Opini

Memaknai Puasa dan Mudik yang Tak Biasa

Jumat, 31 Mei 2019 | 03:00 WIB

Oleh Muhammad Ghufron

Setiap tahun umat Islam akan kembali bersua dengan dua bulan penuh makna dalam tradisi Islam, Ramadan dan Syawal. Dua bulan tersebut secara bergandengan dihayati oleh umat Islam sebagai manifestasi rasa bersyukur dan momentum mengevaluasi diri.

Ramadhan dihayati sebagai bulan penuh momentum ekspresi rasa bersyukur atas segala karunia yang telah tuhan limpahkan. Hal yang paling substansial dari rasa bersyukur itu ialah  menahan segala kehendak ego, dan hasrat pukau terhadap gemerlap duniawi. Itulah wujud ejawantah implementasi dimensi vertikal (hablun minallah) yang harus menjejak dalam wilayah praksis. 

Selama bulan itu pula, umat Islam di seluruh penjuru dunia akan kembali menyambut kedatangannya dengan gegap-gempita. Tak terkecuali di Indonesia. Sebagai agama mayoritas yang hidup dalam lingkungan yang begitu kompleks, eksistensi bulan Ramadan mendapat atensi penuh bagi umat Islam. Kedatangannya pun disambut sebagai penanda keberkahan, rahmat, dan ladang menyemai kebaikan.

Dunia hiburan di tanah air yang semula sesak dengan narasi-narasi romantisme, dan hasrat mengejar kesenangan temporal berubah seketika menjadi tontonan bertemakan islami. Produksi perfilman seolah berusaha melepaskan diri dari jeratan belenggu narasi-narasi jamuran menuju narasi spiritual-religius. Hal itu bisa kita lihat dalam setiap tayangan acara televisi selama bulan Ramadhan. 

Tak hanya itu, album-album religi selama bulan Ramadhan mulai menyeruak mewarnai jagat permusikan di tanah air. Para musisi yang sebelumnya gandrung berada di dapur rekaman hanya melahirkan lagu-lagu yang berkelindan dengan rasa, mulai banting setir mengerahkan kelihaian suaranya demi mencapai estetika yang bertendensi pada nuansa rohani. Seolah bulan Ramadhan bak panggung ritus yang menampilkan ekspresi ketaatan iman seseorang. 

Pada titik inilah profanitas bermetamorfosis menjadi sakralitas. Yang sebelumnya terlampau sibuk mengejar urusan duniawi, seketika memarkir kendaraan duniawinya menuju penghambaan yang hakiki pada tuhan-Nya. Di sebagian masjid-masjid kita mendapati segelintir orang yang berusaha menampik sejenak terhadap riuh persoalan materi dengan menggantinya mengevaluasi diri lewat kontemplasi di ruang sunyi. Inilah gerakan konkrit yang pernah diajarkan Rasulullah Muhammad ketika berkhalwat di Gua Hira.

Melakukan khalwati bukan berarti menarik diri dari realitas sosial. Justru dengannya segala riuh dan sumpek dalam kegiatan praksis kita teratasi. Aksi dan kontemplasi keduanya merupakan relasi yang tidak dapat dipisahkan. Inilah yang dalam terminologi Abdul Hadi WM disebut sebagai Aktivisme dan Pasivisme merupakan keterkaitan yang selalu menjejak dalam dinamika kehidupan manusia.

Bulan Ramadan kali ini dimana kedua aktivitas di atas menemukan momentumnya. Ibadah puasa yang dijalani umat Islam bukan hanya dimaknai sekedar melakukan ritus menabung pahala. Lebih dari itu, dalam makna yang cukup substansial puasa mempunyai korelasi sosial yang relevan bagi kondisi umat manusia modern. 

Puasa dan Mudik Sepanjang Masa.
Kita lihat di tahun 2019, gemuruh hangat pemilu yang telah usai digelar tak ubahnya menjadi semacam pagelaran teater yang menampilkan karakter-karakter antagonis. Politisi, kiai, dan masyarakat awam pun seolah terjebak dalam kawah hitam ujaran kebencian dan caci maki. Mereka seolah memajalkan spirit  kebinnekaan yang telah menjadi penyangga pemersatu negeri ini. 

Keberagaman di negeri ini tak lagi mampu disikapi secara arif. Akibatnya yang terjadi justru penyeragaman dengan cara menjustifikasi halal-haram sebagai instrumen melegitimasi suatu masalah. Pada titik ini, umat manusia baik dari kalangan non-muslim harus betul-betul melakukan ritual puasa dan tradisi mudik sepanjang masa sebagai instrumen terwujudnya negara yang berdaulat. 

Puasa bukan hanya sekedar menahan haus dan lapar dalam tempo yang telah ditetapkan. Lebih dari itu, kita harus betul-betul memaknai dan menyikapi puasa lebih dari sekedar yang sifatnya berbau fisikal. Dengan demikian, puasa secara holistik juga merupakan ritual kesalehan sosial yang harus diimplementasikan dalam setiap gerak langkah kita. 

Segala gerak badan, sorot mata, dan getaran hati sepenuhnya merupakan anugerah tuhan yang wajib kita syukuri. Wujud syukur itu bisa kita ekspresikan lewat memuasai segala tingkah laku dan ego yang terkesan kurang baik. Terutama memuasai mulut untuk menahan diri dari ujaran-ujaran kebencian dan melakukan propaganda atas nama agama. Itulah ejawantah dari keindahan makna puasa yang sesungguhnya.

Terlepas dari hal tersebut, dimensi makna memuasai juga harus kita implementasikan dalam ranah kebangsaan. Sebab adakalanya negeri yang plural ini harus menahan segala bentuk ketimpangan-ketimpangan yang terjadi selama ini di segala poros dinamika kehidupan berbangsa kita. Oleh karena itu, memarkir kendaraan duniawi merupakan sesuatu yang niscaya yang harus dilakukan bagi setiap warga negara Indonesia.

Memarkir kendaraan duniawi berarti tidak melakukan aktivitas yang berlebihan terhadap segala hal yang berbau materi. Tamak, rakus, dan kikir merupakan tungku api yang kapan saja bisa melahap sikap welas asih kita kepada sesama. Disinilah penting kiranya praktik mudik dijadikan sebagai instrumen mengembalikan sikap kemanusiaan kita. Orang-orang yang berusaha mudik sebenarnya telah kembali ke rahim sang ibu (kampung halaman). Tempat dimana Allah meniupkan ruh pertama kalinya bagi manusia. 

Maka ketika ruh sudah ditiupkan segala apa yang diperoleh ketika merantau bukan dijadikan sebagai ornamen pamer kesuksesan. Melainkan berusaha melebur dalam suatu komunitas masyarakat. Berbagi kebersamaan dengan memberikan segala apa yang kita peroleh di tanah rantau, baik materi maupun ilmu merupakan suatu bentuk inti ketulusan yang tidak bisa ditawar-tawar. Itulah makna tradisi mudik yang sesungguhnya. 

Dengan demikian secara tidak langsung ritual puasa dan tradisi mudik yang kita jalani sesungguhnya telah berusaha mengembalikan fitrah kita. Disitulah kita akan menemukan jati diri kita yang sesungguhnya. Jati diri bukanlah produk artifisial yang hanya bisa diperoleh dengan keangkuhan dan kesombongan, melainkan dengan sikap ketulusan dan kasih sayang kepada sesama. Suatu sikap kemanusiaan yang adiluhung untuk diimplementasikan dalam suatu komunitas sosial. 

Apabila seseorang telah menemukan hakikat jati dirinya, maka orang tersebut ibarat pohon jati yang kokoh dihempas angin. Ia tak akan koyak hidup di tengah-tengah perbedaan ideologi, agama, ras, dan budaya. Sebab ia telah memberikan ruang teduh yang bisa dijadikan modal dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Mampu mengayomi yang lemah dan memberikan uluran tangan bagi mereka yang membutuhkan bantuan. Hal ini akan berimplikasi pada sebuah tatanan Ukhuwah Insaniyah. Inilah konsep Islam Rahmatan lil ‘alamin yang sesungguhnya.

Akhirnya, makna ibadah puasa dan tradisi mudik  merupakan dua jalinan  yang saling berkait-kelindan menjadi semacam ikhtiar untuk meningkatkan taraf kemanusiaan kita. Secara eksplisit keduanya mengandung makna menahan dan kembali. Puasa bermakna menahan segala ego kita untuk sebuah transformasi diri. Sedangkan mudik telah berusaha mengembalikan diri kita ke jalan yang fitri. Dengan demikian ritual puasa dan tradisi merupakan perjalanan agung umat Islam yang harus dijalani sepanjang masa. Begitu.


Penulis adalah Nahdliyin yang Mengabdikan diri sebagai Arsiparis PP. Annuqayah daerah Lubangsa, Guluk-guluk, Sumenep. Sekaligus Pemangku Adat Literasi di Komunitas Menulis Pasra (Kompas)














Terkait