Keberagamaan dan kebertuhanan adalah dua hal yang semula menyatu, namun lambat laun terpisah secara tegas. (Ilustrasi: Pinterest)
Syahdan, Syekh Abdul Qadir al-Jilani sedang dalam perjalanan bersama para muridnya. Pada satu momen mereka berpapasan dengan seseorang yang sedang mabuk berat. Tak dinyana, pemabuk tersebut menghentikan langkah rombongan itu dan mengutarakan tiga pertanyaan yang sontak membuat Syekh terkejut.
“Wahai Syekh, apakah Allah mampu mengubah pemabuk sepertiku menjadi seorang ahli macam dirimu?”
Mendengar itu, Syekh menjawabnya, “Tentu mampu, Allah Mahakuasa.”
Baca Juga
Tuhan Hyang Maha Misterius
Kemudian si pemabuk bertanya lagi, “Apakah Allah mampu mengubah ahli maksiat sepertiku menjadi ahli taat setingkat dirimu?”
Dengan penuh kasih sayang, Syekh kembali menjawabnya, “Sangat mampu, Allah Mahakuasa atas segala sesuatu.”
Lantas si pemabuk bertanya lagi, “Apakah Allah mampu mengubah dirimu menjadi ahli durjana sepertiku?”
Baca Juga
Manusia itu Pilihan Tuhan
Demi mendengar pertanyaan ketiga, seketika itu Syekh pun menangis hingga tersungkur, dan kemudian bersujud kepada Allah. Melihat itu, para murid Syekh jadi penasaran dan kebingungan. Lalu seorang dari mereka memberanikan diri untuk bertanya, “Wahai, Tuan Syekh, apa gerangan yang membuatmu menangis?"
Kemudian Syekh menjawab pertanyaan muridnya dengan segenap perhatian dan hati yang tergetar, “Betul sekali sang pemabuk itu. Pertanyaan terakhirnya yang menyebabkanku menangis tersedu sedan. Kapan saja Allah mampu mengubah nasib seseorang, termasuk diriku. Siapa yang bisa menjamin diriku kecuali Dia semata? Pertanyaan itu pula yang mendorongku untuk bersujud dan berdoa kepada Allah, agar menganugerahkan rasa aman dalam diriku terhadap rencana agung-Nya. Semoga Allah berkenan.”
Kronik di atas disampaikan oleh Habib Thohir bin Abdullah al-Kaff dalam peringatan haul kesepuluh KH Achmad Asrori al-Ishaqi. Kronik tersebut mengandung nuansa bahwa, Allah Maha Membolak-balik hati manusia (Muqallibal-Qulub). Sekarang, mari kita menuju ke kisah yang lain.
Kawan seperguruan kami bernama Abdurrahman Wahab. Kami biasa memanggilnya Abdu. Sejauh yang bisa kami saksikan dan ingat, ia tak pernah kelihatan sembahyang lima waktu—apalagi yang sunnah. Bila Ramadhan tiba, ia juga tak berpuasa, dengan dalih belum beriman. Ia punya kegemaran menyambangi Kali Jodoh, di Jakarta Barat, nyaris saban malam, bahkan ketika usai pengaosan Al-Qur’an rampung digelar.
Pada suatu malam yang sangat biasa saja, Abdu muncul dari kegelapan. Satu persatu kami diajak berjabatan tangan, termasuk menyalimi tangan guru kami—tuk kali pertama. Usai itu Abdu menghilang seperti lazimnya. Mungkin ke Kali Jodoh lagi. Bersuka ria dengan kupu-kupu malam. Lalu tuk kali perdana pula, guru kami mencari keberadaan Abdu.
Saat ditemukan, ia sedang sujud di masjid padepokan. Tak bangkit lagi untuk selamanya. Mengetahui itu, kami bersyukur sekaligus wagu. Apakah kematian Abdu termasuk husnul khatimah atau sebaliknya? Mendengar topik pembicaraan kami, kakak seperguruan pun urun rembuk. Katanya, "Abdu pasti berpulang dalam kondisi terbaik, karena mati bagi kita adalah bagian dari keindahan takdir, qadarulLah."
Kami yang masih kencur, hanya bisa manggut-manggut saja mendengar penjelasannya. Lalu ia melanjutkan lagi.
"Kang, kematian seseorang itu adalah cerminan hidupnya di dunia. Umar bin Khattab, Utsman bin Affan, dan 'Ali bin Abi Thallib, mati dibunuh secara keji, lantaran mereka hidup bersama seorang nabi akhir zaman. Mereka mengambil risiko terlampau besar. Itu pula yang kemudian dialami oleh cucu Rasullah saw, Husain bin 'Ali, yang kepalanya terpenggal di Karbala, dan juga al-Hallaj yang dipancung di Bagdad."
Kami masih mematut wajah sarat kebingungan di hadapan kakak seperguruan, hingga kemudian ia lanjut mewedar.
"Jangankan mereka. Kalian tahu kan ada banyak nabi-rasul dibunuh oleh umatnya? Tahu kalian berapa banyak tokoh besar pemimpin manusia yang juga mati mengenaskan? Sukarno contohnya. Nah, itulah kematian terindah. Persis seperti yang disampaikan Imam 'Ali karamallahu wajhahu, saat beliau diberitahu Nabi Muhammad saw tentang bagaimana kelak ia akan mati, dengan cara apa, dan kapan waktunya. Penerimaan kita pada takdir Allah itulah, yang disebut sebaik-baik kematian."
Usai menyampaikan kalimat tersebut, kakak seperguruan kami jatuh terjerembab mencium tanah. Tubuhnya hangat. Nufus dalam dadanya, baru saja kembali ke haribaan Sang Hyang Maha Wenang.
Kini kita beralih ke seorang pemuda dari Bandung, yang mengembuskan napas terakhirnya di Sungai Aare, Swiss. Ada yang menarik dari peristiwa itu. Sebenarnya, sudah terlampau banyak orang yang mati tenggelam di sungai, danau, telaga, kawah, dan laut, di negeri ini. Namun khusus si pemuda kita, ceritanya mendadak menjadi konsumsi publik—nyaris satu negara. Karena ia anak dari seorang gubernur, yang notabene lumayan menjanjikan sebagai seorang pemimpin.
Cerita itu hanya sebagai penaut dari sekian banyak peristiwa kematian yang berulangkali kita saksikan dalam kehidupan. Biasanya, orang-orang akan berkata, “Seandainya saja dia tak berenang di sungai itu.” Padahal yang bersangkutan sudah dinyatakan meninggal. Bukankah kalimat tersebut jadi terkesan konyol? Kenapa tak sekalian saja berkata, “Andai ia tak dilahirkan ke dunia…”
Ada banyak lagi kekacauan dan sesat pikir yang seringkali kita dengar terkait hal itu. Ambil contoh. “Kalau saja dulu kita tak menikah, mungkin perceraian ini takkan terjadi.” Pun dengan yang seperti ini. “Bila saja Bung Karno tak bergaul rapat dengan orang-orang komunis di Indonesia, bisa jadi beliau tak akan dilengserkan oleh Soeharto, dan peristiwa pembantaian massal 1965 tak perlu terjadi.” Sampai di sini Anda mafhum ke mana arah penalaran kita?
Ketauhilah, saudaraku. Kita tak bisa lagi menggugat apa yang telah terjadi. Karena dalam iman Islam, semuanya pasti berdasar kehendak Gusti Allah, termasuk daun yang jatuh dari pohon—dan itu senantiasa tak luput dari ilmu-Nya. Segala yang belum terjadi pun, tak bisa diubah, karena belum terjadi—termasuk dengan doa. Adapun keterangan Al-Qur’an yang menyatakan, “Berdoalah maka akan Aku kabulkan,” cara memahaminya bukan seperti apa yang kita minta pasti diberi. Toh, berapa banyak doa yang telah kita panjatkan, dan mana yang terkabul sejauh ini?
Rancangan penciptaan, bahkan sudah paten dan ajek jauh sebelum ada manusia di bumi. Hal itu sudah menjadi bagian dari ketetapan yang kemudian kita sebut sebagai takdir dalam keabadian. Tuhan yang abadi, sejak dulu begitu, kini begitu, dan nanti juga begitu. Tak ada yang bisa mengubahnya. Semua yang datang darinya, niscaya masuk dalam pusaran keabadian-Nya. Sementara mati bagi kita, bukanlah akhir dari segalanya. Mati hanya sebuah proses perpindahan. Bagaimana pun cara mati manusia, itu hanya sebuah cara untuk menuju alam berikutnya—yang tak terhingga.
Doa yang terkabul, karena memang harus terkabul, termasuk ketika kita memanjatkan doa itu—sudah tertulis dalam rencana-Nya. Tindak-tanduk kita, jelas tak mungkin bisa menggoyang ketentuan-Nya. Jika itu terjadi, rusaklah tatanan kejadian yang telah Dia tetapkan sejak azali. Sebab bila satu kejadian berubah lantaran kita, itu akan berdampak ke segala penjuru kejadian lain.
Pun begitu dengan kematian yang masih rancu dalam pemahaman banyak Muslim. Mereka yang percaya hidup pasti mati, sama dengan meyakini Tuhan Hyang Mahahidup, juga bakal binasa. Padahal yang kena mati itu, siapa pun yang lahir. Kullu nafsin dzaiwatu l-maut. Hidup harusnya abadi dalam keabadian Tuhan. Bersama-Nya dan selamanya. Dalam naungan dan rengkuhan-Nya. Berbilang tapi tak terhingga. Islam menyebutnya sebagai tauhid. Kemanunggalan Pencipta dengan ciptaan-Nya.
Bagaimana kita bisa menemukan petunjuknya? Sila disimak ayat ini. “Kemudian apabila telah Aku sempurnakan kejadiannya dan Aku tiupkan Ruh-Ku kepadanya; maka tunduklah kamu dengan bersujud kepadanya." (QS. Shad [38]: 72). “Dan mereka bertanya kepadamu (Muhammad) tentang Ruh-Ku, katakanlah, Ruh-Nya itu termasuk urusan Tuhanku, sedangkan kamu hanya diberi sedikit pengetahuan." (QS. al-Isra' [17]: 85)
Ayat pertama yang kami nukil, bicara tentang penciptaan semua manusia. Artinya, dalam diri siapa pun ada RuhulLah. Segala yang kemudian kita lakukan, niscaya bersama-Nya, dalam naungan-Nya, berdasar kehendak-Nya, dan atas izin-Nya. Di sinilah manusia terjebak dalam komedi agung Tuhan. Dia yang berbuat, kita yang dihukum. Dia yang berbuat, kita yang minta imbalan. Maka cara terbaik untuk menghindar dari jebakan itu adalah, jangan mengakui perbuatan-Nya karena akan berujung dosa. Akuilah semua yang terjadi lantaran perbuatan-Nya. Itulah yang kelak menjadi pahala. Kebajikan paripurna.
“Padahal Allah-lah yang menciptakanmu dan apa yang kamu perbuat itu". (QS. as-Saffat [37]: 96)
“Dan pada sisi Allah-lah kunci-kunci semua yang ghaib; tidak ada yang mengetahuinya kecuali Dia sendiri, dan Dia mengetahui apa yang di daratan dan di lautan, dan tiada sehelai daun pun yang gugur melainkan Dia mengetahuinya (pula), dan tidak jatuh sebutir biji pun dalam kegelapan bumi, dan tidak sesuatu yang basah atau yang kering, melainkan tertulis dalam kitab yang nyata (Lauh l-Mahfudh).” (QS. al-An’am [6]: 59).
Keberagamaan dan kebertuhanan adalah dua hal yang semula menyatu, namun lambat laun terpisah secara tegas. Satu berisi sekumpulan aturan Tuhan untuk kehidupan di dunia, sementara satunya lagi melulu tentang pertanyaan seperti kenapa kita diciptakan; dari mana kita berasal; ke mana kita setelah dari sini; dan mengapa kita harus menyembah Tuhan. Salah-benar, halal-haram, dosa-pahala, surga-neraka, yang dikabarkan agama, lantas kemudian melebur dalam sebuah pertanyaan pamungkas, "apa dampak sesungguhnya dari kita yang mengaku bertuhan?"
Semua pertanyaan tersebut sumangga dijawab dalam hati kisanak-nisanak sekalian. Insyaflah bahwa Tuhan tak bisa dipersepi, dibayangkan, dikira-kira, diserupakan, dibandingkan, disejajarkan, dengan apa pun jua. Tuhan yang masih terpikirkan, sama dengan Tuhan yang kita ciptakan sendiri. Maka yang terjadi adalah, kekacaubalauan dalam laku lampah kehidupan. Inilah yang kita saksikan pada zaman kiwari. Padahal Dia, melampaui segala sesuatu, tapi tetap berjalin kelindan dengan segala sesuatu. Tak ada satu pun makhluk yang bisa memahami wujud Tuhan, kecuali Tuhan itu sendiri.
“Dan tidak mungkin bagi seorang manusia pun bahwa Allah berkata-kata dengannya kecuali dengan perantaraan wahyu, atau di belakang tabir, atau dengan mengirim utusan (malaikat), lalu diwahyukan kepadanya dengan seizin-Nya apa yang Dia kehendaki. Sesungguhnya Dia Maha Tinggi lagi Maha Bijaksana.” (QS. Asy-Syura [42]: 51).
Ren Muhammad, pendiri Khatulistiwamuda yang bergerak pendidikan, sosial budaya, dan spiritualitas; Ketua Bidang Program Yayasan Aku dan Sukarno, serta Direktur Eksekutif di Candra Malik Institute