Pertanyaan ini bisa jadi harus ditanyakan kepada kita semua yang merasakan suasana Idul Fitri di era milenial saat ini. Perkembangan teknologi informasi telah membawa masyarakat kepada kondisi di mana semua serba instan dan mudah. Kontak fisik dunia nyata sudah mulai berkurang berganti dengan kontak dunia maya melalui jari jemari memainkan gadget tanpa kenal waktu dan tempat.
Era saat ini, kita bisa mengukur berapa lama orang yang berkumpul mampu menahan diri untuk tidak memegang handphone yang mereka bawa. Sering kita lihat orang berkumpul namun tak terasa bersama. Kebiasaan phubbing (tindakan menyakiti orang lain dalam interaksi sosial karena lebih terfokus pada ponsel) menjangkiti masyarakat dan menjadi pemandangan sehari-hari. Yang dekat dijauhkan dan yang jauh didekatkan. Mereka asyik sendiri terhipnotis kecanggihan teknologi yang sekarang sudah menjadi tren dan bagian hidup di era teknologi informasi. Ke mana pun pergi, jika terlewatkan benda ini, akan terasa seperti berada di tengah hutan belantara, hilang komunikasi tanpa kawan menemani.
Ucapan Idul Fitri pun lebih didominasi dengan ucapan via media sosial baik melalui tulisan puitis hasil "copy paste" dari grup sebelah. Gambar ucapan Idul Fitripun dihiasi foto selfi yang diedit sedemikian rupa untuk “mengelabuhi” dan menunjukkan eksistensi diri. Namun sayangnya, indahnya untaian kata dan berbagai foto ucapan yang dikirimkan jarang mendapat balasan karena memang sudah dianggap biasa saja oleh sang penerima dan tak berasa. Inilah satu sisi “gelap” dunia maya yang lebih banyak berisi konten manipulasi, pamer dari pada simpati. Kualitas dan keberkahan telah tergeserkan dengan kemudahan dan kecepatan.
Belum lagi selesai mengirim ucapan imitasi sebagai usaha meraih jiwa yang suci, sering kita temukan di momen Idul Fitri, warganet masih sibuk menyebar hoak, ujaran kebencian dan fitnah kepada kelompok yang tidak mereka disenangi. Ungkapan kasar, sumpah serapah menghiasi beranda-beranda media sosial di hari raya yang seharusnya menjadi waktu mengubah skor menjadi 0-0. Tak peduli siapa yang diajak berkomunikasi, seolah semua orang salah di matanya dan pantas di bully. Tata krama kepada orang tua hilang, orang yang dalam kehidupan nyata terlihat pendiampun juga ikut liar di media mengeluarkan sumpah serapahnya.
Ramadhan pun seakan cukup di rumah saja, berkutat bersama android kirim ucapan kesana-kemari sambil mengintip aktifitas lebaran di beranda medsos orang lain. Belum lagi kita lihat deretan kueh yang saat ini sudah praktis jarang kita temui hasil olahan dapur sendiri. Berbagai macam jenis kueh dengan lebih banyak pemanis dan pewarna buatan menghiasi ruang tamu. Menarik untuk dimakan namun tak senikmat kueh jipang dan kueh sagon buatan Mbah Minem yang sudah turun menurun ia buat sendiri jelang Idul Fitri.
Warna-warni dan model pakaian barupun seolah ikut saling bersaing. Yang puasa dan yang tidak puasa seakan berhak merayakan Idul Fitri. Ucapan salah kaprah pun sering terdengar saling bersautan. “Mohon Maaf Lahir dan Batin, ya?”. Ungkapan untuk menghilangkan dosa adami ini pun disingkat dengan “Lahir batin ya?”. Padahal kata “Maaf” merupakan inti dari ucapan tersebut sementara “Lahir batin” merupakan keterangan tambahannya. Akhirnya pesan maaf pun tak tersampaikan.
Hari pertama lebaran, masjid dan lapangan penuh dengan lautan umat Islam yang melaksanakan ritual ibadah tahunan ini. Ada yang berangkat dengan niatan suci beribadah kepada Allah, namun ada saja yang datang karena ikut-ikutan memenuhi tuntutan sosial sehingga setelah shalat pun tidak mendengarkan khatib berkhutbah. Malah sibuk mengabadikan ibadahnya untuk disebarkan ke media sosial agar semua orang menganggapnya shaleh dan tekun beribadah.
Coba lihatlah masjid dan mushala yang selama Ramadhan terlihat geliat kehidupannya. Sekarang jamaahnya sudah "eksodus" ke tempat wisata dan pasar. Menghabiskan uang untuk kesenangan dengan membeli barang yang sebenarnya tidak perlu. Kepuasan terasa, saat membeli dengan motif keinginan dari pada kebutuhan.
Fenomena mudikpun ikut dijadikan ajang tahunan dengan perubahan niatan. Jika dulu semangat mudik didasari oleh keinginan bertemu keluarga dan bersilaturahmi menyambung persaudaraan, saat ini mudik “sakral” lebih diniatkan untuk mencari suasana baru “refreshing” lari dari kepenatan pekerjaan di rantau. Semua ini menjadi renungan kita sambil menikmati kopi hangat ditemani kueh aneka warna dan bentuk dengan bahan baku yang sama, tertata rapi di meja tamu yang tak laku dimakan tamu karena sudah tahu rasanya sambil bertanya: “Mau Lebaran Apa Liburan?”.
Penulis adalah Warga NU Pringsewu