Opini

Membangkitkan Budaya Menulis Santri Millenial

Jumat, 19 Oktober 2018 | 16:05 WIB

Oleh Aang Fatihul Islam

 

Salah satu kultur warisan pesantren yang tidak bisa dilupakan adalah warisan budaya literasi. Tentu saja ini sudah dicontohkan oleh para ulama yang karya-karyanya bertebaran hingga menjadi inspirasi oleh para santri zaman old dan zaman now. Saking pentingnya budaya menulis Syaikh Imam Al-Ghozali sampai berkata 'Kalau engkau bukan anak raja dan engkau bukan anak ulama besar maka jadilah penulis'. Hal ini karena hakikatnya menulis adalah upaya untuk mengabadikan ide dan buah pikiran agar bisa dibaca oleh generasi berikutnya. Hal ini senada dengan apa yang dikatakan oleh Pramudya Ananta Toer bahwa menulis adalah bekerja untuk keabadian. Para ulama terdahulu mengabadikan dirinya lewat tulisan, dengan harapan meskipun beliau-beliau sudah tiada tetapi karyanya akan hidup sepanjang masa, menjadi isnpirasi dan bahan bacaan oleh generasi setelahnya. 

 

Merefleksi dari hal di atas, para santri harus mulai ke luar dari budaya lisan menuju budaya tulis. Hal ini karena tulisan akan menjadikan informasi keilmuan tidak mudah hilang. Hal ini sesuai dengan yang dikatakan Sayyidina Ali bin Abi Thalib "Qoyyidu Al-Ilm bi Al-Kitab" yang artinya ikatlah ilmu dengan tulisan (Prophertic Learning, 2000: 190). Hal ini katena hakikatnya menulis merupakan upaya untuk melestarikan dan mewariskan budaya intelektual bagi generasi berikutnya.  

 

Nah, rupanya budaya itu di kalangan pesantren sejak beberapa waktu meredup, meskipun di beberapa pesantren masih cukup kuat menjaga tradisi itu akan tetapi tidak cukup banyak. Dari persolan tersebut maka perlu dihembuskan kembali geliat literasi di Pesantren yang dulu begitu kuat mengepidemi menjadi pahatan-pahatan karya abadi. Taruh saja para ulama yang mempunyai budaya literasi yang kuat melalui peninggalan karya tulis sebagi legacy, seperti Abu Hanifah (150 H), Malik bin Anas (179 H), Imam Asy-Syafi'i (204 H), Ahmad bin Hanbal (241 H) Imam Al-Ghozali (505 H), Al-Farabi, Al-Kindi, Ibnu Rusy dan seterusnya. Geliat ini diteruskan oleh wali songo di Nusantara yang jejak peninggalannya karyanya hingg kini menjadi rujukan dan inspirasi, kemudian diteruskan oleh para ulama pendiri bangsa yang karya-karyanya menjadi pemantul cahaya di kegelapan menghilangkan dahaga jiwa yang kering kerontang. Syeikh Nawawi Al-Bantani menulis hingga 115 karya, termasuk tafsir Marah Labid sejumlah dua jilid tebal,  karya-karyanya terus didaur ulang dan ditelaah tiada henti, dan diamalkan sepanjang hari dikalangan pesantren melalui warisan intelektual. Kiai Dholeh Darat As Samarani sang maha guru ulama nusantara menelurkan deretan karya yang hingga kini masih hidup menyapa para santri di Nusantara. Diteruskan oleh pata santrinya seperti KH Hasyim Asy'ari, KH Ahmad Dahlan dan sebagainya yang tidak kalah keproduktifitasannya, dalam menulis, menulis deretan karya yang menjadi rujukan sepanjang masa. Tanpa warisan karya, ulama tang hidup puluhan abad silam itu mustahil kita kenali saat ini. 

 

Berpijak dari persoalan di atas, maka dalam menyongsong Hari Santri 2018 ini peran santri menjadi salah satu tolak ukur kemajuan dan kekuatan bangsa, dengan melanjutkan estafet bangunan peradaban yang diwariskan para ulama dan santri terdahulu lewat tulisan. Hal ini sejalan dengan yang dikatakan TS Elliot (1888-1965) yang telah mengingatkan "Sulit membangun peradaban tanpa (budaya) tulis dan buku" (Property Learning,  2000: 170). Atas dasar itulah, tidak ada, alasan apapun yang bisa dibenarkan bagi para ulama dan santri untuk tidak menulis.

 

Penulis merupakan Ketua Lingkar Studi Santri (LISSAN), Ketua PC LDNU Jombang dan Dosen STKIP PGRI Jombang

 


Terkait