Opini

Mari Berkongres dengan Diskursif Etis

Sabtu, 7 Juni 2014 | 03:01 WIB

Oleh: Muammarullah Umam
Kongres Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) XVIII bisa jadi merupakan kongres paling menegangkan sepanjang 54 tahun berdirinya organisasi mahasiswa berhaluan Ahlusunnah Wal Jamaah (Aswaja) ini.
<>
Tegang, lantaran Kongres kali ini diwarnai berbagai isu mengerikan, dari intervensi kepentingan dari calon presiden, partai dan barisan senior  tertentu, munculnya kericuhan-kericuhan yang dipicu hal-hal sepele, hingga adanya upaya keras dari sejumlah pihak untuk menggagalkan kongres yang telah berjalan selama sepekan ini.

PMII sejak didirikan pada tahun 1960, lalu telah memantapkan diri sebagai organisasi berbasis kader yang memperjuangkan nilai-nilai keadilan, moderasi, toleransi dan keseimbangan (ta’addul, tawasuth, tasammuh, dan tawazzun) dalam paradigma, gerakan dan kinerja organisasinya.

Namun jika dilihat perjalanannya beberapa tahun terakhir, PMII seakan kehilangan ruh gerakannnya terutama dalam hal kaderisasi dan aksi kritis terhadap pelbagai kondisi sosial masyarakat. Dengan 228 Cabang dan 553 komisariat berbasis kampus yang dimiliki, idealnya PMII mampu mewarnai gerakan sosial masyarakat serta mempengaruhi kebijakan pemerintah agar selaras dengan nilai Aswaja dan memberi maslahat bagi ummat.

Dengan paradigma Aswaja yang selaras dengan tradisi masyarakat dan kemajemukan bangsa Indonesia, sejatinya banyak pihak berharap kepada PMII untuk menjadi tempat kaderisasi para calon pemimpin di negeri ini.  Namun sayangnya, kuantitas kader PMII yang berjumlah puluhan ribu, belum seiring dengan kualitas yang dibutuhkan dalam mengawal keberlangsungan Negara berbhineka tunggal ika ini. Minimnya kualitas kader ini bisa dilihat dari rendahnya soliditas dan solidaritas kader PMII sehingga mudah diadudomba demi kepentingan sesaat sebagian pihak, yang belum tentu maslahat untuk PMII.

Kongres Sebagai Wahana Diskursus

Idealnya, Kongres PMII ke XVIII ini menjadi ajang rembukan, diskursus para kader PMII se-Nusantara untuk turut serta menawarkan solusi atas krisis multidimensi yang melanda bangsa ini.  Kongres yang diikuti para Pimpinan Cabang dan Koordinator Cabang se-Indonesia ini juga mestinya menjadi ajang konsolidasi bersama untuk memperbaiki sistem dan kinerja organisasi dari Pengurus Besar hingga Pengurus di tingkat Rayon yang berbasis di Fakultas dan Jurusan di 553 kampus yang saat ini menjadi basis PMII.

Meminjam konsepsi Jurgen Habermas (1992) tentang diskursus di era demokrasi modern, diskursus mesnyaratkan etika komunikasi yang reflektif dan argumentasi rasional, yang kemudian bermuara pada sebuah konsensus bersama yang lahir tanpa paksaan apalagi intervensi pihak lain yang intimidatif. Intimidatif dalam hal ini, tidak hanya berupa kekerasan fisik, tetapi juga bisa dalam bentuk tekanan psikologis dan tekanan materi yang mengarah pada consensus transaksional.

Komunikasi diskursif ala Habermas mengidamkan lahirnya sebuah kesepakatan dalam bentuk politik maupun sistem kebijakan yang partisipatif. Partisipatif dalam hal ini tentu partisipasi yang lahir dari hasil refleksi pemikiran dan perenungan terhadap nilai dasar pergerakan yang bebas dari paksaan dan intimidasi. Kondisi inilah yang mestinya terjadi dalam Kongres PMII ke XVIII.

Kongres ini idealnya menjadi sebuah ruang publik yang menjadi wahana komunikasi semua elemen di PMII, yang menumbuhkan solidaritas gerakan dan soliditas organisasi dalam menghadapi beragam tantangan zaman, kapitalisme dan kuasa birokrasi yang penuh ketimpangan. Ruang publik ideal sebagai wahana diskursus ini tentu bisa tercipta dari kesadaran bersama seluruh kader PMII, khususnya para peserta Kongres PMII ke XVIII, bahwa kongres merupakan ajang silaturahmi dan berdialektika demi kemajuan organisasi. Bukan sebagai tempat adu kekuatan fisik dan uang demi kepentingan segelintir pihak yang ingin menghancurkan PMII.  Mari berkongres, dengan kompetisi yang sehat dan beradu gagasan demi kemajuan PMII.

* Kandidat Ketua Umum PB PMII Masa Khidmah 2014-2016


Terkait