Penjelasan Gus Yahya tentang Globalisasi dan Tradisionalisme
Kamis, 8 April 2021 | 05:47 WIB
Muhammad Syakir NF
Penulis
Jakarta, NU Online
Katib 'Aam Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Yahya Cholil Staquf menjelaskan bahwa ada dua faktor penting yang perlu diperhatikan dalam memahami populisme global, yakni adanya peradaban tunggal dan ketiadaan pemisah batas fisik dan non-fisik.
Dua hal itu terjadi karena adanya revolusi teknologi yang terus berkembang, tetapi menjadi katalisator dari konsolidasi identitas populis. Pun karena pascaperang dunia kedua, masyarakat internasional berusaha mencari kemapanan yang baru untuk menggantikan kemapanan lama yang sudah terbukti mengarah pada konflik global yang sangat destruktif.
Ia melihat peristiwa tersebut diawali dengan perubahan demografis ketika tidak ada lagi negara-negara dengan klaim identitas demografi homogen. Pada masa lalu, katanya, memang ada klaim Turki Utsmani sebagai negara Islam. Ada negara Kristen Katholik, Anglican, ataupun Protestan. Secara demografis memang membentuk satu masyarakat homogen.
"Kita sekarang mendapati kenyataan nyaris tidak ada lagi masyarakat yang homogen hidup bertetangga," ujar Gus Yahya pada Forum Afkar 2021 Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia (Lakpesdam) PBNU, Rabu (7/4).
Perubahan besar juga terjadi pada tata dunia. Sebelumnya, negara-negara saling berinteraksi satu sama lain berdasarkan persaingan militer. Tidak ada rezim perbatasan, kecuali kompetisi militer. Sebagian besar negara menggunakan agama sebagai identitasnya di masa sebelum perang dunia. Bahkan ada musuh utama dominan, Turki Utsmani.
Namun, sesudah perang dunia pertama, orang mulai berpikir tidak mengatasnamakan agama lagi. Ada revolusi Rusia dan Jerman. Setelah perang dunia kedua, orang mulai berpikir tata dunia baru menjamin stabilitas internasional sekaligus menjamin penghormatan kepada manusia. Karenanya, lahirlah PBB pada Oktober 1945. Pada 1948 mengeluarkan resolusi deklarasi HAM.
Gus Yahya menjelaskan bahwa tata dunia yang menjadi visi dari para founding fathers, penggagas tata dunia baru diwujudkan menjadi PBB ini dilandaskan pada dua hal utama, yakni; (1) negara bangsa sebagai basis struktur politik global dengan batas wilayah yang jelas. Hal ini belum pernah terjadi sebelumnya, yakni perbatasan negara diakui secara universal. Sekarang, satu negara membutuhkan legitimasi internasional. (2) Hak-hak asasi manusia.
"Persoalannya, apa yang digagas sebagai tata dunia baru ini belum mewujud. Belum menjadi sesuatu yang settle (mencapai kesepakatan). Bergulat habis-habisan dengan berbagai macam ideologi sentimen," kata Pengasuh Pondok Pesantren Raudlatut Thalibin, Leteh, Rembang, Jawa Tengah itu.
Sementara itu, dunia hari ini memasuki tahap orang mulai menghasilkan dua kecenderungan besar, yakni (1) kecenderungan globalistik yang menginginkan sendi masyarakat harus merupakan nilai-nilai yang diterima universal dan (2) ada kecenderungan masyarakat lokal yang menginginkan terpeliharanya identitas mereka.
Hal tersebut menjadi kontroversi besar di Barat, termasuk di dunia Islam. Di Barat, menurutnya, ada pertarungan besar tentang apa yang mereka anggap sebagai tradisi, karakter Amerika, dan kelompok yang menginginkan nilai dan norma global untuk diterima semua orang walaupun harus mencabut nilai tradisional.
Di Eropa juga, katanya, sama. Ada sekelompok negara Eropa Timur untuk menggalang identitas Eropa. Mereka menganggap negara Eropa Barat, seperti Belgia, Jerman dan sebagainya ingin mengatur nilai-nilai Eropa Barat yang tidak sepenuhnya diterima Eropa Timur.
Sekularistik, misalnya, yang menjadi isu sensitif. Hal tersebut mempunyai resonansi besar di Eropa karena menjadi pertarungan sengit sekularisme dan tradisionalisme. Agama, bagi sekularisme ekstrem, dilihat sebagai biang persoalan.
Hal ini menjadi salah satu titik penting yang harus menjadi perhatian NU dalam mengembangkan sayap global. NU dilahirkan untuk menjawab tantangan peradaban, diinisiasi karena terjadinya perubahan peradaban besar-besaran yang sangat fundamental, dan semua orang harus mencari format baru untuk peradaban besar.
Gerakan politik populis
Senada dengan Gus Yahya, Antropolog Martin van Bruinessen menjelaskan bahwa belakangan banyak gerakan politik sering disebut dengan istilah populis. Secara kata, populisme itu ide-ide politik yang mengatasnamakan rakyat dan yang mengkritik atau yang sangat anti terhadap elit politik dan budaya yang mapan. Gerakan pemimpin itu biasanya di luar partai politik yang sudah mapan. Mereka melakukan mobilisasi dengan menekankan ancaman imigrasi, dan sebagainya.
Bagi kelompok populis di Amerika, rakyat Amerika itu orang Putih di Amerika. Ia sangat antikulit hitam, anti terhadap gerakan emansipasi kulit hitam, rasis, antiglobalisasi, dan antipasar ekonomi bebas. Mereka ingin menutup kembali Amerika dan menarik kembali dari perdagangan internasional.
Di Eropa Barat, ada juga gerakan politik ekstrem kanan dan berupaya mengambil identitasnya dengan melakukan perlawanan terhadap imigrasi, antiimigran, antimuslim, antiislam. Mereka melihat ancaman bakal menjadi minoritas dalam negara sendiri dan menginginkan mengembalikan negara ke penduduk asli. Mereka antiglobalisasi sehingga menginginkan kembali kepada negara bangsa sebagai persatuan yang lebih alami.
Hal serupa juga terjadi di India dengan Modi. Kelompok ini mengatasnamakan India dan Hindu. Orang yang bukan Hindu dianggap bukan orang India yang punya hak. Mereka antiminoritas Muslim dan agama lainnya.
Di dunia Islam di antara negara-negara Islam, tokoh populis paling muncul belakangan ini adalah Erdogan, Presiden Turki.
Gerakan populisme ini hampir selalu membawa mayoritarianisme. Mereka beranggapan bahwa mayoritas harus berkuasa dan hak-hak minoritas diingkari. Namun, gerakan itu terancam oleh konsep hak minoritas, hak asasi, dan gerakan emansipasi.
"Mereka menuntut hak sebagai mayoritas dan tidak melihat minoritas di tengah mereka yang juga seharusnya mempunyai hak," kata Guru Besar Universitas Utrecht, Belanda itu.
Sementara itu, di sisi lain, ada juga kelompok tradisionalisme yang berupaya mempertahankan lokalitasnya.
"NU dan Aswaja itu melihat pesantren itu ya tradisionalisme. Tradisionalisme itu satu sikap yang ingin mempertahankan, membela, melindungi tradisi terhadap ancaman dari reformisme Islam, gerakan Islam yang ingin memurnikan ibadah dan akidah dari hal yang dianggap syirik dan bid’ah," ujarnya.
Tradisionalisme ingin melindungi dan membela fiqih sebagai wacana Islam, tradisi haul, ziarah, dan tarekat sebagai lembaga.
Pewarta: Syakir NF
Editor: Muhammad Faizin
Terpopuler
1
Khutbah Jumat: 4 Maksiat Hati yang Bisa Hapus Pahala Amal Ibadah
2
Khutbah Jumat: Jangan Golput, Ayo Gunakan Hak Pilih dalam Pilkada!
3
Poligami Nabi Muhammad yang Sering Disalahpahami
4
Peserta Konferensi Internasional Humanitarian Islam Disambut Barongsai di Klenteng Sam Poo Kong Semarang
5
Kunjungi Masjid Menara Kudus, Akademisi Internasional Saksikan Akulturasi Islam dan Budaya Lokal
6
Khutbah Jumat Bahasa Sunda: Bahaya Arak keur Kahirupan Manusa
Terkini
Lihat Semua