Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) sedang menyusun Rancangan Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (RUU Sisdiknas). RUU ini mendapat kritikan dari berbagai kalangan karena dianggap menghilangkan frasa madrasah dalam undang-undang.
Muhaimin Iskandar (Cak Imin), seperti diberitakan CNN, mengancam RUU tersebut tidak akan dibahas jika tak segera direvisi dan kembali mamasukkan kata madrasah. Cak Imin keberatan bila kata madrasah hilang dari batang tubuh undang-undang, karena jumlah madrasah di Indonesia saat ini mencapai puluhan ribu, dan perannya pun sudah terbukti sejak dulu.
Tak ingin perdebatan ini menjadi panjang, Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) Nadiem Anwar Makarim menegaskan satuan pendidikan di bawah Kementerian Agama (madrasah) akan tetap ada dalam RUU Sisdiknas.
Dikutip dari siaran pers kemendikbudristek, Nadiem menegaskan, “Sedari awal tidak ada keinginan ataupun rencana menghapus sekolah madrasah atau bentuk-bentuk satuan pendidikan lain dari Sistem Pendidikan Nasional. Sebuah hal yang tidak masuk akal dan tidak pernah terbersit sekalipun di benak kami.”
Sekolah ataupun madrasah secara substansi tetap menjadi bagian dari jalur-jalur pendidikan yang diatur dalam batang tubuh RUU Sisdiknas. Hanya saja penamaan spesifik, seperti SDN, MI, SMP, MTs, atau SMA, SMK, dan MA akan dipaparkan di bagian penjelasan. Tujuannya, kata Nadiem, agar penamaan bentuk satuan pendidikan tidak diikat di tingkat undang-undang, sehingga jauh lebih fleksibel dan dinamis.
Selama proses revisi RUU Sisdiknas, Kemendikbudristek selalu berkodinasi dengan Kementerian Agama. Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas mengatakan, “RUU Sisdiknas telah memberikan perhatian yang kuat terhadap ekosistem pesantren dan madrasah. Nomenklatur madrasah dan pesantren juga masuk dalam batang tubuh dan pasal-pasal dalam RUU Sisdiknas.”
Melalui klarifikasi ini, semakin terang bahwa Kemendikbudristek tidak ada keinginan untuk menghapus madrasah dalam RUU Sisdiknas. Tidak mungkin madrasah dihilangkan secara sengaja. Apalagi peran dan kontribusi madrasah atau pesantren terhadap pendidikan nasional sangatlah besar.
Dalam Polemik Kebudayaan, Dr. Sutomo mengingatkan bahwa sejarah menunjukkan jatuhnya bangsa ini karena sikap acuh tak acuh dengan keberadaan pesantren. Menurutnya, karakter pendidikan yang cocok bagi masyarakat Indonesia adalah pesantren.
Di antara keunikannya ialah kemandirian.Pesantren mampu berdiri di atas kakinya sendiri. Pesantren pun dapat bertahan puluhan tahun tanpa bantuan dari pemerintah. Begitu juga dengan santrinya, selepas keluar dari pesantren atau madrasah, mereka mampu mengaktualisasikan ilmu yang dipelajari di tengah masyarakat, sekalipun yang dipelajari hanya kitab kuning.
KH. Saifuddin Zuhri sangat banyak menjelaskan betapa hebatnya orang pesantren dalam melakukan kontekstualisasi. Beliau mencontohkan, dalam masalah politik, kitab al-Hikam karya Ibn Athaillah sering digunakan sebagai modal utama untuk melawan penjajahan. Sawâbiqu al-himam lâ takhruqu aswâral Aqdâr dijadikan sebagai landasan untuk membebaskan Hadlratussyekh Hasyim ‘Asy’ari ketika ditahan oleh Jepang.
Begitu juga dengan Hadis: al-harbu khid’ah (perang adalah tipuan), selalu dikutip ketika berhadapan dan bernegosiasi dengan Jepang. Pasalnya sebelum menjajah, mereka sangat ramah kepada masyarakat Indonesia, seperti memberikan obat-obatan, juga jabatan strategis kepada sebagian Kiai. Akan tetapi para kiai tidak tergiur oleh kebaikan Jepang itu, dengan berpedoman kepada sabda Nabi di atas.
Kehebatan Pesantren juga diakui oleh Nurcholish Madjid (Cak Nur). Dalam buku Bilik-Bilik Pesantren, Cak Nur mengatakan, seandainya negeri kita tidak mengalami penjajahan, mungkin pertumbuhan sistem pendidikannya akan mengikuti model- model pesantren-pesantren. Sehingga perguruan-perguruan tinggi yang ada tidak akan berupa UI, ITB, IPB, UGM, Unair, atau pun lainnya, tetapi “Universitas Tremas, Krapyak, Tebuireng, Bangkalan, Lasem, dan seterusnya.
Pesantren dan madrasah tersebar luas di berbagai daerah. Jumlahnya mungkin lebih banyak dibanding sekolah negeri. Dari dulu sampai sekarang, para ulama tetap setia mendidikan masyarakat melalui madrasah dan pesantren secara mandiri. Mereka mengajar dengan penuh keikhlasan dan tanpa pamrih. Berkat pesantren dan madrasah inilah pendidikan di Indonesia menjadi merata.
Tak terbayang bila seluruh masalah pendidikan diserahkan kepada sekolah negeri. Apalagi jumlah masyarakat tidak berbanding lurus dengan jumlah sekolah yang ada. Madrasah dan pesantren berperan besar dalam proses pemerataan pendidikan di Nusantara. Karenanya, mustahil bila Kemendikbudristek menghapus madrasah dalam sistem pendidikan nasional.
Hengki Ferdiyansyah, dosen UIN Syarif Hidayatullah