Opini

Mengapa Tidak Berpikir Taktis? Catatan Relawan NU di Tengah Bencana Aceh

Rabu, 17 Desember 2025 | 12:35 WIB

Mengapa Tidak Berpikir Taktis? Catatan Relawan NU di Tengah Bencana Aceh

Nahdlatul Ulama melalui NU Care Lazisnu hadir turut serta menangani musibah di Aceh (Foto: Facebook Teuku Kemal Fasya)

Judul ini terinspirasi oleh tulisan penulis dua puluh tahun lalu, “Mengapa Tidak Berpikir Praktis?” (Kompas, 10 Januari 2005) ketika menjadi relawan Kompas dalam membantu masyarakat Aceh korban gempa 9,1 skala richter dan tsunami, pada minggu pertama bencana.


Ya, 20 tahun lalu Aceh dihantam gempa dan tsunami yang membuat 227 ribu orang kehilangan nyawa dari 14 negara, meskipun yang terparah adalah Aceh. Data yang dirilis Tsunami Evaluation Coalition menyebut 275.000 orang tewas dan yang hilang pun diyakini telah meninggal. 


Data Voice of America, Aceh kehilangan 160 ribu nyawa, termasuk yang ditetapkan hilang. Perinciannya 128.858 syahid dan 32 ribu hilang. Ada 1,5 juta orang menjadi pengungsi saat itu dengan 572.926 orang yang berada di Aceh. Tidak hanya itu, ada 693 fasilitas kesehatan yang rusak dan 2.224 sekolah yang hancur atau rusak parah. Bencana itu menyebabkan pertumbuhan ekonomi nasional Indonesia pada 2005 turun 0,2 persen.


Data Siklon Tropis Senyar 2025
Tahun ini, hampir dua puluh tahun setelah tsunami, banjir akibat cuaca ekstrem siklon tropis senyar 95B di Selat Melaka berdampak kehancuran, paling sedikit di tiga provinsi di Sumatra. Banjir juga menghantam pesisir barat Malaysia dan Thailand. 


Siklon tropis itu mendera 50 kabupaten/kota. Aceh menjadi paling menderita karena 18 kabupaten/kota atau tiga perempat wilayah terdampak. Yang pekat mengenyam derita adalah Aceh Utara, Aceh Timur, Langsa, Aceh Tamiang, Bener Meriah, Aceh Tengah, Gayo Lues, dan Aceh Tenggara, di samping sembilan kabupaten/kota lainnya.


Menurut data Pos Komando Tanggap Darurat Bencana Hidrometeorologi Aceh, ada 225 kecamatan yang terdampak. Ada 3.678 gampong yang tenggelam, longsor, dan hilang. Kampung-kampung itu hilang dari peta karena tidak ada bangunan dan ladang yang tersisa. Semua menjadi muara atau terbenam lumpur dan kayu gelondongan. Posko Bencana Aceh juga menyebut 1.975.012 jiwa terdampak.


Penulis sendiri telah bergerak membantu korban hujan hampir bersamaan dengan terbakarnya tangki kondensat Pema Global Energi (PGE), 26 November 2025. Berbekal kenekatan dan pengalaman ketika masa tsunami dengan pikiran mencari titik bantuan dan menyebarkan ke orang-orang terdekat yang telah tenggelam rumahnya, penulis bergerak sendiri. Hanya istri sebagai supir dan anak menjadi fotografer/videografer. Dokumentasi perlu dilakukan karena semua aksi filantropi harus diketahui oleh orang lain sehingga memacu mereka bergerak dan membantu orang yang kemalangan. 


Aksi penulis awalnya hanya dilakukan di sekitar kampus Bukit Indah Universitas Malikussaleh. Hal ini karena gampong di lingkar kampus lain, yaitu kompleks Reuleut, telah berdiri posko yang digalang oleh Rektor dan sivitas akademika yang masih bernurani dan bersedia turun membantu. 


Penulis bergerak membantu kampung lingkar kampus BI Unimal (Meuria Paloh, Blangpulo, Padang Sakti, Batuphat Timur) karena memang belum ada satu pun dosen yang bergerak. Secara realitas sosial media, daerah ini tidak seburuk kampus kompleks Reuleut, tapi permohonan pertolongan dan mahasiswa yang mulai mengungsi dan terperangkap banjir terus masuk ke gawai penulis. Luasnya wilayah tentu tidak bisa terjangkau dengan baik, tapi tangan, kaki, dan pikiran hanya bisa mencari siapa yang bisa dibantu dan memberikan penghiburan. 


Mungkin ini pula yang terbaca tim Lembaga Amil Zakat, Infak, dan Sedekah NU (LAZISNU) untuk berkomunikasi dengan penulis. Penulis sempat dihubungi Riri Khoriroh, adik angkatan saat kuliah di IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta yang kini juga telah bekerja di lembaga NU tersebut. Penulis menceritakan bahwa beberapa daerah masih gelap seperti Langsa dan Aceh Tamiang. Jika saja ada bantuan penulis akan menembus ke sana, meskipun risiko mengintai. Hal ini berbeda ketika masa tsunami ketika penulis diberikan safety induction oleh karyawan lembaga PBB yang mengutus ke lapangan.


Hanya ada pikiran untuk membantu karena rumah penulis tidak terdampak parah banjir. Pikiran hanya melanglang untuk menyentuh dan memandang mata korban yang akhirnya dipertemukan oleh Allah SWT untuk mendapatkan bantuan. Pilihan semakin terbatas karena Pemerintah tak jua mengumumkan banjir Sumatra sebagai bencana nasional. Padahal dari sisi korban dan luasnya dampak, lebih banyak dan kompleks dibandingkan gempa dan tsunami 2004.


Peran LAZISNU
Karena akhirnya LAZISNU dan NU Peduli mau mendengar masukan dan pemetaan penulis, dan tidak memerlukan sekelumit birokrasi administrasi yang menghabiskan waktu dan memusingkan kepala. Penulis memulai bergerak dengan membawa bendera Lakpesdam NU Aceh, kebetulan ketuanya, Prof. Kamaruzzaman Bustamam-Ahmad juga adik kelas ketika di IAIN Sunan Kalijaga dulu.


Bantuan akhirnya bisa menyebar di kawasan Banda Aceh – Aceh Besar untuk mahasiswa UIN Ar-Raniry yang, dan di Lhokseumawe, Aceh Utara, dan Aceh Tamiang. Karena memiliki tali hubungan dengan PMII dan staf pada unit kerja UPT Bahasa, Kehumasan, dan Penerbitan Unimal yang kebetulan penulis pimpinannya, aksi sosial menjadi gala saling menyemangati. Ini bukan tugas kantor atau kampus, hanya nilai kemanusiaan dan asketis yang membuat kita mau bergerak.


Namun, berbeda dengan masa tsunami ketika penulis bisa melakukan koordinasi intensif dengan tim nasional yang berposko di Pendopo Gubernur dan berkomunikasi dengan tokoh-tokoh nasional seperti Nasrullah (advokat) dan Farid Faqih (tokoh LSM, pemimpin Government Watch) yang satu pesawat menuju Aceh dan sempat dianiaya oknum TNI karena dituduh mencuri bantuan tsunami pada 2005. 


Penulis sendiri tidak mempercayai hal itu. Kredibilitasnya sebagai aktivis sosial adalah penanda semiotisnya. Penulis lihat ia langsung memimpin rapat koordinasi dengan tokoh LSM lokal dan nasional, termasuk dengan pers di Pendopo Gubernur Aceh. Ia pula yang menanggung penyediaan makan siang nasi putih dan kuah beulangong daging kambing dan lembu setiap siang. Penulis juga sempat mencicipinya.


Era bencana sekarang segala kemewahan itu tidak dimiliki. Para relawan tidak memiliki media centre  yang kredibel untuk data dan informasi. Padahal kualitas sistem informasi masa itu tidak sebaik sekarang dengan optimalnya media sosial TikTok, Instagram, YouTube, dan WhatsApp.


Di era tsunami, SBY-JK yang baru terpilih sebagai presiden pertama secara demokratis pada 2004, telah membuka keran bagi internasional untuk hadir di Aceh. Mereka melakukan perbantuan logistik, pembersihan sampah infrastruktur kota, filterisasi air minum, terapi psikis dan sosial, aksi militer asing, mobiler, hingga evakuasi jenazah. Aktivis-aktivis partai politik juga bekerja dengan penuh antusias. Siang hingga malam.


Saat itu TNI yang baru menjalankan peran reposisi imbas hadirnya UU No. 34/2004, ikut membantu menyediakan keamanan dan perlindungan kepada relawan dan tenaga kerja asing. Situasi Aceh saat itu belum lagi berdamai dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM), sehingga keberadaan TNI menjadi simbol kehadiran negara untuk melindungi dan melayani, termasuk warga dunia dari ketidakamanan.


Namun saat ini, militer berada di depan, dan menjadi hambatan psikologis sendiri dalam mengakses bantuan. Sempat muncul bantahan dari Danrem 011/Lilawangsa Lhokseumawe bahwa prajurit TNI merampas bantuan bencana yang menumpuk di pelabuhan, kemudian ditempatkan di Korem (CNN Indonesia, 15/12/2025). 


Artinya, tidak ada pilihan lain saat ini kecuali bersikap lebih taktis, menghindari konflik, melakukan koordinasi relawan sipil yang telah lebih dulu bergerak, membagi peta sosial dan informasi di media sosial, menghubungkan donasi kepada warga terdampak, berkomunikasi dengan penghubung gampong, dan menyemangati sahabat-sahabat di lapangan yang memiliki daya asketis luar biasa. 


Jangan lupa, sapa mereka yang mau membantu dengan harta, benda, dan tenaga, tanpa mengharap kembali, adalah sejawat yang musti dijaga. Lupakan orang yang hanya duduk di sofa sambil scroll up di media sosial dengan menyantap junk food franchise global. Sebab ada ratusan ribu warga yang lebih buruk nasibnya, gagu, linglung, dan hampir putus asa hingga kehilangan kemanusiaan jika dibiarkan sendiri tanpa ada bantuan yang menyapa. Setiap waktu yang terbuang adalah jalan mereka untuk sakit dan kehilangan nyawa.


Teuku Kemal Fasya, antropolog Aceh, Ketua Posko Peduli NU wilayah Lhokseumawe