang atau berpikir dengan senantiasa mengusung nilai-nilai yang berhaluan pada konsep tasamuh (toleran), tawasuth (moderat), tawazun (seimbang) dan ‘adalah (adil). Pengurus dan warga NU tidak boleh condong pada pemikiran-pemikiran liberal ataupun pemikiran-pemikiran radikal, tidak ‘kagetan’, tidak terburu-buru, dan tidak mudah terpengaruh. Warga NU adalah orang yang senantiasa bijak dalam merespon segala bentuk pendapat dan pemikiran. Yang butuh ditindak sekarang ya ditindak sekarang. Yang hanya berupa bualan-bualan panggung, tidak usah direspons.
Yang ketiga adalah penguatan harakah atau pergerakan organisasi. Seluruh elemen NU harus memiliki pergerakan yang sama di setiap tingkatan. Gerakan NU yang baik adalah gerakan yang selaras dan satu koordinasi dengan keorganisasian mulai dari anak ranting NU sampai dengan PBNU. Akan aneh ketika warga NU yang amaliahnya Aswaja, namun ikut dengan pergerakan dan organisasi yang bertentangan dengan kebijakan organisasi apalagi menggerogoti dan menghancurkan NU serta NKRI. Na'udzubillahi min dzalik.
Yang keempat adalah penguatan ghirah atau semangat NU dalam berorganisasi. Warga NU harus diperkuat semangat ke-NU-annya dan tidak ikut-ikutan dengan semboyan “Nggak NU-NU an, aku Islam saja”. Prinsip ini sebenarnya sangat rapuh dan berbahaya karena merupakan paham yang mengambang dan mudah terombang-ambing dengan propaganda berbagai aliran dan paham. Ghirah atau semangat ber-NU juga harus murni untuk memperjuangkan Islam rahmatan lil alamin. Tidak memiliki motif-motif lain seperti motif kepentingan politik, ekonomi, dan motif-motif keduniaan lainnya.
NU adalah kolam besar yang harus terus dirawat sehingga keasrian lingkungan bisa tercipta. Ketika NU kuat maka Indonesia pun akan tegak berdiri dan akan memberikan sumbangsih besar bagi terciptanya keseimbangan kehidupan di dunia. NU adalah warisan para ulama dan wali yang menyimpan keberkahan bagi siapa saja yang ikut di dalamnya. Semoga keberkahan itu akan terus ada sehingga ikan yang ada dalam kolam itu akan bisa tumbuh sehat dan memberi kemaslahatan bagi semua.
Muhammad Faizin, Sekretaris PCNU Kabupaten Pringsewu, Lampung