Oleh Aang Fatihul Islam
Salah satu kultur warisan pesantren yang tidak
bisa dilupakan adalah warisan budaya literasi. Tentu saja ini sudah dicontohkan
oleh para ulama yang karya-karyanya bertebaran hingga menjadi inspirasi oleh
para santri zaman old dan zaman now. Saking pentingnya budaya menulis Syaikh
Imam Al-Ghozali sampai berkata 'Kalau engkau bukan anak raja dan engkau bukan
anak ulama besar maka jadilah penulis'. Hal ini karena hakikatnya menulis
adalah upaya untuk mengabadikan ide dan buah pikiran agar bisa dibaca oleh generasi
berikutnya. Hal ini senada dengan apa yang dikatakan oleh Pramudya Ananta Toer
bahwa menulis adalah bekerja untuk keabadian. Para ulama terdahulu mengabadikan
dirinya lewat tulisan, dengan harapan meskipun beliau-beliau sudah tiada tetapi
karyanya akan hidup sepanjang masa, menjadi isnpirasi dan bahan bacaan oleh
generasi setelahnya.
Merefleksi dari hal di atas, para santri
harus mulai ke luar dari budaya lisan menuju budaya tulis. Hal ini karena
tulisan akan menjadikan informasi keilmuan tidak mudah hilang. Hal ini
sesuai dengan yang dikatakan Sayyidina Ali bin Abi Thalib "Qoyyidu Al-Ilm
bi Al-Kitab" yang artinya ikatlah ilmu dengan tulisan (Prophertic
Learning, 2000: 190). Hal ini katena hakikatnya menulis merupakan upaya
untuk melestarikan dan mewariskan budaya intelektual bagi generasi
berikutnya.
Nah, rupanya budaya itu di kalangan pesantren
sejak beberapa waktu meredup, meskipun di beberapa pesantren masih cukup kuat
menjaga tradisi itu akan tetapi tidak cukup banyak. Dari persolan
tersebut maka perlu dihembuskan kembali geliat literasi di Pesantren yang
dulu begitu kuat mengepidemi menjadi pahatan-pahatan karya abadi. Taruh saja
para ulama yang mempunyai budaya literasi yang kuat melalui peninggalan karya
tulis sebagi legacy, seperti Abu Hanifah (150 H), Malik bin Anas
(179 H), Imam Asy-Syafi'i (204 H), Ahmad bin Hanbal (241 H) Imam
Al-Ghozali (505 H), Al-Farabi, Al-Kindi, Ibnu Rusy dan
seterusnya. Geliat ini diteruskan oleh wali songo di Nusantara yang jejak
peninggalannya karyanya hingg kini menjadi rujukan dan inspirasi, kemudian
diteruskan oleh para ulama pendiri bangsa yang karya-karyanya menjadi pemantul
cahaya di kegelapan menghilangkan dahaga jiwa yang kering kerontang. Syeikh
Nawawi Al-Bantani menulis hingga 115 karya, termasuk tafsir Marah Labid
sejumlah dua jilid tebal, karya-karyanya terus didaur ulang dan ditelaah
tiada henti, dan diamalkan sepanjang hari dikalangan pesantren melalui warisan
intelektual. Kiai Dholeh Darat As Samarani sang maha guru ulama nusantara
menelurkan deretan karya yang hingga kini masih hidup menyapa para santri di
Nusantara. Diteruskan oleh pata santrinya seperti KH Hasyim Asy'ari, KH
Ahmad Dahlan dan sebagainya yang tidak kalah keproduktifitasannya, dalam
menulis, menulis deretan karya yang menjadi rujukan sepanjang masa. Tanpa
warisan karya, ulama tang hidup puluhan abad silam itu mustahil kita
kenali saat ini.
Berpijak dari persoalan di atas, maka dalam
menyongsong Hari Santri 2018 ini peran santri menjadi salah satu tolak
ukur kemajuan dan kekuatan bangsa, dengan melanjutkan estafet bangunan
peradaban yang diwariskan para ulama dan santri terdahulu lewat
tulisan. Hal ini sejalan dengan yang dikatakan TS Elliot (1888-1965) yang
telah mengingatkan "Sulit membangun peradaban tanpa (budaya) tulis dan
buku" (Property Learning, 2000: 170). Atas dasar itulah, tidak
ada, alasan apapun yang bisa dibenarkan bagi para ulama dan santri untuk tidak
menulis.
Penulis merupakan Ketua Lingkar Studi Santri
(LISSAN), Ketua PC LDNU Jombang dan Dosen STKIP PGRI Jombang